Buku, Pesta dan Cinta : mengenang kembali Soe Hok Gie
Bung,
Saya terhanyut. Nurmala
Kartini Pandjaitan atau Kartini Sjahrir atau Ker begitu piawai
mendedahkan kisah kalian. Pada 1968, perkenalan itu terjadi. Ker
masuk sebagai mahasiswa baru Fakultas Sastra Universitas Indonesia
jurusan Antropologi, sementara dirimu adalah “mahasiswa tua”
jurusan Sejarah di fakultas yang sama. Orde Lama telah runtuh, Orde
Baru tengah menata diri.
Ker mengaku, saat itu, ia
merasa terbebaskan diri dari kekangan aturan-aturan kaku sekolah
katolik di Santa Ursula. Di kampus, ia bertemu dirimu, Soe Hok-gie,
yang segera mengajak menjelajahi kehidupan mahasiswa yang begitu
dinamis. Pernahkah dulu ia menyatakan hal ini?
Empat
puluh tahun setelah kematianmu, Ker menuliskannya dalam Soe
Hok-gie…Sekali Lagi.
Ya, ini sebuah kitab yang diterbitkan untuk memperingati lima windu
kepergianmu. Sejumlah orang ikut menyumbang tulisan. Termasuk, aktor
Nicholas Saputra dan sineas Riri Riza. Dua sosok ini belum lahir saat
dirimu meregang nyawa di puncak Gunung Semeru pada 16 Desember 1969.
Waktu
melaju. Tapi, Ker merasa baru kemarin. Masih terang dalam ingatannya
saat kalian menonton acara kesenian di Taman Ismail Marzuki atau
makan soto ayam di Salemba. Semua berlangsung dalam keakraban.
Padahal, "Kalau saya terheran-heran lihat kelakuan kamu, saya
juga tahu kalau kamu terheran-heran melihat 'makhluk' seperti saya:
kuper, rada bloon, pinternya pas-pasan, malas belajar, suka dansa dan
music rock
& roll,
senang naksir dan ditaksir cowok, hari-hari pake rok mini (semini
mungkin) dengan rambut sepinggang dikepang dua…," tulis Ker.
Perempuan itu menulis dalam bentuk "surat"—seperti juga
saya sekarang. "Kamu" di sana adalah dirimu, Soe Hok-gie.
Ah,
mungkin dirimu memang tak usah terheran-heran. Saya ingat esaimu
berjudul Mimpi-mimpi
Terakhir Seorang Mahasiswa Tua yang
dimuat diMahasiswa
Indonesia,
Juni 1968. Tertulis di sana, mimpimu yang terbesar adalah agar
mahasiswa Indonesia berkembang menjadi "manusia-manusia yang
biasa." Saat kuliah, mereka datang ke kelas meski terkadang
membosankan. Di masa ujian, mereka serius membaca di perpustakaan.
Tapi, tulismu, perlu juga mereka berorganisasi, berkesenian, atau
mendaki gunung—seperti yang menjadi kegemaranmu bersama Mapala UI.
Hal paling menyedihkan:
banyak mahasiswa yang mengingkari hakikat kemahasiswaan dan
kepemudaan. Kemudian, tumbuh suasana kepicikan dan kemunafikan. "Di
fakultas saya, terdapat beberapa kelompok mahasiswa yang anti-dansa
secara keterlaluan. Seolah-olah yang dansa adalah iblis-iblis yang
akan merusak moral pemuda," tulismu.
Bung,
"DAN
engkau, hei pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi; engkau jang tentunja
anti-imperialisme ekonomi, engkau jang menentang imperialisme
politik; kenapa di kalangan engkau banjak jang tidak menentang
imperialisme kebudajaan? Kenapa di kalangan engkau banjak jang masih
rock-‘n-roll-rock-‘n-rollan, dansi-dansian ala cha-cha-cha,
musik-musikan ala ngak-ngik-ngok, gila-gilaan, dan lain-lain
sebagainja lagi?"
Paragraf di atas adalah
penggalan pidato Presiden Soekarno dalam peringatan proklamasi
kemerdekaan pada 17 Agustus 1959. Sang Proklamator tengah
mencanangkan Manifestasi Politik, UUD 1945, Sosialisme Indonesia,
Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.
Atau, kelak, lebih dikenal sebagai Manipol-USDEK.
Empat
tahun kemudian, terbit Penetapan Presiden No 11/1963 tentang larangan
musik ngak-ngik-ngok.
Saya pernah membaca, artis seperti Lilis Suryani dan Erni Djohan
sempat ditegur agar mengubah gaya panggung dan busana yang mereka
pakai sesuai adat ketimuran. Keduanya pun berjanji tak akan menyanyi
dengan gaya Barat lagi. Razia dilakukan terhadap ratusan piringan
hitam The Beatles, Rolling Stones, dan sejumlah kelompok musik lain.
Ya, dirimu pasti masih
mengingat masa-masa itu, masa-masa ketika dirimu "menabung"
amarah kepada rezim Soekarno. Otoritarianisme budaya semacam itu juga
yang dilawanmu dari Orde Lama. Memang, tak mengherankan jika dirimu
tak alergi kepada Ker yang mengaku memeluk ideologi "pesta"
dan "cinta"—sementara elemen "buku" minggat
entah ke mana.
Bung,
Ker menulis, "Kamu
yang selalu berani dalam segala hal, ternyata melempem dalam
menyatakan perasaan pribadimu hanya karena kita berbeda budaya."
Padahal, Ker mengaku tak terlalu peduli dengan perbedaan budaya dan
latar belakang kalian.
Di tengah keragu-raguan
itu, muncul sosok Sjahrir atau Ciil, mahasiswa Fakultas Ekonomi UI,
dalam kehidupan Ker. Menurut Ker, dirimu suka memuji Ciil sebagai
orang baik dan pintar. Dirimu dan Ciil sama-sama aktif di Grup
Diskusi UI (GDUI). Lagi, Ker dihinggapi keheranan: kok bisa Soe
Hok-gie bilang begitu?!
Bagaimana bisa Ciil
tergolong “baik”?! Lihat, saat Ker menyatakan hasrat untuk masuk
GDUI, Ciil bilang, “Ker mendingan kuliah yang bener aja dulu, ntar
lu gak naik tingkat lagi. Gue heran, koq lu jadi orang bodoh amat
sih? Udah gitu pemalas, sudah pemalas UI lagi.”
Toh,
Ciil ternyata memendam rasa kepada Ker. Cuma, Ciil berbeda jauh
dengan dirimu yang peragu. Ciil jauh lebih agresif. Juga saat
menentir Ker yang lemah dalam mata kuliah statistik. Saya tertawa
menyimak tuturan Ker, "…kalau sedang menentir saya, dia suka
minta "upah"…Pernah suatu saat Ciil mencuri
kesempatan zoen pipi
saya waktu lagi menentir saya, dan sialnya kepergok penjaga
perpustakaan. Kamu tahu kan apa yang terjadi kemudian? Sesudahnya
saya dianggap seolah-olah pacarnya Ciil, dan si gendut ini menikmati
berita tersebut.”
Cinta Ciil belum juga
bersambut saat ia harus masuk penjara gara-gara peristiwa
Malari—dirimu sudah di Taman Pemakaman Menteng Pulo saat itu. Pada
1977, lewat proses yang juga kocak, akhirnya mereka menikah. Tujuh
bulan setelah itu, mereka terbang ke Amerika Serikat: Ciil kuliah di
Universitas Harvard, Ker melanjutkan di Universitas Cornell. Seperti
suaminya, Ker sekolah sampai meraih PhD.
"Seandainya
kamu ada ya Gie, apa yang akan kamu katakan melihat saya sebagai
Doktor? Mestinya kamu geleng-geleng kepala ya atau mungkin senyum
bahagia. Sekalipun saya Doktor ya Gie, saya tetap senang music rock
& roll dan
berdansa twist
& jive,"
tulis Ker. Lalu, keluarga itu kembali ke Indonesia. Ker pun mengajar,
seperti halnya dirimu, di Fakultas Sastra UI. Mereka hidup bahagia.
Ker menjanda sejak Ciil, sahabatmu yang memang baik dan pintar itu,
meninggal pada Juli 2008.
Bung,
Ker
adalah "Sunarti" dalam Catatan
Seorang Demonstran,
catatan harianmu yang dibukukan itu. Melindungi privasi adalah alasan
editor dan penerbit mengganti nama Ker. Buat saya, episodemu dengan
"Sunarti" yang paling berkesan adalah perjalanan kalian,
dengan sejumlah teman lain, ke Gunung Ciremai pada 30 Mei-1 Juni
1969.
Dirimu menulis, "Dari
Rawamangun saya ke rumah Sunarti dan makan siang di sana….Jam 15.00
kami berangkat meninggalkan Lapangan banteng…Menjelang jam 17.00
pelacur-pelacur sekitar stasiun Jatinegara mulai bermunculan. Dan
kita nongkrong membuat lelucon-lelucon sambil memperhatikan
pelacur-pelacur itu. Sunarti ternyata dapat diajak "jembel-jembelan."
Duduk dekat rel kereta api dan membuat lelucon-lelucon yang segar."
Kalian
kembali ke Jakarta. Tak lama setelah tiba di rumah, Ciil dan seorang
kawan lain menyambangimu. Malam itu, dirimu agak berselisih dengan
Ciil karena ia bilang bahwa dirimu tak radikal lagi. "Apa karena
sudah vested dan
kedudukan sudah enak," kata Ciil. Tajam. Ciil bilang begitu
lantaran dirimu menolak permintaannya untuk mengurus ceramah buat
GDUI.
Menjawab Ciil, dirimu
menulis, "Saya katakan saya tak pernah radikal. Saya adalah
seorang reformis….dari dulu saya tak pernah radikal. Saya katakan
bahwa radikalisme membawa kita pada Kartosuwirjo dan PKI."
Dirimu
memang reformis, juga "mereformasi" Ker. Di ujung tulisan
memikat itu, Ker menyatakan, "Kamu dan Ciil mungkin
sedang ngamat-ngamatin saya
dari dunia kalian yang abadi. Kamu dan Ciil berhasil membuat saya
menjadi apa yang kalian inginkan yaitu akademisi, perempuan aktivis,
dan politisi. Selamat ya."
Pasti, ada banyak orang
seperti Ker, orang-orang yang memetik inspirasi darimu…eh, ini
sudah 17 Desember, kan? Selamat ulang tahun, bung…
Ada
orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke mekkah,
Aada
orang yang menghabiskan waktunya berjudi di wiraza,
Ttapi
aku ingin menghabiskan waktu ku disisi mu sayang ku….
Bicara
tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
Atau
tentang bunga-bunga yang manis di lembah mandala wangi
Ada
serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danang
Ada
bayi-bayi yang lapar di Biafra
Tapi
aku ingin mati disisi mu manisku
Setelah
kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
Tentang
tujuan hidup yang tidak satu setan pun tahu
Mari
sini sayangngku
Kalian
yang pernah mesra Yang pernah baik dan simpati padaku
Tegaklah
ke langit luas Atau awan yang menang
Kita
tak pernah menanamkan apa-apa
Kita
takkan pernah kehilangan apa-apa
Nasib
terbaik adalah tidak pernah dilahir
Yang
kedua dilahirkan tapi mati muda
Dan
yang tersial adalah berumur tua
Berbahagialah
mereka yang mati muda
Mahluk
kecil kembalilah dari tiada ke tiada
Berbahagialah
dalam ketiadaanmu [puisi terakhir Soe Hok Gie]
Komentar