Negeri Piramida "Mesir, Apa Selanjutnya"


Kairo – Terlepas dari apakah peristiwa 3 Juli merupakan sebuah revolusi atau kudeta terhadap presiden Mesir pertama yang terpilih secara demokratis Mohamed Morsi, pemandangan jutaan rakyat Mesir yang turun ke jalanan pada 30 Juni lalu menunjukkan bahwa Revolusi 25 Januari masih sedang dalam proses. Meskipun cenderung memicu kekerasan dan perpecahan sosial, inilah yang biasa terjadi dalam revolusi — penuh dengan pasang surut serta siklus kekerasan dan perpecahan yang sering berulang.
Berbagai peristiwa dua pekan terakhir memang memperjelas bahwa rakyat Mesir telah menjadi cukup kuat untuk menggulingkan rezim manapun yang gagal mewujudkan tuntutan mereka akan “pangan, kebebasan dan keadilan sosial.” Namun, babak-babak dalam sejarah Mesir ini telah memperburuk perpecahan di antara orang-orang yang mendukung pemerintahan Mesir pertama yang terpilih secara demokratis dan orang-orang yang menggulingkannya. Tetapi, alih-alih menjadi pertanda akan kian besarnya perpecahan dalam masyarakat Mesir, hal ini bisa menjadi awal yang baru.
Peristiwa 3 Juli telah menciptakan sebuah peluang untuk menyusun ulang kontrak sosial yang lebih baik dan memuaskan mayoritas luas rakyat Mesir. Konstitusi 2012 yang didukung oleh partai-partai Islam (terutama al-Ikhwan al-Muslimun, Partai al-Nur, dan al-Jamaah al-Islamiyah) kini telah ditangguhkan dan digantikan dengan sebuah Deklarasi Konstitusi. Konstitusi 2012 disusun oleh partai-partai ini karena partai-partai sekuler, Gereja Koptik dan aktivis-aktivis HAM mundur dari Majelis Konstitusi. Sehingga, Konstitusi 2012 hanya disetujui oleh 64 persen rakyat pemilih, sedangkan sepertiga lagi kecewa dengan konstitusi ini.
Sebuah Majelis Konstitusi yang berimbang dan menghimpun semua pemain kunci di Mesir mesti dibentuk untuk menyusun kembali sebuah konstitusi yang bisa mendapatkan persetujuan dari mayoritas besar rakyat Mesir.
Sebuah rekonsiliasi nasional sejati yang menyertakan semua faksi politik harus dimulai sebagai prioritas yang mendesak. Dan Partai Kebebasan dan Keadilan jelmaan al-Ikhwan al-Muslimun seharusnya menjadi bagian pentingnya, mengingat mereka merebut suara mayoritas dalam pemilu lalu dan kini merasa dikhianati dan diasingkan.
Proses politik ini tidak bisa dimulai dengan sukses tanpa keikutsertaan partai-partai Islam. Presiden sementara Adly Mansour bertanggung jawab untuk membujuk semua partai – yang sekuler maupun Islam – untuk berdamai. Partai-partai politik semestinya menghentikan politik dan bentrokan jalanan dan maju ke meja perundingan.
Agar rekonsiliasi politik tercapai, sebuah pemerintahan yang terdiri dari para teknokrat andal perlu dibentuk untuk menjalankan negara selama masa transisi ini. Perdana Menteri sementara, Hazem El-Beblawi, seharusnya menunjuk kader-kader menjanjikan baik dari partai sekuler maupun partai Islam untuk membantu Mesir terhindar dari perpecahan hingga parlemen dan presiden baru terpilih selambatnya Februari tahun depan. Nader Bakkar dan Ashraf Thabet dari partai Salafi, al-Nur, bisa menjadi pilihan yang baik, khususnya saat komite rekonsiliasi nasional baru yang diusulkan partai ini direncanakan dan dibentuk.
Semua faksi politik harus mengesampingkan keberatan, prasangka dan bias ideologi mereka dan mulai membantu pemerintah baru untuk melahirkan peta jalan untuk menyelamatkan perekonomian dari kehancuran.
Jutaan rakyat Mesir turun ke jalanan pada 30 Juni lalu karena situasi ekonomi mereka memburuk selama setahun terakhir. Tingkat pengangguran melonjak menjadi 13 persen, tingkat inflasi mendekati 10 persen dan masalah-masalah makanan, listrik dan bahan bakar telah memburuk dalam setahun belakangan. Demonstran anti-Morsi menyalahkan ketidakmampuan pemerintah yang telah terguling dalam menangani masalah-masalah mendesak Mesir. Di sisi lain, ratusan ribu pendukung Morsi yang turun ke jalan sejak tergulingnya Morsi yakin bahwa sulit bagi Morsi untuk memperbaiki kondisi ekonomi hanya dalam setahun.
Siapa yang benar atau salah bukanlah hal yang terlalu penting. Kegagalan untuk memperbaiki kondisi ekonomi bisa membuat rakyat kehilangan kepercayaan kepada semua elit politik dan Revolusi 25 Januari, sehingga memberi ruang pada kediktatoran militer yang, menurut para jenderal tidak diinginkan, bahkan oleh militer sekalipun.
Lebih dari sebelumnya, semua partai politik perlu mundur selangkah, melakukan perenungan dan menyadari kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan selama dua tahun terakhir untuk belajar dari kesalahan-kesalahan itu. Partai-partai Islam maupun sekuler semestinya meninggalkan wacana yang antagonistik jika mereka benar-benar ingin mengakhiri perpecahan di Mesir dan mengarahkan Mesir ke jalur yang benar. Keterbukaan politik adalah kunci agar Mesir bisa melangkah maju. 
Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 19 Juli 2013,www.commongroundnews.org

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku, Pesta dan Cinta : mengenang kembali Soe Hok Gie

Syakal dan I'jam

Sejarah Fatayat NU "Cabang Jepara"