Syakal dan I'jam



SYAKAL  DAN I’JAM
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Al-Qur’an
Dosen Pengampu: Bpk. Dr. Imam Muhsin
Disusun Oleh:
Ahmad Ni’am Shidqi            09120061
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2010


BAB  I
PENDAHULUAN
            Sejak turunnya Al  Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW sampai kepada kita telah mengalami perubahan dari segi pengumpulannya. Pada masa Rasulullah mungkin cenderung hafalan dan tulisan, dimana  para sahabat lebih kuat dalam hafalannya. Nabi menganjurkan supaya Al Qur’an itu dihafal, dibaca selalu, dan diwajibkan membacanya dalam sembahyang.[1]walaupun pada masa ini ada pembukuan tapi tidak begitu gencar.
            Pada masa Khulafaurrasyidin terjadi penulisan atau penghimpunan Al Qur’an dalam satu mushaf yang utuh. Dalam menghimpun Al Qur’an, Zaid bin Tsabit menempuh cara yang sangat ketat yang diterapkan oleh Abu Bakar dan Umar, yang mampu menjamin ketelitian dan kehati-hatian maksimal.[2] Pada masa Utsman dibentuklah satu panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit yang bertugas menulis Alqr’an dalam satu mushaf berdasarkan satu jenis bacaan, yaitu dialek Quraisy. Dan hasilnya dinamakan mushaf Al Imam (mushaf pedoman).
            Namun mushaf yang dibuat Ustman tidak ada tanda baca seperti syakal ataupun I’jam. Sehingga bangsa ajam atau non arab kesulitan dalam membaca mushaf Ustman. Sehingga pada masa berikutnya terjadi sejarah yang panjang dalam penulisan tanda baca yang dibubuhkan dalam mushaf Utsman.
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Definisi Syakal dan I’jam
Syakal adalah lambing penulisan yang menetapkan harakat huruf-huruf atau yang menunjukkan bunyi akhir suatu kata (I’rab). Syakal pertama kali dituliskan oleh Abul Aswad dengan menempatkan nuqthah (titik), kemudian Abul Aswad memerintahkan kepada penulis seraya berkata. Jika waktu kau melihat bibirku terbuka lebar waktu menyebut huruf (bersuara a), letakkan satu titik diatasnya. Dan jika kedua bibirku agak terkatup (bersuara i), letakkanlah satu titk dibawahnya. Jika bunyi syaraku dengung (ghunnah), letakkan dua titik diatasnya.[3]
Sedangkan pengertian I’jam menurut bahasa adalah menguji dan menyeleksi. Yang dimaksud I’jam ialah pembedaan huruf yang sama dengan jalan meletakkan titik-titik untuk menghindari kekeliruan. (misalnya antara sin dan syin).penemuan I’jam dalam Al Qur’an pada zaman pemerintahan Dinasti Umayyah pada khalifah Abdul Malik bin Marwan tahun 65 H. tapi I’jam sendiri sudah ada sebelum masa Khalifah Abdul Malik, mengingat di dalam tulisan kuno sebelum masa ini pada beberapa huruf seperti ba’ dan ta’ dan yang serupa dengan kedua  huruf ini seperti ba’, ya’ dan tsa’. Seperti kita ketahui bahwa mushaf Utsman tidak memiliki syakal dan titik. Sehingga terjadi perbedaan dimana bacaan dalam Al Qur;an apakah benar atau salah, sebasgai contoh firman Allah SWT: nunsyizuha dengan memakai huruf ra bertitik (zain) atau nunsyiruha tanpa titik (ra), demikian pula halnya ayat litakuna aayatan liman khalfaka dengan fa atau liman khalaqaka dengan qaf. [4]
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa tanda fathah, kasrah dan sebagainya berbentuk titik saja, demikian pula halnya tanda titik (I’jam). Untuk membedakan kekaburan baca beberapa tanda bacaan serta I’jam. Maka tanda bacaan (fathah dan sebagainya) dalam mushaf ditulis dengan warna merah sedangkan I’jam dengan warna lain. Sedangkan penduduk Andalusia terus menggunakan empat warna dalam menulis mushaf; hitam untuk huruf, kuning untuk hamzah dan hijau untuk alif washl.
B.      Latar Belakang Penulisan Syakal dan I’jam
Pada permulaan Islam bangsa Arab adalah satu bangsa yang buta huruf, amat sedikit diantara mereka yang pandai menulis dan membaca,[5]sehingga mengenal tulisan melalui kontak-kontak individual dengan orang Irak dan Syam. Tulisan yang berkembang saat itu dalah tulisan Siryani, suatu bentuk tulisan yang tidak memiliki titik. Dan bansa arab saat itu terkenal akan kefasihan dan kejelasan artikulasai, maka tidak membutuhkan syakal dan i’jam dalam bacaan mereka.
Setelah ekspansi perluasaan wilayah  Islam sampai ke berbagai tempat tidak hanya Jazirah Arab dan meluas hingga kedaratan Andalusia atau Spanyol, sehingga terjadi kesalahan dan kekeliruan dalam membaca Al Qur’an, serta muncul dalam bangsa arab sendiri mengalami kerusakan bahasa karena sering berhubungan dengan bangsa lain.
Atas keadaan diataslah yang menyebabkan inisiatif untuk dituliskannya syakal dan I’jam dalam Al Qur’an.
C.      Sejarah Penulisan Syakal dan I’jam
Kondisi dan model salinan mushaf Utsmani pada saat khalifah Utsman memberlakukan dalam keadaan tidak bersyakal dan tidak bertitik. Cara yang demikian ini membuka kemungkinan terjadinya berbagai macam bacaan di berbagai kota dan daerah yang mempunyai kekhususan tersendiri sesuai dengan tabiat dan adat masing-masing, untukj membaca mushaf butuh adanya tanda-tanda bunyi (harakat), tanda-tanda  pembeda huruf berupa titik-titik.[6]
Kaum muslimin membaca mushaf tanpa syakal dan i’jam selama kurang lenbih empat puluh tahun dari masa Khalifah Utsman hingga Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Pada masa Abdul Malik dikhawatirkan terjadinya perubahan nash al Qur’an jika penulisan tanpa syakal dan I’jam. Akhirnya mulai dipikirkan pembuatan tanda-tanda tertentu yang dapat membantu bacaan dengan baik dan benar seperti penambahan huruf alif (tanda madd atau suara panjang) pada 200 kata yang semestinya dibaca dengan suara panjang. Misalnya kata  kanat” ditulis tanpa huruf  alif lalu ditambahi alif menjadi ‘kanaat” dengan suara panjang. Juga kata lainnya seperti “qalat” menjadi “qalaat”.[7]
Namun dalam bukunya Abu Abdullah Az-Zanjani menyebutkan bahwa Ziad bin Sumayyah, Gubernur Bashrah, meminta kepada Aswad Ad-Du’ali agar menciptakan suatu cara guna mencegah bahas arab dari kerusakan. Ia berkata “Daerah-daerah yang makin luas ini telah merusak bahasa dan lidah orang arab. Sebaiknya anda menciptakan sesuatu yang dapat menjaga dan mengatur bahasa mereka sehingga mampu membaca kitab Al Qur’an dengan baik”.[8] pada awalnya Aswad menolak namun setelah mendengar salah satu orang membaca Al Qur’an salah nyaitu QS At Taubah ayat 3, yang semestinya diakhir ayat dibaca wa rasuluhu bukan wa rasulihi, dan itu sangat fatal karena telah merubah makna dari ayat tersebut. Setelah kejadian itu Aswad bersedia untuk membuat semacam kaidah syakal dan i’jam.
Abul Aswad al Duali dibantu oleh kedua murinya yaitu Yahya bin Ya’mar dan Nasr bin Ashim al Laitsi. Abul Aswad dikenal sebagai orang pertama yang meletakkan tanda baca titik atas perintah Ali bin Abi Thalib, juga membuat tanda baca titik atas perintah Khalifah Abdul Malik bin Marwan atau atas perintah Gubernur Bashrah Ziad bin Sumayyah.
Masa selanjutnya perhatian dalam penulisan syakal dan I’jam semakin besar guna memudahkan penulisan Al Qur’an. Upaya itu dimulai olehbnal Khalil bin Ahmad al Farahidi al Azdi (w. 175 H) atau lebih dikenal dengan  Abu Abdurrahman, seorang sastrawan yang menyusun titik-titk kemudian dibentuk menjadi gambar untuk menghias buku, membuat tanda baca hamzah, tasydid, raum dan isyam. Hal seriupa dilakukan oleh Hatim Sajistani yang menulis buku tentang tanda baca titik dan syakal.
Pada saat itu mengalami puncak kesempurnaan, kaum muslimin berlomba-lomba menulis mushaf dengan tulisan seindah mungkin (khat), penciptaan tanda baca berupa huruf bertasydid dengan membubuhkan garis setengah lingkaran diatasnya.[9]
D.       Pendapat Ulama’ Tentang Penulisan Syakal dan I’jam
Sebagian Ulama’ berpendapat tentang penulisan syakal dan i’jam mengalami perbedaan pendapat ada yang melarang, membolehkan dan ada yang mengambil sikap tengah.
Ulama’ yang menolak pemberian syakal dan i’jam ataupun tanda bacaan. Seperti yang diriwayatkan Abu ‘Ubaid dari Abdullah bin Mas’ud menyebutkan: “murnikanlah al qur’an dan jangan kalian campuri sesuatu yang lain”. Karena pembubuhan syakal dan I’jam dalam mushaf kadang-kadang tidak bisa dibedakannya huruf-huruf Al Qur’an dan huruf-huruf non al Qur’an. Penolakan serupa juga dilakukan dikalangan tabi’in, karena menurut mereka upaya tajdid dianggap bagian dari bid’ah yang menyesatkan.
Pada generasi tabi’it tabi’in justru sebaliknya, ulama sekaliber Imam Malik, tampaknya membolehkan penggunaan tanda baca berupa titik-titk pada mushaf  mushaf yang telah diperiksa oleh ulama-ulama. Bahkan al Halimi menyatakn bahwa pembubuhan titik pada mushaf  boleh saja dilakukan karena itu bukan gambar yang menimbulkan imajinasi yang menyesatkan.[10]
Menurutu Al Nawawi, beliau menegaskan bahwa penulisan mushaf dengan membubuhkan titik dan syakal adalah lebih disukai (mustahab). Dan juga bisa termasuk dalam kategori pemeliharaan al-Qur’an dari salah baca dan kemungkinan terjadi perubahan I’rab yang menyebabkan perubahan makna.

BAB III
PENUTUP
      Pada masa setelah khalifah Utsman selang mencapai empat puluh tahun kaum muslim membaca mushaf Al Qur’an dalam keadaan ntanpa syakal dan I’jam, sehingga menimbulkan kekeliruan membaca dan perubahan I’rab yang mengakibatkan perubahan makna. Karena islam tidak hanya di Jazirah Arab saja akan tetapi bangsa Ajam atau non arab mengalami kesulitan dalam membaca kitab Al Qur’an.
Atas perintah atau masa Ali bin Abi thalib atau Abdul Malik bin Marwan ataupun atas permintaan Gubernur Bashrah Ziad bin Sumayyah menyuruh Abul Aswad Ad Duali untuk membuat kaidah-kaidah penulisan syakal dan I’jam  yang dibantu oleh kedua muridnya. Dan penulisaan syakal dan I’jam terus berlanjut masa selanjutnya dan mengalami kesempurnaan dengan tulisan yang seindah mungkin (khat)..
Adapun tentang pendapat Ulama’ yang bersebrangan antara yang setuju dan tidak setuju atas penulisan syakal dan I’jam ini. Namun bagaimanapun juga manfaat pembubuhan penulisan syakal dan i’jam telah menghindarkan kesalahan dalam membaca, khususnya kita sebagai generasi yang jauh setelah masa Nabi Muhammad SAW.
DAFTAR PUSTAKA

Az-Zanjani, Abu Abdullah. 1935. Wawasan Baru Tarikh Al-Qur’an. Jakarta:Mizan.
Abidin, Drs. Zainal.1992. Seluk-Beluk Al-Qur’an. Jakarta:PT Rineka Cipta.
Munawir, Drs. Fajrul. 2005. Al-Qur’an. Yogyakarta:Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.



[1]                      Drs. Zainal Abidin. Seluk-beluk Al Qur’an. (Jakarta:PT Rineka Cipta. 1992) hlm, 29
[2]                      Drs. Fajrul Munawir, M.Si. Al Qur’an. (Yogyakarta:Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga) hlm 61
[3]                      Abu Abdullah Az-Zanjani. Wawasan  Baru Tarikh Al Qur’an. (Jakarta:Mizan) hlm 116
[4]                      Ibid, hlm 118
[5]                      Drs. Zainal Abidin. Hlm 27
[6]                      Drs. Fajrul Munawir. Hlm 65
[7]                      Ibid  hlm 67
[8]                      Abu Abdullah Az-Zanjani. Hlm 115
[9]                      Drs. Fajrul Munawir. Hlm 66
[10]                    ibid. hlm 67

Komentar

Unknown mengatakan…
mas di read more tambah bagus lo,,, for all is good
Unknown mengatakan…
OK,, SIAP KAK

Postingan populer dari blog ini

Buku, Pesta dan Cinta : mengenang kembali Soe Hok Gie

Sejarah Fatayat NU "Cabang Jepara"