Lelaki Bergetir (Part.1)



Vincent, begitulah candaan yang saya buat ketika bertemu dengan orang baru yang belum saling kenal, berharap memang agar sedikit tampan seperti artis entah hollywood ataupun indo, yang jelas nama itu diambil dari eks pemain band 80-an. Penasaran dengan nama asliku? Ahh.. bagi saya, nama hanya sebatas identitas penuh ego, mungkin ada yang berpendapat nama adalah do'a, memang benar. orang tua kita berharap anaknya menjadi orang baik sesuai dengan namanya. Nama itu sendiri terkadang mengutip ayat-ayat Tuhan atau mengutip nama-nama orang besar seperti nabi. Tetapi juga ada sebagian orang mengabaikan sebuah nama, apalah arti sebuah nama, itu sangkalan mereka. Saya percaya akan keduanya, alasan pertama dengan argumen pertama dikarenakan, orang tua memberi nama yang sangatlah amat bagus padaku, tidak hanya menggunakan nama nabi, tetapi masih ada dua kata selanjutnya yang diambil dari bahasa legitimasi agama, yaitu arab. Jujur, saya bingung. Mengapa banyak sekali orang-orang yang mengaku beragama tetapi malah justru bodoh dalam memahaminya.
Contoh saja dalam Islam, mereka pada berlomba-lomba menjadi arab yang notabene tempat dimana turunnya agama itu dan mengabaikan nilai dari yang terkandung dari agama itu sendiri. Arabisme mengalahkan Islamisme, pada bangga memelihara dan memaksakan jenggot tapi lupa bahwa ras kita memang jarang sekali yang memiliki jenggot. Pakaiannyapun dirombak menjadi sok kegamis-gamisan, ini aspek budaya kenapa malah mempengaruhi hal-hal sentimentil terhadap agama. Sudah-sudah, pada tulisan selanjutnya kita bicarakan hal ini.



Adapun untuk asumsi yang kedua “apalah arti sebuah nama”, bagi saya mengapa nama hanya sebuah ego bercirikan identitas, bukankah sebuah nama yang mengetahui cukup diri kita sendiri dan teman atau keluarga sebagai pengingat saja tidak lebih, seperti tanda batas baca ketika membuka buku, tidak lebih . Sedangkan bagi orang lain? Nama tidaklah penting. Bukankah orang lain akan menerima kita, akan menghargai kita, bukan dari nama kita yang agamis, yang bagus terlebih religius, Tidak. Tetapi dari akhlak kita, ketika akhlak bagus tentulah orang akan menerima dan mencari tahu nama kita sebagai tanda pengingat saja. Berbanding terbalik ketika nama pemberian orangtua begitu anggun dari segi arti tetapi perilaku seperti kutub langit dan bumi, tentu khalayak ramai hanya menjadikan nama itu sebagai ejekan dan penyesalan tragis melalui candaan ironis.

Baiklah, tak penting membahas nama, yang jelas saya adalah mahasiswa tingkat akhir dan baru saja menyelesaikan skripsinya tetapi belum disidangkan dan sedang mengumpulkan amunisi untuk untuk hidup selanjutnya di salah satu universitas terkemuka di Jogja dan secara kebetulan bersedia menampung lelaki yang sebenarnya menentukan tujuannya sendiri saja tidak tahu, lalu bagaimana dengan mencapai tujuannya? Lha tujuannya saja tak tahu, entahlah memang begitu adanya. Saya bak lelaki linglung dan bingung kesana kemari mencari persinggahan sembari mencari pengisi perut gratisan memanfaatkan kebaikan orang-orang yang tak sengaja kenal semenjak di Jogja dan mereka mentransformasikan diri menganggap sebagai teman. Bukankah kalian juga tahu, kalau orang-orang Jogja ramah-ramah, perlulah kalian mencobanya kesini. Terkadang bersua dengan mereka hanya sebatas pengisi dahagaku, selain dahaga minum dan nafsu, dahaga inspirasi, ilmu, wawasan juga selalu dieksploitasi dari mereka-mereka yang bacaannya lebih banyak. Bagi saya, membaca buku adalah hal yang paling mensulitkan dan melelahkan, karena membaca buku akan sedikit mengurangi kehidupan sosial, membaca buku mampu melipat waktu menjadi begitu singkat dan begitu cepat terlewat. Membaca satu buku memenjarakan imagi dalam satu frame atau satu dunia khayal yang diciptakan dalam buku tersebut, sehingga dunia yang nyata dan sedang bergulir kulewati dengan begitu saja tanpa ada waktu untuk bermesra dan bermelankolia dengannya. Tetapi mencinta melalui buku perlulah dicoba sesering mungkin.

Hidup yang tak diuji adalah kehidupan yang tak berharga, begitu yakinnya Socrates berkata demikian. Saya menginra mungkin saat itu Socrates sedang mengalami kebosanan hidup, kepenatan dengan kemapanan yang dimiliki. Atau jangan-jangan Socrates sedang menghibur diri karena begitu susahnya hidupa yang ia jalani sehingga muncullah jargon semacam itu. Dan lagi-lagi saya tak begitu hobi membaca buku biografi begitu juga punya Socrates, membaca buku filsafat hanya membuat lelah otot muka dan otak, karena membaca buku filsafat tidak bisa berfikir santai tanpa harus mengernyitkan dahi. Tetapi buat apa mengandai-andai apa yang sedang dialami socrates saat itu yang jelas kehidupan selalu punya liku-liku tersendiri, begitu juga dengan kita.

Lagi-lagi arti hidup tak bisa difahami, seperti halnya sulit menafsirkan satu ayat Tuhan. Pertanyaannya, apa memang iya diri kita sudah diuji? Atau jangan-jangan. kita adalah salah satu makhluk atau mungkin satu-satunya yang dibiarkan Tuhan, berkata demikian bukan karena tanpa sebab, bukankah segala jalan hidup yang dihadapi seolah-olah bisa terlewati meski tak begitu saja terlewat. Saat ini keyakinan yang tersemat di hati sungguh tinggi. Tuhan mana mungkin mengkebiri hambaNya atau malah justru Tuhan lupa. Ahhh, hujaman pertanyaan ini merusak keyakinan. Mana mungkin ingat, Iya, Mana mungkin ingat. Mengingat sudah begitu tuanya Tuhan dan juga menciptakan manusia begitu banyaknya, mungkin sedikit yang seperti ini yang selalu menanyakan hal-hal yang tak penting atau malah tidak ada. Kalu benar tidak ada, saya akan menjadi hamba yang paling bersyukur karena perhatian Tuhan akan tertuju. Eh, eh, eh, cukuplah membicarakan Tuhan, tak enak dirasa, apapun itu. Entah aku mengerti atau tidak, tahu atau tidak. Saya tetap percaya, Engkau menjadi Tuhan segala penerima keluh kesah meski bosan mendengarkan hal itu dari makhluk ciptaNya.

Yang jelas saya lupa, kapan Tuhan meniupkan roh kedalam tubuh yang gempal ini, diakui tubuh ini tidaklah setampan bintang-bintang aksi di televisi, atau tak seseksi bintang-bintang porno yang memamerkan hasil fitness meski gaya bercintanya begitu-begitu saja. Suara yang terilham pada pita suara tubuh inipun fals. Sungguh-sungguh tak merdu, nada-nada yang keluar selalu sumbang dan tak enak didengar. Tetapi setidaknya saya tak ingin menjadi lelaki pesolek bernyanyi bak seorang banci joget beramai-ramai sudah begitu lypsinc pula. Cukuplah menjadi diri sendiri, begitu keyakinan yang tertanam dalam hati ini, Ya tentu saja hanya untuk membesarkan hati agar tak minder dan bisa selalu tampil percaya diri meski itu sedikit menyakiti. Kenyataannya memang tak demikian, iri adalah bahasa lain dari keinginan yang harus melekat pada diri, mau bagaimana lagi. Peradaban manusia diciptakan dari rasa iri. Bagaimana tidak kenapa sebuah kota, sebuah kerajaan, sebuah negara akan berlomba membangun ketika negara sebelahnya berhasil dan terlihat mewah dengan apa yang diciptakan, dan yang lain akan berlomba meniru atau bahkan akan berusaha membuat lebih baik dari itu. Sedangkan yang merasa ditiru akan pongah dan sombong merasa dirinya perintis yang bangga mampu membuka sebuah pintu peradaban. Begitu juga dengan individu masing-masing. Saya jelas tidak akan tidak iri dengan seseorang yang berpenghasilan gede, melihat apa yang bisa dikerjakan mahasiswa yang hanya sibuk dengan buku dan revisi seperti ini. Uang rokok, uang fotocopy atau sekedar beli tinta print kalau tidak hasil dari nodong orangtua mana dapat dari mana. Toh bukannya tidak berusaha sama sekali, usaha-usaha yang dirintis belum sempat suksespun berakhir karena kendala dimana-mana.
Hampir setiap malam, habiskan waktu untuk membaca buku, tetapi saya kebetulan mempunyai segerombol orang-orang yang bersedia duduk berjam-jam hingga larut malam membicarakan hal-hal yang tidak biasa sembari menyerutup kopi dan rokok sebagai pelengkap. Pembicaraan setiap malam tak ubahnya sebagai pembelajaran atau terkadang menjadi area dimana ada kita merasa memiliki kekuatan, ambisi, cita-cita, masa depan, strategi dalam genggaman. Pembelajaran hidup dan wawasan akan lebih banyak terbuka dan mudah didapat dari warung kopi. Maka tak salah apabila sudah mendapat kenikmatan itu atau setidaknya dahaga yang kita cari di bangku kuliah tidak didapat ketika di warung kopi. Lalu, kita kuliah untuk apa? Mencari gelar? Toh, ilmu dibangku perkuliahan bisa didapat di warung-warung kopi atau rutin ikuti diskusi. Malah uang yang dikeluarkan relatif lebih murah, siapkan saja membawa sebungkus rokok dan secawan kopi lalu ajak ngobrol atau mulailah bertanya kepada orang yang sekiranya hebat tentang apa yang kau cari. Warung kopi tempatnya para filosof, sejarawan, sastrawan, bahkan agamawanpun ada disitu. Saya berniat memanfaatkan kuliah mereka dan aku tak perlu kuliah cukup menggali dari mereka yang sudah kuliah atau mondok bertahun-tahun. Lalu apa gunanya kuliah? Ini semacam getir dalam diri. Getir tak hanya sesuatu yang bernada pahit penuh kesengsaraan. Tetapi getir adalah dimana kita merasa bangga dan menikmati hal itu ternyata manfaatnya sedikit sekali.

aku lupa, aku lupa, sejak kapan aku menjadi cerewet seperti ini, menanyakan tatanan yang sudah ada”
hidup adalah dimana kita berani mempertanyakan apa yang sudah dijalani.
Getir..
Getir..
Getir..
namun, getir ini dibubukkan gula jawa yang manis.
Entahlah,
badai pasti datang, buat apa kita bimbang,
akan ku pertanyakan hal-hal lain dalam kegetiran hidup ini, yang tak kau sadari !!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku, Pesta dan Cinta : mengenang kembali Soe Hok Gie

Syakal dan I'jam

Sejarah Fatayat NU "Cabang Jepara"