Tentang Bagaimana Mencinta #2


Sayang bagaimana kabarmu? Tentu baik-baik saja kan. Tidak sepertiku yang pesakitan menunggu sekedar pesan singkat tak penting darimu. Mungkin tak penting bagimu tapi begitu berarti untukku. Sekedar untuk menambal hari-hariku yang lelah dan membosankan. Sekedar menggenapkan jiwaku yang selalu merupa tak genap karenamu. Apakah kau juga demikian? Aku tidak tahu. Tapi aku percaya, kau sedang melukiskan diriku di awan-awan masa depanmu. Ya, aku tahu itu.

Hari-hariku memang melelahkan sayang. Tapi percayalah, aku takkan sejengkal mengundurkan langkah untuk menyerah menunggumu. Menjadi kita. Aku ingin sekali lagi engkau percaya, bahwa aku, yang sepertinya tak bisa bersetia, menurutmu, akan selalu menjaga janji kita. Kau tahu arti janji kita sayang? Yang sedikit cemas namun tanpa ragu melingkarkan kelingking di tepian tebing nan tinggi. Angin saat itu kencang sayang. Membelai kulit-kulit wajahmu yang putih kemerahan karena bekas-bekas jerawat. Angin juga seolah ikut mengatakan kata “amin” untuk janji kita sayang. Meski aku sempat cemburu pada angin. Ia dengan seenak hatinya tanpa permisi menyentuh pipimu, rekah bibirmu, matamu yang sayu namun menenangkan, mendahuluiku. Sayang, aku masih pegang janji kita. Aku masih ingat di mana kita mengikrarkan janji itu. Dari mulai tanggal, baju yang kau kenakan hingga kata-katamu tak ada satupun yang tak terkunci di alam ingatanku, sayang.


Janji kita, bagi sebagian orang hanya mengira isapan jembol dan melankolia perasaan bocah yang baru menginjak angka 20. Tapi aku tegaskan, setegas-tegasnya. Setegas lelaki yang akan selalu memeluk perempuannya, kamu. Tanpa perasaan ganjil aku selalu memegang teguh janji kita. Meskipun saat ini, aku tidak terlalu percaya dengan pernikahan sayang. Tapi aku tetap lelaki normal, yang kelak di hari tua butuh buah dari kelelahan. Yaitu ditemani keluarga yang harmonis. Kau meminta anak berapa sayang? Dua? Tiga? Atau empat? Terseserah saja berapapun yang dititipkan Tuhan, aku percaya padamu. Yang mendidik mereka untuk mencintai kedua orangtuanya, yang gila pada buku dan peduli dengan sesama. Jika perempuan, aku ingin ia memiliki pandangan mata sepertimu, ibunya. Tak pernah membuang waktu percuma dan ringkas sepertimu, kekasihku. Dan tak pernah menebalkan gincu dipelipis pipinya karena tanpa itu ia sudah sangat manis sepertimu, cintaku. Dan jika lelaki, aku tak berharap sepertiku. Tapi aku berharap anakku, anak kita sayang, pandai dan bisa menghormati perempuan. Tidak suka mempermainkan. Pandai menjaga hati hanya untuk satu perempuan terbaik. Persis seperti aku padamu sayang. Ia juga menjadi lelaki yang tak biasa, pandai bermain bola, musik, suka menulis dan membaca. Dan yang terpenting peduli sesama. Bukankah kita sepakat sayang, bahwa kita, anak-anak kita bukanlah manusia-manusia yang mementingkan egoisitas tingkat tinggi. Itu janji kita sayang. Masihkah kau ingat itu? Tak perlu aku ragu, engkau pasti mengingatnya.

Apa bedanya dipertahankan dan mempertahankan sayang? Mungkin orang lain beranggapan bahwa lebih mudah dicintai daripada harus susah-susah mencintai. Tapi untuk kita, hukum itu tidak ada sayang. Kita satu sama lain saling berkelindan. Mungkin terlalu berlebihan jika kisah kita aku andaikan seperti Romeo-Juliet. Sebenarnya lebih dari itu. Aku sadar, kau pun tahu sayang, bahwa Menjadi Kita tak perlulah harus ada yang dikorbankan dan pengorbanan. Karena kita sepakat, ketika kita melakukan sesuatu untuk kekasih kita, dan kita merasa itu adalah sebuah pengorbanan berarti itu bukan cinta. Karena cinta, dan kita sudah sepakati sayang, takkan ada perasaan yang bernama “pengorbanan”. Bukan seperti Jack dan Rose dalam romantika Titanic yang salah satu harus rela mati kedinginan di air dan dengan tega meninggalkan Rose di atas kayu. Jack memilih membunuh diri demi menyelamatkan Rose. Jack tidak tahu, bahwa Rose akan lebih bahagia jika mereka berdua hidup bersama. Jack memang bodoh, begitu timpalmu sayang pada satu hari yang panas minum es di pinggir kali. Kenapa tidak saling gantian saja antara Rose dan Jack mengapung di atas papan sisa kepingan kapal, begitu saranmu sambil memanyunkan mulut tanda protes. Dan itu ekpresi membuatmu semakin cantik, sungguh. Kau selalu marah ketika kau sedang asyik bercerita dan aku hanya diam saja. Padahal aku diam berarti aku mendengarkan dengan sungguh. Bahkan suara dentuman paling kecil antara angin debu pun tak aku hiraukan dan memilih mendengarkanmu sembari memandangi wajah yang selalu berhasil meneduhkanku. Ya, kau selalu meneduhkanku.

Beberapa orang selalu sebal dan tak sanggup akan sebuah penantian. Tidak demikian dengaku sayang. Aku akan selalu menunggu, menunggu Menjadi Kita. Menjadi kita dimana ketika kita hanya mencintai satu orang yang sama setiap harinya. Yaitu aku dan kamu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku, Pesta dan Cinta : mengenang kembali Soe Hok Gie

Syakal dan I'jam

Sejarah Fatayat NU "Cabang Jepara"