Tentang Bagaimana Mencita #3
Sayang,
aku menyapamu lagi. Lewat tulisan ini. Bukannya aku sok puitis atau
biar dibilang seperti penulis. Bukan, tentu saja bukan. Kau paling
mengerti aku sayang. Meskipun aku terkadang menulis status di media
sosial sedikit panjang dan berkelit dengan struktur kata yang lebih
sering dianggap teman media sosialku bahwa itu puitis. Sekali lagi
bukan sayang. Semua ini karena aku selalu takut. Takut menyapamu
langsung. Meneleponmu tiap saat senggangku. Atau sekedar sms tak
penting kepadamu yang hanya menanyakan kabar dan mengingatkan untuk
makan. Kita memang tidak seperti itu sayang. Kita berbeda. Kita
memilih berjarak dan menunggu saat yang benar-benar indah. Kau tahu,
aku yang menunggu.
Aku
tak sengaja, suatu sore, setelah beraktifitas yang melelahkan dan
lunas sudah kewajiban. Di tengah-tengah waktu menunggu maghrib.
Tanganku menghidupkan leptop yang ada di meja kamar. Hanya untuk
memutar lagu. Mungkin tanganku tak tega jika aku harus menikmati
senja dengan diam, sepi dan sendiri. Atau itu atas perintah
telingaku. Karena telingaku akhir-akhir ini terlalu lelah
mendengarkan bahasa-bahasa asing dan bahasa kesunyian. Sayang, kau
tahu apa itu bahasa kesunyian? Bahasa yang hanya bisa dipahami ketika
malam begitu panjang, subuh tak kunjung datang bersamaan aku sangat
merindukanmu lalu aku memilih sunyi sebagai teman. Mungkin telingaku
lelah dan bosan karena setiap malam ia hanya mendengar desir angin
malam, suara jangkrik dan malam yang senyap. Mungkin alasan itulah
telinga menyuruh tangan untuk menghidupkan musik.
Sayang
kau kenal dengan ERK ? Jika belum aku akan mengenalkan salah satu
lagu yang menurutku begitu tengik. Ya, sepertinya engkau belum tahu.
Karena aku tahu selera musikmu. Kau penikmat lagu-lagu instrumen
semacam Kitaro. Dan ini juga bukan semacam Mozart, Matov ataupun
Bethoven. Efek Rumah Kaca namanya. Dari namanya mungkin sudah sedikit
anehkan menurutmu. Tapi lagu-lagunya sangat idealis menurutku. Tidak
pasaran seperti lagu-lagu cinta yang mudah diingat tapi juga
dilupakan. Selain ERK ada juga Payung Teduh. Untuk Payung Teduh
mungkin akan kudendangkan langsung kepadamu. ERK lah yang dinyalakan
oleh tanganku sore itu. Betapa brengseknya jika ada sebuah lagu yang
berhasil menggulung kenangangan dan cerita. Seperti tentang kita.
Sayang,
kau masih ingat kau memegang tanganku erat? Tentu kau lupa. Karena
saat itu kau sedang sakit perut gegara
serangan
musuh bulananmu. Kau hampir terhuyung dan aku harus mengantarkanmu
pulang. Kehabisan tenaga
itulah kau memegang erat tanganku. Duduk
membonceng motorku yang butut tanganmu melingkar di pinggang
dan merengkuh memgang
erat tanganku
yang kiri. Aku hampir saja tak bisa menghindari lubang di jalan
karena hanya menyetir motor dengan tangan satu. Kau memegang erat dan
aku mendengar erangan akibat
sakit di perutmu. Saat itulah kau memeluk erat diriku dari belakang.
Rasa-rasanya aku tak ingin mengantarmu pulang. Tapi membawamu
mengelilingi dunia yang
tiada
habisnya agar kau selalu memeluk tubuh
yang gempal ini.
Namun itu tak mungkin kulakukan, melihatmu tak berdaya aku hanya
berharap segera mengantarmu pulang dan kau bisa istirahat. Seperti
itulah kita, tak pernah berjalan bersamaan dengan bergandeng tangan
apalagi berpelukan. Bahkan ketika aku akan pergi merantau jauh darimu
kau hanya mengecup pipiku yang berkecepatan melebihi cahaya. Cepat
sekali. Tapi begitu membekas. Aku
pergi dan kau tempat tinggal memegang janji.
aku
selalu takjub dalam mendengarkanmu bercerita sayang. Yang kutunggu
darimu selain kehadiranmu di sisi adalah cerita-ceritamu. Entah
mengapa, sepertinya Tuhan tak menciptakan rasa jemu padaku untuk
mendengarkan ceritamu. Aku bersyukur untuk itu. Ceritamu menjadi
semacam morfin bagiku. Di tengah kehidupan yang selalu berputar dan
kadang membosankan. Kapan kau akan bercerita lagi sayang? Tentang
apapun, tentang hal-hal yang kau sukai dan kau terlihat cantik sekali
ketika sedang tertawa. Tentang hal-hal yang paling kau tak sukai
sehingga wajahmu berubah cemberut. Dan itu cantik sekali. Ah, kau
memang cantik. Titik. Jangan didebat sayang, biarkanlah aku sekali
ini memujimu dengan lantang. Tapi bukan dirimu
jika kau menerima pujianku ini. Kau selalu merasa biasa saja. Kau tak
mau yang berlebihan. Kau adalah kedalaman. Sedangkan aku adalah ombak
beriak di permukaan. Dan kita sepakat, tak akan pernah saling memuji.
Ah, lagi-lagi ERK seperti mendikte sudah kisahku denganmu sayang. Tak
apalah.
“Kita
berdua tak pernah ucapkan maaf
Aku
masih ingat. Ketika kau meminta maaf karena sedikit sibuk sehingga
tak sempat memberikan perhatian kepadaku. Meluangkan
waktu untukku.
Bahkan
kau tak datang datang
setelah kuminta. Ketika kau tak hadir di sisiku yang seharusnya
memang cuma kamu yang berhak menempati itu. Dan kau tak datang, kau
lagi-lagi minta maaf. Dan aku selalu menolak memaafkanmu.
Bukannya aku jahat. Tapi memang hal demikian tidak ada yang perlu di
maafkan. Aku
mencoba mengerti, meskipun kecewa tak bisa dipungkiri. Tapi aku akan
selalu menolak permintaan maafmu, sayang. Itu bukan sebuah kesalahan.
Perasaan kecewa buru-buru aku obati dengan menyadari diri. Bahwa
kaupun punya dunia sendiri demikian juga aku. Oh, aku tidak. Duniaku
adalah kamu. Kamu tidak ada di duniaku, berarti itu bukan duniaku.
Tak
sampai ERK menyanyikan lagunya hingga rampung. Adzan maghrib telah
memecah cerita lalu yang kubangun sendiri. Aku kemudian mengambil
handuk meluncur ke kamar mandi. Dan aku meneruskan bait ERK “jatuh
cinta itu biasa saja” di kamar mandi beradu dengan adzan maghrib.
“Kita
berdua tak hanya menjalani cinta
Tapi
menghidupi
Ketika
rindu, menggebu gebu, kita menunggu
Jatuh
cinta itu biasa saja
Jika
jatuh cinta itu buta
Saling
mencari di dalam gelap
Kedua
mata kita gelap
Lalu
hati kita gelap”
Komentar