Tentang Bagaimana Mencinta #1


Sayang, seberapakah rindumu padaku? Kau tahu apa arti merindu namun tak diucapkan? Itu seperti menahun menjadi budak koloni dalam proyek super keji yang dinamai “culturstelsel” ingin hati memberontak, tapi tak ada daya. Tersiksa. Tapi aku tak menganggap bahwa rindu kepadamu suatu siksaan. Namun seperti katamu, rindu akan semakin menjadi setelah kita bertemu. Jadi itu pilihanmu, tak bertemu aku, karena kau paling tak bisa dengan perpisahan setelah kita jalani hari bersama. Makan siomay kesukaanmu. Mendengarkan celotehmu yang sesekali cemberut kesal sebagai ekspresi: cantik sekali. Dan diujung hari yang terlalu cepat bagiku tangan kita disatu ujung dan ciuman selalu menjadi tanda pemungkas pertemuan kala itu.


Sayang, kau sangat cantik sekali. Meskipun kau selalu sebal dan melawan sekuat tenaga. Kenapa kau tak iyakan saja bahwa kamu cantik. Tapi kau seakan mengerti betul diriku, diriku yang tak suka dengan orang yang berbangga diri. Ah, kamu memang cantik. Titik. Meskipun aku juga tak tampan, ah sudahlah. Kamu tetap perempuan cantik yang mengidamkan setulus rasa dari seorang buruk rupa: semoga aku. Maafkan aku sayang, kau tentu tak suka jika aku menjelek-jelekkan diriku ini. Kekasihmu ini.

Kapan terakhir kita berbilang cinta, sayang? Mungkin jutaan tahun yang lalu. Kita sepakat bahwa cinta kita bahkan sudah ada sebelum ayah kita menegang di kamar ketika malam pertama bersama ibu. Sehingga tak pernah sekalipun di keempat cabang telinga kita mendengarkan kata “cinta” dari masing-masing. Tapi apa yang lebih indah dari mendiamkan cinta untuk dipetik pada waktunya. Kamu sayang, memang seorang yang selalu menimang kedepannya. Kamu masih belum percaya akan bilangan cinta dari mulutku kala itu. Itu hanya terbawa perasaan saja, dalihmu. Aku tak benar-benar mencintaimu, katamu juga. Kita masih sampai pada saling suka dan butuh rantauan waktu untuk mengujinya menjadi cinta, begitu ceramahmu. Aku iyakan saja. Toh demikian, kamu selalu menyandarkan kepalamu di bahuku dan aku selalu terbenam dalam pelukanmu ketika hidup ini begitu brengsek. Oh iya, aku rindu kamu.

Kapan terakhir kita bertemu? Dan pada ujung hari kita berciuman. Aku tak mengira itu akan menjadi yang terakhir. Terakhir untuk waktu yang benar-benar lama. Bahkan aku, kamu, tak bisa memastikan kapan kita akan berciuman lagi. Aku takkan pernah lupa kapan terakhir kita bertemu dan berciuman di belakang pintu rumah. Sembari rasa was-was yang meraba. Lalu tiba-tiba perkataanmu menyergap dan memecahkan suasana. “Aku tak bisa melepasmu tapi...” aku mendengarkan dengan sungguh tapi kau seakan membuat kelu lidahmu sendiri. Dan bodohnya, aku seakan tak peka dengan apa yang diinginkan kekasihku ini. Katanya, tak ada cinta diantara kita. Aku sempat bingung dan tak tahu menahu harus berfikir apa. Untuk menahannya. Untuk agar dia tak melepasku. Aku masih saja tenggelam dalam peluknya yang rengkuh namun rapuh. Lama, untuk terakhir kalinya. Lalu, sekuat tenaga aku beranikan diri bertanya “tak ada cinta?” bukankah kita selalu berpegang tangan dengan apapun yang terjadi. Kita tak pernah saling memaksa diri ketika tak ingin bercinta. Aku tak pernah begitu melarangmu, meskipun aku selalu cemburu. Bukankah aku lelaki yang paling bisa bersetia? Meskipun ada beberapa perempuan yang dengan sengaja menggodaku. Dan itu selalu membuatmu manyun dan sebal: cantik sekali kamu sayang. Tapi bukan itu kan? Aku tak mengerti.

Dan sampailah padanya kau berujar bahwa cinta yang sesungguhnya hanya ada ketika dibalut sebuah pernikahan. Atas dasar itulah, kau melepasku. Mendapatkanku kembali ketika aku sudah benar-benar siap meminangmu. Tapi kenapa harus dengan pernikahan untuk sebuah cinta? Tolakku. Kamu bilang hubungan tanpa ikatan suci hanyalah sebatas pemuas nafsu dan sebagainya. Aku tahu itu bukan alasan tepat. Dan aku tahu kamu juga tak sungguh-sungguh dengan alasanmu itu yang terkesan sekenanya. Aku diam saja. Dengan pemikiranmu itu kita bersepakat meski aku tak sepakat untuk menyudahi hubungan ini. Kita hanya menunggu. Bukankah menunggu sebuah penantian tanpa ujung. Tapi ini beda, ini penantian seorang kasih yang menunggu sang penyelamatnya.

Kekasihku pergi dan memilih aku menunggu. Menunggu aku hingga siap meminangnya. Dan dia berjanji selalu setia menungguku. Baiklah sayang, akan aku buktikan padamu cintaku, namun tunggu dulu. Kau juga harus menunggu, kita saling menunggu memang. Kamu dengan duniamu dan aku dengan segala ambisi dan ide-ide yang harus aku terealisasikan.
Kelak, apakah kita benar-benar menikah, sayang? Aku yang menunggu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku, Pesta dan Cinta : mengenang kembali Soe Hok Gie

Syakal dan I'jam

Sejarah Fatayat NU "Cabang Jepara"