Ketika Rindu

Aku benci dihadapkan dengan situasi dan kondisi batin seperti ini. Menyimpan amarah dan perasaan, linglung apa yang harus dilakukan. Karena lari dan memalingkan muka dari apa yang sedang kita hadapi adalah sebuah pengkhianatan besar. Ini yang aku yakini. Kamu merupa hal-hal yang mengerti diriku. Segala yang terasa dekat denganku. Yang menyerupai sebuah keindahan yang tiada tara. Namun, aku adalah manusia-manusia yang lelah karena saban hari mengahbiskan waktu hanya untuk makan nasi telur di warung dan minum kopi tanpa memperhatikan kesehatan. Begitu selalu celotehmu, tak pernah suka aku minum kopi. Tapi kamu tak pernah benar-benar melarang, kamu memang terlampaui mengerti dan aku terlampaui egois.

Kamu kini adalah bak nasib dan hidup yang hanya bisa dinikmati dengan memandang dari kejauhan. Segala keindahan yang melekat pada dirimu pertanda sesuatu yang mustahil untuk dijamah kembali. Kita sudah jauh dan takkan pernah bersama lagi.

Setiap mengingatmu, aku selalu meyakinkan diriku sendiri, meskipun itu seperti hanya sebuah ilusi. Bahwa kekecewaan adalah puncak tertinggi dari kebahagiaan itu sendiri. Siapa yang pantas kecewa? Apakah hanya diri ini atau seluruh manusia pantas mengalami sebuah kekecewaan. Semoga hanya aku saja. Lalu pertanyaannya adalah, siapa yang paling pantas bahagia? Lebih berhak dihormati sebagai manusia sukses? Atau lebih buruk dari semua itu, sekalipun seorang pesakitan. Entahlah.

Hingga detik ini, sampai kalimat ini usai ditulis, aku masih menyimpan amarah yang besar. Kemarahan tiada tanding. Hingga dadaku benar-benar sesak dan nafasku terengah-engah serta lepas kontrol untuk mengendalikannya. Entah sudah berapa kali aku mengganti kaca kamar kos setelah tempurung tanganku menghantamnya berkali-kali. Darah berceceran, dan selalu saja, ibu kos hanya diam saja dan seperti sudah memaklumi. Aku berhak marah karenamu. Aku berhak kecewa. Bukan kamu yang menyebabkan kemarahan dan kekecewaanku begitu menguasai diriku , tapi karena harapan yang terlampaui agung kusematkan padamu. Aku tak memintamu untuk merasa bersalah. Aku juga tak berharap kamu sadar. Mungkin pada suatu akhir aku sadar, bahwa menyimpan cerita dan luka lantas tersenyum kepada semua orang seolah baik-baik saja adalah pilihan terbrengsek.

Aku benci dengan diriku yang seperti ini. Aku tak harus selalu merasa kuat. Kita adakalanya berhak merasa lemah dan membutuhkan orang lain untuk sekedar tersenyum. Kita berhak marah, mengomel, berteriak sekuat tenaga dan menangis. Kita adalah manusia yang mustahil bisa hidup sendiri menjalani bangsatnya hidup. Namun, kita juga punya pilihan untuk diam, lantas tertunduk dan tak perlu melawan. Kita semua tahu itu, terutama kamu. Kita tak harus menjadi pahlawan kesiangan yang mampu menyimpan luka teramat perih sendiri. Aku punya seribu pundak untuk bisa kamu pakai berbagi.

Ketika senja seperti ini, rindu adalah sebuah siksaan yang lebih mengerikan dari masa depan yang suram. Aku lelah merindukanmu. Di sela-sela lelah bekerja seharian yang begitu berat dan luar biasa padat sehingga tak sempat beristirahat. Makan yang cukup atau sekedar menyeduh teh hangat di kala senja adalah hal-hal sederhana yang tetap harus kita jaga. Setidaknya, ketidakbersamaan kita mengurai satu beban yang selama ini kita pendam bersama dan tak pernah sekalipun dibicara. Yaitu kita tak perlu lagi dikejar-kejar target memiliki rumah ataupun menikah. Kita bisa menikmati hidup kita masing-masing. Ya, masing-masing.

Kamu tahu, kita adalah cinta yang dirawat diam-diam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku, Pesta dan Cinta : mengenang kembali Soe Hok Gie

Syakal dan I'jam

Sejarah Fatayat NU "Cabang Jepara"