Cerpen - Salah Tangkap


Aku masih ingat benar, apa yang kau ucapkan dulu kepadaku. Kau dengan lantang tidak percaya pada Tuhan. Mempertanyakan esensi shalat. Dan lagi, ingin pindah agama.”

Sekian lama tak jumpa, itu bukanlah awal percakapan yang bagus dan menyemangatkanku. Ini di luar perkiraan. Yang ada dalam benakku adalah sebuah pertemuan yang menyenangkan berbalut kesenduan setelah sekian lama tak bertemu. Tapi dengannya tidak. Aku semestinya tidak berfikir demikian. Mungkin dengan kawanku yang lain bisa begitu. Seharusnya aku bisa menduga. Bukan dia jika memperlakukanku demikian.

Setelah sekian lama perjumpaan yang menahun tak bertemu. Belum sempat aku memeluknya dia sudah memoporku dengan kalimat itu. Mungkin dia lupa. Aku baru saja melakukan perjalanan panjang untuk pulang. Mungkin juga ia terlalu bersemagat menyambut kedatanganku. Sehingga ia bingung bagaimana kata-kata yang tepat sebagai penanda kedatanganku. Aku tersenyum kecut saja. Salah satu sudut bibirku terangkat sedikit. Tak mau aku merusak sendiri kebahagiaanku karena kembali pulang. Aku tak sempat menjawab. Aku memang sengaja tak menjawab pertanyaannya.


Haha, aku masuk rumah dulu.” sembari aku memegang pundaknya. Matanya mengantarku masuk kedalam rumah hingga menghilang dari pandangannya.
***
Dia adalah kawanku. Anak tetanggaku. Tapi bukan kawan sejak kecil, meskipun rumah kami bersebelahan. Ketika aku sudah SMA, ibunya adalah seorang janda pensiunan tentara. Setelah bapaknya meninggal ia dan ibunya memilih menjual rumahnya di kota dan pindah di desa dekat pantai ini. Tepat di utara rumahku. Karena umur kita sebaya. Ibunya meminta ibuku menyuruh untuk mengajak sekolah bersama. Akhirnya, kami menjadi kawan dekat. Berangkat sekolah dengan berlomba lari di bibir pantai dan sepulang sekolah terkadang memancing. Atau ia tak segan membantu ibu-bapakku membuat garam. Sedangkan ibunya menyibukkan diri membuka jahitan baju.

Pertemanan kami seperti selayaknya dua sahabat yang ditakdirkan menghabiskan waktu bersama. Ketika adzan maghrib hampir dikumandangkan. Sudah dipastikan ia sudah rapi dengan peci hitam, baju koko dan sarung yang di lilitkan di pinggangnya. Dan aku baru selesai mandi. Ngaji bersama. Dengan guru ngaji yang sama kami besar dalam pendidikan agama yang sama. Bapak-ibukku layaknya seorang nelayan. Lebih mempercayakan pengetahuan agamaku kepada guru ngaji yang ada di masjid desa kami. Sedangkan ibunya, meskipun dulu orang kota dan mantan istri tentara, pemahaman agamanya tidak begitu mencolok atau beda dengan warga di kampung ini.

Kami dibesarkan oleh doktrin agama yang sama. Yang pada suatu hari aku berkata persis dengan apa yang ia katakan tadi. Itu aku katakan ketika kuliahku di kota segera dimulai. Aku berpamitan dengannya. Dan aku memang mengatakan bahwa aku tak percaya Tuhan. Aku akan pindah agama. Matanya terbelalak. Itu aku katakan sesaat sebelum bisku aku naik bis akan bernagkat. Ia yang mengantarku ke terminal. Aku memutuskan untuk kuliah. Sedangkan ia ingin menjadi nelayan. Seperti bapakku. Syukurlah, karena ia sudah dianggap bapak seperti anaknya sendiri. Sedangkan aku yang anaknya bapak malah ingin kuliah.

Saat itu memang aku tidak menjelaskan apapun. Karena bis sudah datang. Bukan. Aku memang sengaja tak menjelaskannya. Matanya masih bertanya-tanya dan tak percaya sembari melambaikan tangannya kepadaku. Bisku meninggalkannya.

Dan tak menyangka. Aku betah di kota. Kota yang teramat jauh dari desaku. Harus menyebrang pulau. Butuh biaya mahal untuk sekedar pulang dan pergi. Itu pertimbangannya. Sehingga bapak yang mengirimiku uang menyarankan untuk tidak pulang saja. Hemat biaya, katanya. Karena hanya biaya pulang lebih dari cukup untuk membayar kos dan makan selama tiga bulan. Dan setiap lebaran hanya ada acara menangis di gagang telepon, suara yang aku dengar dari seberang sana. Ibuku.

Pun kemudian aku pulang. Karena kuliahku telah selesai. Aku berniat ingin benar-benar menikmati rumahku. Kampung halamanku. Bermesra ria bersama kedua orang tuaku di hari-hari pertama kepulanganku. Tapi semua rencana itu buru-buru kuurungkan. Karena satu. Ya, perkataan sahabatku tadi. Pikiranku tak tenang. Aku merasa harus menjelaskan sesuatu kepadanya. Menjelaskan perkataanku lima tahun yang lalu itu. Itu sepertinya benar-benar mengganggunya. Selepas isya dan usai makan malam bersama keluarga. Aku memutuskan untuk duduk di teras rumah. Menghadap ke pantai, iringan suara ombak saling bertalu seperti biasa. Seperti ada semacam radar penangkap sinyal. Kawanku seolah tahu bahwa aku sedang menunggunya. Belum sempat aku menyalakan rokokku yang sudah menempel di bibir. Ia buru-buru merebutnya dariku dan melemparnya ke dalam rumah. Lengkap dengan bungkusnya yang ada di saku bajuku.

Rokok orang kota tak seenak rokok asli buatan sini” sambil tangannya menyodorkan rokok ke mulutku lengkap dengan api yang sudah menyala. Aku tak bisa mengelak. Rokok pribumi pertama yang sudah tidak aku rasakan sejak lama. Ini adalah rokok masa SMA kami. Ketika kami masih harus bersembunyi untuk merokok dengan cara menaiki perahu hingga ke tengah. Tidak begitu jauh. Asal bapakku tak melihat.

Aku tak mengucapkan terima kasih. Ia duduk tepat di sampingku. Menghadap ke pantai. Kami diam cukup lama. Tepatnya saling diam. Mungkin mencoba merangkai kata yang tepat untuk memulai pembicaraan yang lama. Kami seperti bukan seorang sahabat. Bukankah seorang sahabat tentu tak perlu kikuk memulai sebuah percakapan. Percakapan ringan setidaknya. Hingga ibuku memecah keadaan tersebut dengan mengantarkan kopi. Kopi kesukaanku. Dia memang benar-benar ibuku.

Ia memulai percakapan dengan sebuah pertanyaan. Sedikit berat memang, menurutku. Tapi tak apalah aku mencoba mendengarkan. “Bagaimana dengan perkataanku tadi siang? Kau masih berhutang penjelasan untukku” aku mencoba meraih kopi yang disediakan ibu tadi. Berusaha menenangkan diri. Dan bersiap-siap menyiapkan jawaban. Dia hanya diam. Asyik dengan rokoknya dan matanya terlihat sedang menunggu jawabanku. Ketika lunas sudah aku menyeruput kopi aku menimpalinya.
aku sedang berbohong” aku menenggelamkan mukaku. Di teras rumah yang terlalu bercahaya ini.
Ia menelengkan matanya kepadaku. Tajam. “ahh. Kau bercanda?” seolah-olah ia tak percaya. Ia tak percaya, mungkin ia merasa bukan sahabatku. Yang tak bisa percaya aku berbohong.

sekian lama,” lanjutku, “aku tak pernah sekalipun berbohong kepadamu, semua itu aku lakukan karena aku akan berpisah denganmu,” ia mengernyitkan dahinya, keheranan. “itu aku anggap sebagai pertanda perpisahan, dan aku berhasil, kau memang sahabatku, kau mengingatnya. Aku berkata demikian setelah aku menemukan buku di gudang sekolah. Lalu aku membacanya dan berisi tentang hal-hal seperti itu. Aku tak membacanya sampai selesai, aku tak berniat juga menyelesaikan buku itu. Dan saat itu aku punya ide untuk mengatakannya padamu.” lalu aku menyerutup kopi yang ada di hadapan kami.

Ia malah tertawa kecil awalnya. Kemudian akhirnya ia terbahak-bahak dan berkelakar. Dan ditutup dengan sebuah teriakan. Teriakan yang teramat keras.
brengsek benar kau. Padahal itu sangat mengangguku. Aku khawatir dan juga ingin tahu. Aku tak bertanya pada guru ngaji kita. Aku menghubungi Alpan, teman kita ngaji anak Haji Murad. Ia juga kuliah, tapi sering pulang. Ia memberiku buku-buku seperti itu. Dan aku khatam membacanya.” lalu ia berdiri dan mengambil rokokku yang ia lempar tadi. Ia berdiri bersandar di tiang penyangga teras rumahku. Tubuhnya seperti berat.
Ia berkata lirih “setelah itu, aku tak pernah lagi sholat... Dan apakah aku masih punya Tuhan” dia diam. Aku diam. Aku hanya bisa menelan ludah. Lalu menyeruput kopi. Perlahan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku, Pesta dan Cinta : mengenang kembali Soe Hok Gie

Syakal dan I'jam

Sejarah Fatayat NU "Cabang Jepara"