Cerpen - Saudara Kami


Pun ketika selesai shalat jum'at, suara anak-anak kecil yang berhambur keluar berlarian tak mampu mengalahkan kekhusyukan dan gema-gema dzikir di masjid kami.

Kami adalah penganut agama yang taat. Tak pernah sekalipun kami mencaci orang tua sendiri, ulama' dan nabi. Apalagi berusaha merakit bom atau meberontak negara. Tiada secuil keberanian yang singgah di ruas otot kami. Kegiatan kami adalah tak pernah berhenti merapal do'a, menyebut nama Tuhan tiada henti. Meski apabila bibir berhenti berkecap karena sebuah percakapan kepada sesama. Tapi percayalah, hati kami bergema keras bersenandung nama nabi dan Tuhan kami. Tuhan kalian bukan Tuhan kami, kata seseorang yang tak suka.

Bahkan, kami tak pernah terlihat marah dengan mencaci. Kami melampiaskan marah dengan menunduk dan merapalkan ampunan kepada Tuhan. Tiada henti sama sekali. Ketika kami diserang, didzolimi, dituduh tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan sekalipun. Kami hanya diam. Merapal do'a meminta perlindungan kepada Tuhan. Dalam hati. Karena do'a kami dianggap mengancam, karena mereka yang jahat kepada kami, juga merapal do'a. Do'a yang sama.

***
Aku adalah seorang remaja cukup dewasa. Umurku sudah cukuplah untuk menikah dan membangun keluarga sendiri. Tapi sepertinya Tuhan masih menunda jodohku, untuk menemani kedua orang tuaku dulu. Membantu menanam bawang merah, memberi pupuk, memanen kemudian menjual ke pasar. Kedua orangtuaku adalah penganut ibadah yang taat, sekalipun sudah menua dan mulai perlahan jalannya.

Keluarga kami tak pernah sekalipun absen ke masjid ketika maghrib berkumandang. Lelaki di rumahku, aku dan bapak selalu ke masjid ketika terik siang meninggi di hari jum'at. Meskipun kami tidak ke masjid yang ada di kampung kami. Aku dan bapak memilih ke masjid yang ada di dekat kota. Dekat pusat dakwah, begitu disebutnya di kalangan kami. Itu yang membedakan kami dengan warga di sini. Hanya itu. Itu saja, tidak ada yang lain.

Toh, warga di sini tak ada yang keberatan. Tak ada yang protes. Ini sudah dilakukan sejak kakekku, begitu cerita bapak. Sebagai anak yang baik, aku melanjutkan pemahaman kakek dan bapak. Aku tak hanya menjadi keturunan biologis saja, tapi ideologis juga. Dan semenjak aku serius belajar, tak ada yang beda dan melenceng dari pemahaman kakek. Dan menahun sejak kakek berlalu, pun kami selalu rukun dengan tetangga. Pak RT hingga Kepala Desa pun tak pernah mempersoalkan ini.

Namun tatanan harmoni damai itu terusik. Setelah ada beberapa orang di desa seberang menebarkan isu. Kebencian terhadap sesama kami. Sesama orang yang sering sholat jum'at di masjid dekat pusat dakwah. Orang-orang yang tak bertanggungjawab. Berkepala keras dan sayangnya, mereka juga merapalkan do'a seperti kami. Tapi bedanya, mereka merapalkan do'a diringi dengan kemarahan dan cenderung merusak.

Warga mudah tersulut. Apalagi para pembawa kabar itu menggunakan alibi seolah mereka sepaham dengan pemahaman warga mayoritas di desa kami. Sejak saat itu, kami tidak lagi keluar ketika maghrib. Senja turun, di saat itulah aku bergegas menutup semua jendela dan pintu rumah sehingga tak ada celah untuk masuk rumah. Karena setelah itu, batu dan benda-benda keras akan sengaja dibenturkan dengan rumah kami, kaca rumah tak pelak pecah. Dan yang kami lakukan hanya bersimpuh dibalik tembok kamar tengah, sambil merapal do'a hingga menunggu semua berhenti. Tapi sempat aku mendengarkan, do'a yang kami rapalkan sama, Tuhan yang mereka sebut pun sama. Terkadang aku berfikir, apa yang salah dengan kami. Yang beda cuma satu menurutku, mereka merapal do'a dan nama Tuhan dengan melakukan kekerasan. Aku yang salah atau mereka yang benar. Entahlah.

Malam selalu mencekam bagi kami. Aku bergantian dengan bapak untuk siaga malam. Ditemani setermos kopi buatan ibu dengan sepiring ketela dan kacang rebus. Pagi selalu menjadi harapan bagi kami. Tapi tidak untuk hari itu. Semua warga, termasuk Pak RT dan Pak Kades yang akrab serta baik sekali selama ini dengan keluarga kami. Terpaksa mengusir kami. Wajah mereka tertekan, seperti ada yang memaksa. Aku tak ambil waktu lama, tak perlu berdebat. Bapak mencoba tegar. Ibu sudah tak kuasa menahan waduk air matanya. Keluar deras. Aku menenteng baju dan barang berharga yang bisa kita bawa.

Berpuluh-puluh tahun hidup di sini. Sejak kakek hingga aku lahir, jatuh mencium tanah ketika berlatih berjalan pun di tanah ini. Tapi kami sekarang harus pergi. Terusir. Dari tanah sendiri. Tanpa alasan yang jelas. Hanya karena keyakinan yang sangat absurd sekali untuk diperamasalahkan. Padahal warga kami katanya pembela isu-isu toleransi, tapi hanya isu saja sepertinya. Kami menuju ke gedung pusat dakwah di kota. Di aula besar, ternyata bukan kami saja yang terusir. Sudah ada puluhan keluarga menempati sudut aula yang besar. Kejadian seperti ini, pemerintah terkesan diam saja. Polisi, kelompok keamanan yang lain dimanakah. Mereka terkesan diam dan merestui.
***
Bahkan saudara kami, bukan saudara kalian-katamu, terusir satu kampung. Lombok, Madura dan daerah yang lain menjadi korban kebiadaban warga yang mengaku memegang Pancasila dan percaya pada Tuhan. Tapi sungguh perbuatannya sangat keji dan tidak manusiawi. Saudara kami tak diberikan kesempatan untuk menjelaskan sedikitpun. Hanya atas nama beda pemahaman, kekerasan yang mereka lakukan seolah-olah direstui dan diperbolehkan. Sejak kapan bangsa ini melahirkan manusia-manusia biadab seperti itu. Ini sebenarnya persoalan keyakinan atau kepentingan lain ? Merebut tanah ? Menginjak-injak kemanusiaan.

Kami sepertinya salah hidup di negara ini. Dimana kebebasan berkeyakinan, bukankah sudah menjadi salah satu pondasi kerukukan di negara ini. Bukankah banyak sekali organisasi kemasyarakatan keagamaan di negeri ini yang berkoar-koar mengangkat isu toleransi. Sepertinya hanya isu-isu saja. Tanpa ada tindakan nyata. Tanpa membentuk kekuatan untuk melindungi. Organisasi seperti itu sepertinya memang sengaja dikandangkan kekuatannya untuk sibuk gembar-gembor pengangkatan isu-isu saja.

Kami jadi rindu pemimpin budiman, tegas dan pemberani di negeri ini. Dulu pernah ada pemimpin negeri kami, meskipun beliau tidak mampu melihat tapi ketinggian hatinya melebihi gunung dan langit. Keberaniannya membela kami, kaum minoritas senyata pedang ksatria perang menebas leher musuh. Bukan seperti yang sekarang. Yang pandai mengeluh dan curhat di televisi. Yang laki sibuk update kegiatan sosmed, yang bini gak pernah absen posting gambar di media sosial. Daripada membela kaum tertindas. Entahlah apa yang mereka pikirkan.

Pernah suatu kali, saudara kami, bukan saudara kalian. Lelah bersepeda dari pulau garam hanya untuk menemui pemimpin negeri ini, negeri yang cinta perdamaian dan kerukunan menjadi harga mati. Tapi nyatanya apa, malah si pemimpin tukang mengeluh itu menemui tamunya dari luar negeri. Tamu asing. Yang mungkin tepat dikatakan non-dengan-agama-kita malah diterima dan dicium tangannya dengan patuh. Sedangkan saudara kami menunggu didepan gerbang tanpa boleh masuk. Menunggu seharian dan pulang dengan angan kosong berharap mendapat keadilan dan pembelaan. Pamimpin negara ini adalah murahan.

Entahlah, negeri ini memang aneh. Patutkah kami, bukan kalian, begitu kalian menyebut kami bukan bagian dari kalian, berharap di pemilu mendatang kami mendapat pemimpin yang adil. Patutkah ? Mungkinkah ?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku, Pesta dan Cinta : mengenang kembali Soe Hok Gie

Syakal dan I'jam

Sejarah Fatayat NU "Cabang Jepara"