Melawan Logika : Pengemis


Kita mulai dengan pengertian pengemis itu sendiri. Jika diartikan secara serampangan, memang artinya tak jauh-jauh dari meminta, mengiba. Artinya pengemis adalah orang yang meminta-meminta. Pertanyaannya, salahkah jika ada orang yang meminta-meminta ? Di tengah-tengah masyarakat sosial, haruskah meminta ? Atau kehidupan urban yang memaksa ? Atau ada semacam sistem yang melahirkan pengemis sebagai pekerjaan ? Mungkin juga lahir karena sebuah doktrin agama ? Dan jika pengemis adalah perbuatan. Tentu bisa dinilai, apakah salah dan benar ? Lalu siapa yang pantas di salahkan ?

Berawal dari pengemis sebagai sebuah pekerjaan. Akhir-akhir ini berita di televisi ada duet pengemis yang tak sampai sebulan “bekerja” mendapatkan hasil yang fantastis untuk ukuran pengemis. Hampir 25 juta. Bahkan itu gaji melebihi seorang PNS yang mana hidupnya sudah ditanggung negara. Belum lagi kemarin, saya bertemu dengan pengemis dan bertanya. Kalau setiap hari penghasilannya mencapai 300 ribu. Bayangkan saja jika sebulan berapa. Itu melebihi UMR kota-kota besar seperti Yogya dan Surabaya. Jauh lebih banyak dari penjaga toko ataupun petugas kasir super market. Meskipun untuk penampilan jangan disamakan. Kita berbicara dalam ranah penghasilan. Kalau begitu, siapa yang tidak tergiur menjadi pengemis. Apabila berdandan rapi dalam sebuah pekerjaan tapi hidup pas-pasan atau menjadi pengemis tapi setiap hari hidup sudah lebih ?


Dalam tatanan masyarakat melihat pengemis hanyalah sampah masyarakat. Tak berguna. Karena tidak ada kontribusi nyata dalam hirarki masyarakat. Apa yang bisa diharapkan dari seorang peminta ? Bukankah manusia terbaik itu adalah seorang pemberi ? Tapi apa bedanya, meskipun ia bukan pengemis tapi ia miskin ? Sepertinya kedudukannya lebih tinggi pengemis. Jika ada yang bilang, setidaknya orang miskin tersebut terhormat. Karena ia bekerja tak meminta. Apa arti sebuah kehormatan ? Bukankah kehormatan di dalam masyarakat kita salah satunya ditentukan dengan kekayaan ? Orang kaya, selain legalisasi agama, selalu mempunyai suara sedikit lebih besar dibanding yang lain. Dan jika tadi bilang manusia terbaik adalah seorang pemberi, itu sepertinya omong kosong belaka. Antara kaya dan miskin seolah ada jurang sangat dalam yang berfungsi sebagai pemisah. Kenapa orang kaya terkesan pelit dan jarang sekali membantu tetangganya yang miskin. Ini tiada lain adalah teori dominasi. Orang kaya memang harus butuh orang miskin agar dirinya terlihat kaya dan semakin kaya. Jadi tidak salah jika lahirlah pengemis sebagai kelas dalam masyarakat.

Masyarakat sekarang, kita, memang diperbudak oleh ciptaan kita sendiri. Yaitu uang. Banyak orang yang melakukan hal yang tak seharusnya ia lakukan hanya demi setumpuk uang. Penjamin kehidupan. Kita setiap hari dipaksa mencari uang. Sampai-sampai kita kehilangan kedirian kita, nilai kemanusiaan kita. Egoisitas tinggi. Setelah berhasil memupuk uang sebanyak mungkin, pasar akan menjadi sesuatu yang seksi untuk dipeluk, dirangkul dan harus dibeli. Tuntutan kehidupan urban. Belanja terus sampai mati. Ingin beli ini, ingin beli itu, takkan pernah habis. Ketika keinginan tak kunjung puas, namun uang tak mencukupi. Kita akan menjelma menjadi binatang, menanggalkan kemanusiaan kita demi sebuah uang. Jadi apakah salah, jika pengemis terlahir atas tuntutan demikian. Demi uang untuk mencukupi kebutuhan hidup. Karena penghasilan menjadi penjaga warung pulsa atau petugas kasir super market sangatlah jauh dari kata cukup.

Jika melihat dari doktrin agama sepertinya “pengemis” mendapat cap legal dari beberapa pemahaman yang berkembang di masyarakat. Pertama, saling tolong menolong adalah manusia terbaik. Bahkan ada dalil dalam Islam yang kurang lebih begini “sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat kepada sesama”. Pemahaman ini sepertinya bisa diambil untung dari segi pengemis. Yang membuat mereka yakin, kalau dia meminta pasti akan banyak yang memberi. Kedua, ada beberapa pemahaman agama yang disebarkan. Setidaknya dalam beberapa majlis yang pernah saya temui. Mereka mengatakan bahwa jika di dunia ini sudah tidak ada orang meminta, atau kita sudah tidak bisa bersedekah lagi. Itu tanda kiamat sudah dekat. Mungkin pemahaman seperti ini juga yang dimanfaatkan oleh “kaum” pengemis untuk melanggengkan pekerjaan mereka. Ketiga, adalah lagi-lagi egositas tinggi seorang manusia. Yaitu dari hadits nabi yang mengatakan “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”. kita akan berlomba-lomba menjadi orang yang menduduki posisi “tangan di atas”. Dan dengan percaya diri. Tanpa beban. Pengemis rela dan mengorbankan diri melepas gengsi dengan memposisikan diri sebagai “tangan di bawah”.

Dengan demikian. Apakah kelas “pengemis” lahir dengan sengaja atau tanpa disengaja, kita masih meraba. Dengan sengaja berarti ada sekelompok masyarakat yang dengan kesadaran tinggi menjadi pengemis. Meskipun pengemis bukanlah pekerjaan yang dicita-citakan semua orang. Tapi dengan berbagai pertimbangan matang, salah satunya mungkin dengan alasan penghasilan atau mungkin karena merasa diri kurang begitu memiliki kemampuan. Maka, jalan terakhir adalah mengemis. Kedua, tanpa disengaja yang dimaksudkan di sini adalah sistem yang dijalankan masyarakat yang akhirnya membentuk kelas ini dengan sendirinya. Mungkin bisa dilihat dari segi melegalkan dominasi orang kaya atas kekayaannya dan pemanfaat kaum lain akan hal “orang kaya” itu.

Namun, pendapat kebanyakan di tatanan masyarakat kita adalah: pengemis pekerjaan hina. Hal ini sering didasari atas penilaian fisik si pengemis itu sendiri. Tak jarang kita melihat pengemis memiliki badan kekar dan sehat. Dari kelihatannya secara fisik mampu sekali menjadi pekerja pabrik. Sehingga bagi kita, ada keengganan memberi dan buru-buru mengecap pengemis itu tak lain dari seorang paling malas di dunia. Belum lagi pertengkaran batin, bagi kita yang diminta, apakah akan memberi atau tidak. Semisal tidak memberi, merasa diri kita menjadi semacam orang pelit dan sebagainya. Kalau ingin memberi, enggan juga, karena mungkin dari kita, tetangga kita, keluarga kita, sudah tua renta pun masih bekerja. Ada pertarungan hati untuk menghukum pengemis atau tidak. Apa lagi kalau ada doktrin agama yang menjanjikan pahala dan sebagainya.

Nah, jika berbicara siapa yang salah, apakah kita ? Pengemis ? Atau pengelola negara ini/pemerintah ? Mari kita runut satu persatu. Apabila kita sepakat tidak akan memberi uang pada pengemis, apakah bakal masih ada pengemis ? Saya rasa tidak. Tapi apa kita tega, jika ada manusia seperti kita meminta dan kita tidak memberi ? Kedua, semisal pengemis memiliki jiwa dan kesadaran diri akan sebuah kemandirian tentu dia tidak akan membuang harga dirinya dengan meminta-minta. Tapi masalahnya adalah jika yang tertanam dalam diri pengemis bahwa itu sebuah pekerjaan yang baik-baik saja daripada mencuri. Kenapa tidak. Belum lagi pertimbangan hasil yang lumayan banyak. Yang terakhir, sedikit rumit memang melibatkan pemerintah. Tapi patut juga dipertanyakan kepada para penyelenggara negara ini. Bukankah setiap satu periode pemilu salah satu kampanye wajib adalah pengentasan kemiskinan atau banyaknya lapangan kerja. Mungkin jika ada lapangan kerja yang layak kelas pengemis tidak akan lahir. Baiklah, lebih tepatnya lapangan pekerjaan yang manusiawi dengan upah yang pantas. Semisal, penjaga warung internet adalah salah satu pekerjaan yang tidak manusiawi. Apalagi yang dapat shift malam, akan merusak badan, kalau ada yang hilang potong gaji, dan gajinya sangat-sangatlah kecil. Pemerintah harus bertanggungjawab dengan penyelenggaraan lapangan pekerjaan yang layak. Yang manusiawi. Bukan memperlakukan manusia dengan robot. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku, Pesta dan Cinta : mengenang kembali Soe Hok Gie

Syakal dan I'jam

Sejarah Fatayat NU "Cabang Jepara"