Raffles dan History of Java
Jawa yang mempesona
nan menggairahkan itu, bagi jiwa yang penuh warna dan semangat
belajar yang tinggi, seperti Thomas Stamford Raffles, adalah ladang
kehidupan dan ladang ilmu. Sungguh ia telah tertambat hatinya dengan
apa yang tersaji di tanah yang kaya akan silang budaya itu.
Pantaslah, ia bersedih tatkala masa baktinya sebagai Letnan Gubernur
di Jawa berakhir dan mesti meninggalkan pulau penuh “kejutan”
itu. Kala sendu itu terjadi pada Maret 1816—empat setengah tahun
sejak kedatangannya pada September 1811.
Tak hanya soal sejarah,
bahasa, sosial-politik, kesenian, dan religi yang ditelusurinya,
aneka tetumbuhan (botani) dan hewani (zoologi) pun ia jejaki, bahkan
koleksi. Demi memperlancar studi-studinya itu, Raffles sampai
membentuk staf asisten penelitian yang ditugaskan melaporkan hasil
survey dan apa-apa saja yang ditemukan selama meneliti Jawa.
Salah satu asisten
andalannya adalah Dr. Horsfield, seorang naturalis, ahli benda kuno,
dan seniman asal Amerika yang sudah 11 tahun lebih lama di Jawa
dibanding Raffles. Bersamanyalah, ia menemukan candi Penataran pada
1815 di utara Blitar, Jawa Timur. Bahkan, Raffles mengarahkan agar
para sultan-sultan Jawa untuk menuliskan sejarah negara mereka. Ia
pun menyimpan segala jenis hewan dan aneka tumbuhan yang ditelitinya.
Beberapa dari objek penelitiannya itu ia layangkan ke Museum Oriental
milik Rumah Perusahaan India Timur di Inggris untuk disimpan.
Salah satu dedikasi
besarnya terhadap budaya kebendaan Jawa adalah ditemukannya candi
raksasa, Borobudur, yang dibangun Dinasti Syailendra, Raja
Samaratungga, pada sekitar 824 M. Sejak merosotnya ajaran Buddha
Mahayana di Jawa, eksistensi candi ini menyusut, tenggelam, hingga
dirumputi, ditimbun pepohonan, ilalang, dan diselimuti bekas debu
letusan Gunung Merapi.
Pada 1814 Raffles
memerintahkan segera setelah ia mendapat perkabaran akan adanya candi
raksasa yang terbenam tersebut untuk dibersihkan. Raffles pun
memerintahkan H. C. Cornelius untuk menyelidiki dan membersihkan
kawasan bersejarah tersebut. Alhasil, kembali bangkitlah Borobudur
dari persemayaman panjangnya itu.
Dalam penelitiannya di
pedalaman Jawa, Raffles bersama dua asistennya, James Crawfurd dan
Colin Mackenzie, pun berhasil merekam apa yang mereka saksikan,
seperti: keadaan geografi, kepadatan penduduk, sistem perdagangan,
pertanian, sosial-budaya, dll. Segala penelitian tersebut ia jalankan
dengan pendanaan pribadi. Semua itu, dilakukan demi keterpukauannya
terhadap peradaban Jawa yang menambat hatinya. Salah satu bangunan
peninggalan Raffles dan juga merupakan salah satu aplikasi dari
kecintaanya terhadap budaya dan sastra Jawa adalah dibangunnya Museum
Etnografi Batavia, yang hingga kini masih berdiri kokoh.
Tak banyak orang tahu sisi
ilmuwan seorang Raffles. Orang banyak tahu Raffles adalah penakluk
Jawa dari tangan kekuasaan Perancis dan juga penakluk keraton-keraton
di Jawa (Banten, Cirebon, dan Yogyakarta). Serta orang banyak tahu
bahwa ia adalah sosok pembaru dalam sistem pertanahan dan pembagian
16 distrik di Jawa. Mungkinkah ini adalah dampak dari karakternya
yang tak suka pamer dan unjuk gigi? Hal ini sejalan dengan berita
yang diutarakan seorang Melayu bernama Abdullah, juru tulis di kantor
Raffles di Malaka, yang menulis dalam Memoirnya: “Jika pengalamanku
ini tidak salah, tidak ada yang menyamai kemampuan dan kebesaran hati
Raffles di dunia ini”.
Raffles,
Sang Letnan Gubernur cum Orientalis.
“Raffles
bersedih, ketika awal jejaknya di Jawa ditandai dengan kematian Dr.
John Leyden, seorang orientalis hebat, dokter handal, sahabat,
dan
pembimbing studi Raffles di Timur”
Petualangan orientalisme
Raffles banyak diperoleh dari Dr. Leyden. Pasalnya, selama ekspedisi
ke Timur menjadi seorang Asisten Sekretaris di Perusahaan India
Timur—berawal di Penang, Malaysia—Raffles banyak berdiskusi dan
akrab dengan Leyden. Ia adalah sosok hangat dan cerdas. Raffles
menilai sosok Leyden adalah seorang yang fenomenal dengan memorinya
yang luar biasa, serta alur bicaranya yang mengalir dan penuh
wawasan. Lord Minto—Gubernur Jenderal perusahaan dagang India
Timur—menilai kemempelaian intelektual Leyden-Raffles adalah serasi
dan komplementer.
Di Penanglah, mereka
berkenalan lalu akrab, hingga nanti pada hari pertama Raffles dan
pasukan ekspedisi penaklukan Jawa sampai ke Batavia, maut memisahkan
kolaborasi intelektual ini. Leyden wafat dalam pengembaraan ilmu
pengetahuan. Walau malaria tengah mencekamnya, ia tetap hibuk
membongkar arsip-arsip sekretariat Belanda di ruang bawah tanah di
Batavia.
Ia
tak lelah walau perjalanan selama enam minggu di atas kapal perang
Modeste dari Malaka menuju Batavia baru saja dia tempuh. Panas
tubuhnya pun memuncak pada kematian. Kematian Leyden sungguh membuat
Raffles terpukul. Ia telah kehilangan pemandu studinya yang sangat ia
andalkan. Raffles pun lalu menuliskan surat kepada William
Marsden—ilmuwan orientalis Inggris, penulis buku History
of Sumatra (terbit
tujuh tahun lebih awal dariHistory
of Java),
dan lama tinggal di Bengkulu—dalam satu kalimat suratnya bertulis:
“kita telah kehilangan seorang ahli di bidang literatur ketimuran”.
Kesedihan Raffles tidak
lantas membuatnya berhenti bergairah terhadap ilmu pengetahuan,
terutama soal sejarah, budaya, bahasa, zoologi, dan botani di Jawa
dan Sumatra. Bahkan tatkala ia diangkat menjadi Letnan Gubernur di
kawasan yang pada masa sebelumnya dikuasai Belanda, yakni Hindia
Belanda, Raffles tetap bersuka cita menjalankan kecintaannya terhadap
studi-studinya itu. Bahkan hingga kondisi fisiknya melemah karena
penyakit, kesedihan, hingga kelelahan kerja, ia tetap memperlihatkan
sosoknya yang optimis, gigih, dan penuh percaya diri menjalankan
kerja intelektual. Tak dibiarkannya waktu luang untuk hal yang tak
berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Sungguh pribadi yang enerjik dan
berkualitas.
Maka
tak heran, G. M. Trevelyan, dalam buku British
History in Nineteenth Century (1922)
menuliskan Raffles sebagai “Salah satu orang hebat dan pegawai
terbaik Kerajaan Inggris yang pernah dimiliki. Mungkin dia adalah
orang Eropa pertama yang membawa metode humanitarian dan ilmiah
modern untuk mengembangkan begitu banyaknya ras-ras asli di Asia”.
Dalam banyak guratan
sejarah, kala Raffles menjabat Letnan Gubernur di Jawa, ia dituliskan
sebagai sosok pembaru bagi sistem kolonial konservatif yang
ditanamkan pemerintah sebelumnya. Ia hadir dengan ide-ide liberal dan
kebijakan-kebijakannya yang berpihak pada kemanusiaan.
Dari
semua kebijakannya di Jawa, yang terpenting adalah soal pertanahan,
karena berkaitan langsung dengan penghidupan rakyat Jawa. Pada
masanya, Raffles melakukan reformasi peraturan pertanahan. Ia
memberlakukan sistem pajak tanah (landrente).
Dalam buku Sejarah
Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi karya
bersama Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, gagasannya itu timbul
dari upayanya untuk memperbaiki sistem paksa dari Kumpeni (VOC), yang
dianggap memberatkan dan merugikan penduduk. Maka dari itu, Raffles
menghendaki perubahan sistem penyerahan paksa dengan sistem
penyerahan pajak tanah, yang dianggap akan menguntungkan kedua belah
pihak baik negara maupun penduduk.
Di tengah hiruk-pikuk
suasana perang Napoleon di Eropa, perseteruan dengan pihak Keraton
Yogyakarta, dan setumpuk permasalahan administrasi dan birokrasi di
Tanah Jawa, Raffles sungguh tepat memilih Buitenzorg (Bogor),
tepatnya di Cisarua kira-kira berjarak 40 mil dari Batavia, sebagai
tempat tinggal. Di sana ia tinggal bersama istrinya Olive Marianne
Devenish, yang cerdas, hangat, dan sungguh dicintainya (makamnya
dapat kita jumpai di Kebun Raya Bogor).
Ia
memilih kawasan indah nan sejuk ini sebagai tempat kerjanya dan jua
untuk menghindari bahaya yang disebar oleh nyamuk-nyamuk dari
rawa-rawa di Batavia yang mengundang Malaria dan merenggut nyawa. Di
sanalah History
of Java mulai
digurat penuh seksama berdasarkan bahan-bahan yang diperoleh dari
para staf riset dan observasi pribadi Raffles di Tanah Jawa.
Namun, ketika masa
jabatnya sebagai Letnan Gubernur di Jawa berakhir, otomatis proyek
penelitian pun terhenti. Ia pun pulang ke London memboyong segala
koleksi manuskrip, ukiran, tekstil, tanaman, substansi hewan,
serangga, buah, dan seni kuno miliknya yang mencapai berat 30 ton dan
dibungkus dalam 200 peti.
Segera
sesampainya di London, ia melanjutkan proyek penulisan History
of Java.
Buku ini pun berhasil dirangkumkannya, lalu diterbitkan dalam dua
jilid pada 1817. Berkat sumbangan informasi dan ilmu pengetahuan akan
dunia Timur yang berharga, sebagimana termaktub dalam History
of Java,
gelar Sir pun disandangnya. Kebangsawanan yang baru diperoleh Raffles
diceritakan dalam sebuah biografi yang dituliskan Thomas
Jefferson, Hidup,
Cinta, dan Tragedi. Raffles Sang Pejuang.
Dalam beberapa frase
biografi tersebut, Travers, pencatat perjalanan dan teman baik
Raffles, menuliskan:
”Tuan
Raffles ditemani pergi ke pantai oleh semua penduduk Batavia yang
menangisi kepergiannya. Kepala penduduk Cina dan penduduk asli tidak
mau meninggalkannya hingga mereka melihatnya berlayar”.
Oleh
Sulaiman Harahap, pegiat
sejarah di komunitas Akar & peneliti budaya di FIB
UI [jakartabeat.net]
Komentar