Cerpen - Aku Yang


Ini semacam akumulasi kehidupanku akhir-akhir ini. Pagi ini, lebih tepatnya jam. 9 adalah pucaknya. Akhir yang cukup membingungkan sebenarnya. Gelisah tepatnya, tapi cukup sebagai morfin penenang untuk hari-hariku sebelumnya.

Hari-hariku sebelumnya, sebelum pagi ini. Aku mengalami sederet tidur yang melelahkan. Mimpi buruk menjadi sebuah kewajiban di tiap tidurku. Kata seorang teman, aku mungkin lupa berdo'a sebelum tidur. Baiklah, aku merapal do'a apa-apa saja yang aku ingat di kepala. Baik yang mengerti artinya ataupun yang lupa sekalipun. Hasilnya sama sekali tidak berhasil. Aku tetap mimpi buruk. Melihat buaya raksasa di muntahkan monster. Terjun ke kubangan semacam kotoran berwarna hitam. Tersesat di hutan yang teramat luas dan hanya ada leher menjulur panjang dengan bibir seperti donal bebek yang terus mengejar. Dan adegan-adegan seram, melelahkan tersebut menurut teman karib adalah ketakutan-ketakuatan di bawah alam sadar. Bagiku itu berlebihan sekali, mana ada ketakutan yang sangat komikal seperti mimpi-mimpi itu. Dan jalan terakhir, untuk melawan mimpi itu, aku tidak berangkat untuk tidur. Sama sekali. Hingga pagi ini.


Malam yang panjang, dan kebetulan adalah akhir pekan. Jadi tak ada kekhawatiran untuk tak tidur. Setelah beromong-kosong dengan teman sejawat ditemani kopi dan rokok sampai tengah malam aku memilih memisah, aku menikmati malam hingga pagi sendiri. Dengan mata terbuka. Kopi panas secangkir. Rokok sebungkus tersisa setengah. Laptop yang menyala. Kali ini aku ingin menyalakan Iwan Fals, Payung Teduh kemudian Efek Rumah Kaca. Aku sedang malas dan rada bosan membunyikan lagu selain itu, apalagi barat. Dan aku mendakwa bahwa Payung Teduh dan Efek Rumah Kaca adalah Penyelamat Band Indonesia. Gemuruh perlawanan Iwan Fals memenuhi ruangan kamarku. Sepetak kasur lantai. Meja mengetik dan lampu tak terlalu bersinar. Setelah menyerutup kopi dan menyalakan rokok, tanganku mulai gelisah. Ia bukanya aplikasi untuk mengetik. Sejam kemudian selesailah cerpen yang dilahirkan atas kolaborasi imajinasiku dan tanganku. Leptop juga memberikan kontribusinya, juga kopi, rokok dan tentunya mimpo burukku.

Selesai satu cerpen, aku enggan menulis lagi. Bagiku ini sebuah peraturan yang dibuat otak. Otak sepertinya sudah malas untuk menulis yang kedua. Aku melongok kedinding. Jam masih saja dengan ekspresi awalnya, datar dan sayu. Pukul dua malam lebih sedikit. Aku berniat ingin mengambil air wudhu dan, dan, dan shalat malam. Aku sempat berfikir mungkin dengan begitu tak ada lagi mimpi buruk. Baiklah, aku tanggalkan tempat duduk di depan meja yang sedari tadi kudapi. Mengambil air wudhu dan shalat. Ya, aku shalat. Tapi hanya shalat isya'. Aku belum. Aku tidak shalat yang lain. Tidak untuk aku jelaskan.

Aku kembali secepat kilat. Berhadapan satu lawan satu dengan leptop. Bukan. Tapi lawan banyak. Dari kopi, rokok, tempat asbak dan korek seolah-olah menatap mataku tajam. Aku diam. Mereka diam. Aku diam lagi. Mereka juga masih diam. Akhirnya aku berbicara, leptop yang menimpali. Tanganku ternyata kembali menyalakan lagu dari Payung Teduh. Setelah satu lagu selesai, perempuan yang sedang dalam pelukan. Aku matikan aplikasi pemutar musik. Suasana diam. Hening. Hanya ada dzikir jam yang selalu sama. Dan lampu yang masih saja sayu untuk bersinar. Sepertinya, saat-saat seperti inilah waktu yang paling teramat brengsek.

Brengsek adalah ketika sunyi, malam, sepi, tiba-tiba ada seseorang yang tak diundang datang. Ia bernama kenangan. Ah, siapa yang mengundangnya kesini. Aku tak tahu. Baiklah, bukankah tidak sopan jika ada tamu, meskipun tak diharapkan kedatangannya, tidak menjamunya dengan baik. Sayangnya, ia tidak suka kopi, rokok ataupun makanan ringan yang mudah aku dapat. Satu-satunya hal yang bisa menjamu kenangan itu adalah dengan kenangan itu sendiri. Aku mulai membuka file-file yang sudah jarang sekali terjamah. Ada beberapa kotak kuning yang bernama semacam kenangan. Picture. Aku terpaksa membukanya. Semata karena aku menghormati tamuku, kenangan.

Foto pertama yang diminta kenangan adalah perempuanku. Kau sayang. Ah masih bolehkah aku memanggikmu sayang. Honey, atau sekedar bebs. Yang terakhir khas darimu. Hanya darimu. Ah, semua orang punya panggilan sayang masing-masing. Tapi kau sudah lama sekali tak memanggilku begitu. Aku pandangi foto kita berdua. Lama sekali. Sesekali aku perbesar tepat di senyummu. Tapi aku bukan padamu bukan karena senyummu. Karena dirimu. Hanya dirimu. Ah, sudahlah. Aku usir saja tamuku. Kenangan, aku paksa dengan sangat tidak enak ku suruh pulang. Atau bertamu dengan manusia-manusia lain yang menjelang subuh masih terjaga. Sembari ia pergi, layar leptopku secepat kilat aku lekatkan dengan keyboard. Selesai. Syukurlah, aku mampu melawan kenangan. Aku tak sampai merutuki foto kita sayang. Tapi untunglah tidak.

Aku bersandar di kursi. Aku dongakkan kepalaku ke langit-langit kamar. Sesekali mengisap rokok sembari memainkan kepul asapnya. Tak sadar ternyata adzan subuh berkumandang. Aku lekas mematikan rokok. Menga,bil air wudhu. Shalat subuh. Dan kemudian tertidur di atas sajadah. Mungkin kasur akan marah. Tapi aku tak peduli. Aku tertidur dan aku masih saja mimpi buruk. Tak terlalu buruk. Cukup melelahkan. Aku nikmati itu. Karena aku hanya tertidur sebentar. Dan tak ingin tidur lagi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku, Pesta dan Cinta : mengenang kembali Soe Hok Gie

Syakal dan I'jam

Sejarah Fatayat NU "Cabang Jepara"