Lelaki Bergetir (Part.1)
Vincent, begitulah candaan yang saya buat ketika bertemu dengan orang baru yang belum saling kenal, berharap memang agar sedikit tampan seperti artis entah hollywood ataupun indo, yang jelas nama itu diambil dari eks pemain band 80-an. Penasaran dengan nama asliku? Ahh.. bagi saya, nama hanya sebatas identitas penuh ego, mungkin ada yang berpendapat nama adalah do'a, memang benar. orang tua kita berharap anaknya menjadi orang baik sesuai dengan namanya. Nama itu sendiri terkadang mengutip ayat-ayat Tuhan atau mengutip nama-nama orang besar seperti nabi. Tetapi juga ada sebagian orang mengabaikan sebuah nama, apalah arti sebuah nama, itu sangkalan mereka. Saya percaya akan keduanya, alasan pertama dengan argumen pertama dikarenakan, orang tua memberi nama yang sangatlah amat bagus padaku, tidak hanya menggunakan nama nabi, tetapi masih ada dua kata selanjutnya yang diambil dari bahasa legitimasi agama, yaitu arab. Jujur, saya bingung. Mengapa banyak sekali orang-orang yang mengaku beragama tetapi malah justru bodoh dalam memahaminya.
Adapun
untuk asumsi yang kedua “apalah arti sebuah nama”, bagi
saya mengapa nama hanya sebuah
ego bercirikan identitas, bukankah sebuah nama
yang mengetahui cukup diri kita sendiri dan teman
atau keluarga sebagai pengingat saja tidak lebih, seperti tanda
batas baca ketika membuka buku, tidak lebih . Sedangkan bagi
orang lain? Nama tidaklah penting. Bukankah orang lain akan menerima
kita, akan menghargai kita, bukan dari nama kita yang
agamis, yang bagus terlebih religius, Tidak.
Tetapi dari akhlak kita, ketika akhlak bagus tentulah orang akan
menerima dan mencari tahu nama kita sebagai tanda pengingat saja.
Berbanding terbalik ketika nama pemberian orangtua begitu anggun dari
segi arti tetapi perilaku seperti kutub langit dan
bumi, tentu khalayak ramai hanya menjadikan nama itu sebagai ejekan
dan penyesalan tragis melalui candaan ironis.
Baiklah,
tak penting membahas nama, yang jelas saya adalah mahasiswa tingkat
akhir dan baru saja menyelesaikan skripsinya tetapi belum disidangkan
dan sedang mengumpulkan amunisi untuk untuk hidup selanjutnya di
salah satu universitas terkemuka di Jogja dan secara kebetulan
bersedia menampung lelaki yang sebenarnya menentukan tujuannya
sendiri saja tidak tahu, lalu bagaimana dengan mencapai tujuannya?
Lha tujuannya saja tak tahu, entahlah memang begitu adanya. Saya bak
lelaki linglung dan bingung kesana kemari mencari persinggahan
sembari mencari pengisi perut gratisan memanfaatkan kebaikan
orang-orang yang tak sengaja kenal semenjak di Jogja dan mereka
mentransformasikan diri menganggap sebagai teman. Bukankah kalian
juga tahu, kalau orang-orang Jogja ramah-ramah, perlulah kalian
mencobanya kesini. Terkadang bersua dengan mereka hanya sebatas
pengisi dahagaku, selain dahaga minum dan nafsu, dahaga inspirasi,
ilmu, wawasan juga selalu dieksploitasi dari mereka-mereka yang
bacaannya lebih banyak. Bagi saya, membaca buku adalah hal yang
paling mensulitkan dan melelahkan, karena membaca buku akan sedikit
mengurangi kehidupan sosial, membaca buku mampu melipat waktu menjadi
begitu singkat dan begitu cepat terlewat. Membaca satu buku
memenjarakan imagi dalam satu frame atau satu dunia khayal yang
diciptakan dalam buku tersebut, sehingga dunia yang nyata dan sedang
bergulir kulewati dengan begitu saja tanpa ada waktu untuk bermesra
dan bermelankolia dengannya. Tetapi mencinta melalui buku perlulah
dicoba sesering mungkin.
Hidup
yang tak diuji adalah kehidupan yang tak berharga, begitu yakinnya
Socrates berkata demikian. Saya menginra mungkin saat itu Socrates
sedang mengalami kebosanan hidup, kepenatan dengan kemapanan yang
dimiliki. Atau jangan-jangan Socrates sedang menghibur diri karena
begitu susahnya hidupa yang ia jalani sehingga muncullah jargon
semacam itu. Dan lagi-lagi saya tak begitu hobi membaca buku biografi
begitu juga punya Socrates, membaca buku filsafat hanya membuat lelah
otot muka dan otak, karena membaca buku filsafat tidak bisa berfikir
santai tanpa harus mengernyitkan dahi. Tetapi buat apa
mengandai-andai apa yang sedang dialami socrates saat itu yang jelas
kehidupan selalu punya liku-liku tersendiri, begitu juga dengan kita.
Lagi-lagi
arti hidup tak bisa difahami, seperti halnya sulit menafsirkan satu
ayat Tuhan. Pertanyaannya, apa memang iya diri kita sudah diuji? Atau
jangan-jangan. kita adalah salah satu makhluk atau mungkin
satu-satunya yang dibiarkan Tuhan, berkata demikian bukan karena
tanpa sebab, bukankah segala jalan hidup yang dihadapi seolah-olah
bisa terlewati meski tak begitu saja terlewat. Saat ini keyakinan
yang tersemat di hati sungguh tinggi. Tuhan mana mungkin mengkebiri
hambaNya atau malah justru Tuhan lupa. Ahhh, hujaman pertanyaan ini
merusak keyakinan. Mana mungkin ingat, Iya, Mana mungkin ingat.
Mengingat sudah begitu tuanya Tuhan dan juga menciptakan manusia
begitu banyaknya, mungkin sedikit yang seperti ini yang selalu
menanyakan hal-hal yang tak penting atau malah tidak ada. Kalu benar
tidak ada, saya akan menjadi hamba yang paling bersyukur karena
perhatian Tuhan akan tertuju. Eh, eh, eh, cukuplah membicarakan
Tuhan, tak enak dirasa, apapun itu. Entah aku mengerti atau tidak,
tahu atau tidak. Saya tetap percaya, Engkau menjadi Tuhan segala
penerima keluh kesah meski bosan mendengarkan hal itu dari makhluk
ciptaNya.
Yang
jelas saya lupa, kapan Tuhan meniupkan roh kedalam tubuh yang gempal
ini, diakui tubuh ini tidaklah setampan bintang-bintang aksi di
televisi, atau tak seseksi bintang-bintang porno yang memamerkan
hasil fitness meski gaya bercintanya begitu-begitu saja. Suara yang
terilham pada pita suara tubuh inipun fals. Sungguh-sungguh tak
merdu, nada-nada yang keluar selalu sumbang dan tak enak didengar.
Tetapi setidaknya saya tak ingin menjadi lelaki pesolek bernyanyi bak
seorang banci joget beramai-ramai sudah begitu lypsinc pula. Cukuplah
menjadi diri sendiri, begitu keyakinan yang tertanam dalam hati ini,
Ya tentu saja hanya untuk membesarkan hati agar tak minder dan bisa
selalu tampil percaya diri meski itu sedikit menyakiti. Kenyataannya
memang tak demikian, iri adalah bahasa lain dari keinginan yang harus
melekat pada diri, mau bagaimana lagi. Peradaban manusia diciptakan
dari rasa iri. Bagaimana tidak kenapa sebuah kota, sebuah kerajaan,
sebuah negara akan berlomba membangun ketika negara sebelahnya
berhasil dan terlihat mewah dengan apa yang diciptakan, dan yang lain
akan berlomba meniru atau bahkan akan berusaha membuat lebih baik
dari itu. Sedangkan yang merasa ditiru akan pongah dan sombong merasa
dirinya perintis yang bangga mampu membuka sebuah pintu peradaban.
Begitu juga dengan individu masing-masing. Saya jelas tidak akan
tidak iri dengan seseorang yang berpenghasilan gede, melihat apa yang
bisa dikerjakan mahasiswa yang hanya sibuk dengan buku dan revisi
seperti ini. Uang rokok, uang fotocopy atau sekedar beli tinta print
kalau tidak hasil dari nodong orangtua mana dapat dari mana. Toh
bukannya tidak berusaha sama sekali, usaha-usaha yang dirintis belum
sempat suksespun berakhir karena kendala dimana-mana.
Hampir
setiap malam, habiskan waktu untuk membaca buku, tetapi saya
kebetulan mempunyai segerombol orang-orang yang bersedia duduk
berjam-jam hingga larut malam membicarakan hal-hal yang tidak biasa
sembari menyerutup kopi dan rokok sebagai pelengkap. Pembicaraan
setiap malam tak ubahnya sebagai pembelajaran atau terkadang menjadi
area dimana ada kita merasa memiliki kekuatan, ambisi, cita-cita,
masa depan, strategi dalam genggaman. Pembelajaran hidup dan wawasan
akan lebih banyak terbuka dan mudah didapat dari warung kopi. Maka
tak salah apabila sudah mendapat kenikmatan itu atau setidaknya
dahaga yang kita cari di bangku kuliah tidak didapat ketika di warung
kopi. Lalu, kita kuliah untuk apa? Mencari gelar? Toh, ilmu dibangku
perkuliahan bisa didapat di warung-warung kopi atau rutin ikuti
diskusi. Malah uang yang dikeluarkan relatif lebih murah, siapkan
saja membawa sebungkus rokok dan secawan kopi lalu ajak ngobrol atau
mulailah bertanya kepada orang yang sekiranya hebat tentang apa yang
kau cari. Warung kopi tempatnya para filosof, sejarawan, sastrawan,
bahkan agamawanpun ada disitu. Saya berniat memanfaatkan kuliah
mereka dan aku tak perlu kuliah cukup menggali dari mereka yang sudah
kuliah atau mondok bertahun-tahun. Lalu apa gunanya kuliah? Ini
semacam getir dalam diri. Getir tak hanya sesuatu yang bernada pahit
penuh kesengsaraan. Tetapi getir adalah dimana kita merasa bangga dan
menikmati hal itu ternyata manfaatnya sedikit sekali.
“aku
lupa, aku lupa, sejak kapan aku menjadi cerewet seperti ini,
menanyakan tatanan yang sudah ada”
hidup
adalah dimana kita berani mempertanyakan apa yang sudah dijalani.
Getir..
Getir..
Getir..
namun,
getir ini dibubukkan gula jawa yang manis.
Entahlah,
badai
pasti datang, buat apa kita bimbang,
akan
ku pertanyakan hal-hal lain dalam kegetiran hidup ini, yang tak kau
sadari !!!
Komentar