Tentang Bagaimana Mencinta #4


Ini kutulis minggu pagi sayang. Jika hari biasanya aku tentu tak bisa bangun siang. Karena pagi sudah mulai beraktifitas. Aktifitasku yang tak penting. Kau tentu lebih suka aku bangun pagi kan? Biar olahraga dan sehat. Kata orang, bangun pagi rezekinya gampang. Amin. Tapi hal itu tidak kuterapkan ketika minggu datang. Biasanya aku akan menghabiskan malam hingga subuh kemudian bangun ketika dzuhur berkumandang. Itu kuanggap sebagai sebuah hadiah untuk jiwaku yang lain. Jiwa yang tak pernah menikmati pagi. Hanya dalam mimpi. Namun, rencana itu gagal. Semalam sehabis isya' aku ada teman baru dari Gorontalo. Kapan-kapan kita kesana sayang. Berkunjung kerumah teman baruku ini dan tentunya travelling. Meskipun kau tak begitu suka travelling. Temanku tadi selepas Isya' mengajak berputar-putar di kota baru ini. Melihat malam. Malam minggu tepatnya. Tepat jam 11 malam aku sudah kehabisan tenaga menuruti semangatnya. Sampai kos langsung tidur dan akhirnya gagal. Aku gagal bangun siang di hari minggu. Ya sudahlah. Aku syukuri. Justru bangun pagi ini, olahraga kecil di teras rumah, aku ingat kamu. Tepatnya ingat hal tentang kamu. Yang kamu lakukan.


Selang tiga hari setelah kita sepakat dalam tautan jari kelingking yang saling mengikat. Kau pulang. Pulang ke rumah orang tuamu. Menjenguk mereka. Aku masih ingat ketika kau masih terjebak di jalan padahal sudah malam. Aku khawatir. Tapi selama ini kekhawatiranku padamu selalu saja sia-sia. Kau memang hebat sayang.

Beberapa hari di rumah, akhirnya kau mengirim pesan kepadaku. Mengutarakan rindumu padaku dan apa saja tentang rumahmu. Dan aku sempat kaget, kau bercerita tentang kita kepada orang tuamu, keluargamu, terutama kakak-kakakmu. Maklum saja, kau anak bungsu dan kesemua kakakmu adalah laki-laki. Tentu kau dijaga betul dengan mereka. Dan kau tak segan bercerita tentang kita. Aku hanya menerawang. Tidak mengerti betul bagaimana keadaanya ketika kau bercerita tentang kami. Mungkin kau bercerita ketika sedang makan bersama. Atau sedang menikmati malam setelah seharian beraktifitas masing-masing di depan televisi. Aku tidak tahu pastinya. Aku hanya mendapat pesan singkat darimu hanya perihal “kau menceritakan, kita, aku kepada keluargamu”. Kau tahu apa yang kurasakan saat itu sayang? Aku merasa, rasa-rasanya cukup sulit aku menuliskannya. Antara bangga dan gelisah tentunya. Bangga karena hal itu benar-benar menunjukkan keseriusanmu kepadaku. Aku yakin, lelaki pertama yang kau ceritakan pada keluargamu adalah aku. Aku yakin itu. Gelisah, karena aku tak tahu harus bagaimana. Gelisah dengan diriku sendiri pastinya. Saat itu aku langsung mematri hatiku untuk mengusahakanmu “menjadi kita”.

Meskipun keluargamu, tentunya ibumu tak menyetujui perbuatan kita. Benar saja, karena saat itu kita masih punya tanggungjawab masing-masing. Terutama menyelesaikan study kita. Tapi toh ibumu belum pernah bertemu denganku. Mungkin ketika itu terjadi aku akan benar-benar menjadi orang paling gelisah.

Mengingat kejadian di pagi ini, aku jadi ingin menuliskan di sini. Bukankah kita mengikat janji bukan hanya sekedar untuk berpacaran dan memadu kasih saja. Tapi kau meminta sebuah keseriusan kepadaku. Ya kan? Baiklah, aku artikan itu tantangan untuk mengajakmu menikah. Aku menyanggupi hal itu tanpa ragu. Apalagi ragu padamu, tentu saja tidak. Walaupun terkadang aku ragu dengan diriku sendiri.

Sejak hari itu, aku bertekad untuk memenuhi janji kita. Dan benar-benar “menjadi kita”. Kita sepakat tidak akan merusak janji kita sendiri. Kau yang bilang itu padaku. Bahwa pada saat yang tepat kita akan bersatu. Aku dan kamu yang menunggu. Menunggu waktu. Menunggu kapan itu menjadi sebuah kepastian. Aku yang datang ke rumahmu dengan kedua orangtuamu. Melamarmu. Memintamu baik-baik dan semoga keluargamu menerima keluargaku. Dan kita menjadi keluarga yang hebat. Begitu anganku.

Tapi bagaimana aku menghapus anganku itu kemudian mengubahnya menjadi kenyataan ? Itu yang benar-benar membuatku gelisah. Apa aku harus melepasmu ? Itu sepertinya tidak mungkin. Aku menunggu kau yang melepasku, itu lebih tidak mungkin. Aku tahu kau yang paling bisa bersetia.

Usai kuliah, aku lontang-lantung, selalu berubah keinginan dan pikiran. Kerja serabutan. Bagaimana bisa mempunyai penghasilan tetap ? Bukankah pernikahan membutuhkan biaya? baiklah, mungkin orangtua akan membantu. Tapi apakah setelah menikah aku akan meminta orangtuaku untuk menafkahimu? Sepertinya aku lebih baik sendiri dan melepasmu daripada aku menjadi lelaki pengecut dalam hidup. Mana mungkin seorang pengecut bersanding dengan perempuan hebat. Kamu. Sedangkan aku tak pernah betah dalam satu pekerjaan. Aku mungkin terlalu idealis sayang. Aku tak mau menjadi budak kapitalisme. Aku juga tak punya keinginan untuk menumpuk kekayaan. Tetapi lelaki manakah yang tega membiarkan keluarganya, perempuan yang ia cintai hidup pas-pasan dan kelaparan. Pun begitu denganku. Saat ini, aku masih kesana-kemari. Merantau dan melunaskan hobiku: travelling. Masih ada Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua yang harus kukunjungi. Mencium aroma kehidupan Eropa pun masih harus terwujudkan. Aku yang belum punya pekerjaan tetap.

Bagaimana aku berani bertemu orangtuamu dan memintamu baik-baik? Apa iya mereka akan rela membiarkan anaknya diberikan kepada lelaki sepertiku? Tentunya tidak. Lelaki yang masih membumbung di kepalanya tentang sebuah idealisme, cita-cita yang butuh waktu menahun untuk diwujudkan. Sabarlah sayang, aku takkan membiarkan dirimu terlalu lama menungguku. Aku takkan membiarkanmu menua. Aku juga ingin punya anak banyak darimu. Aku yang masih tertolak oleh keluargamu.

Sedangkan dirimu, adalah menantu idaman semua ibu. Termasuk ibuku. Sekali waktu bertemulah dengan beliau. Pasti kalian cocok. Aku yakin itu. Apalagi bapakku, tiada satupun yang dikhawatirkan darinya. Kau tak perlu mengubah penampilanmu. Tutur katamu. Jadilah dirimu sendiri. Bagiku, kau adalah nama lain dari kesempurnaan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku, Pesta dan Cinta : mengenang kembali Soe Hok Gie

Syakal dan I'jam

Sejarah Fatayat NU "Cabang Jepara"