Ketika Mengingatmu
Kehangatan
memang masih terasa, meski tak setenang dulu. Rasa tentu saja masih
ada. Berapa tahun berlalu bukanlah sebuah persoalan. Tidak
membekukan esensi, sekalipun menyusutkan bara kehangatan. Apalagi
bergejolak, tentu saja tidak, tapi tetap saja, hangat. Bukankah
kehangatan dan sebuah perdamaian diri yang semua orang cari?
Kamu
bisa menolak seseorang datang ke rumahmu, dengan menutup pintu rapat
dan pura-pura tidur. Kamu bisa menggagalkan upaya maling yang ingin
mengambil leptopmu dengan kunci gembok bejubel. Kamu bisa menghalangi
apapun. Kecuali satu, kenangan dan perasaan. Entah mengapa, kita
diciptakan begitu lemah ketika dihadapkan dengan sebuah perasaan dan
kenangan.
Bulan november ini adalah keparat-keparatnya hujan turun. Seiring
rinai hujan tanpa ampun menghajar daratan bumi, seberingas itulah
kenangan akan merasuk pada ronggga kulitmu yang mulai mengerut karena
dingin. Entahlah, hujan seperti membawa sebuah cerita panjang,
berepisode-episode melebihi betapa jijiknya cerita cinta fitri ataupun tersanjung. Kita
tidak bisa menolak apalagi melawan. Yang bisa kita lakukan adalah
mengikutinya dan menikmati meskipun sejenak kita akan tersenyum
tersipu atau justru dada akan sesak karena perih gegara sesuatu yang telah
lalu.
Tapi
apa yang lebih menyenangkan daripada mengingatmu, mengingat tentang kita.
Dimana kita habiskan sehari berdua, berpegangan tangan, salah masuk
warung yang keparat mahal padahal saat itu tanggal tua. Hari-hari
yang sepertinya itu takkan berakhir, dan marahmu, sifat cemburuku,
bau badanku yang selalu kamu protes meskipun tubuhmu tak jemu
dekat-dekat dan mengakhiri hari dengan ciuman panjang.
Kamu
tahu suasana apa yang selalu aku hadapi tanpamu? Adalah kesunyian
yang dibanun dari muka-muka pekerja yang tak pernah bergairah bekerja
sehari-hari. Begitu juga denganku, hidup terkadang kepalang
membosankan seperti mesin yang hanya butuh ditekan tombol untuk nyala
dan matinya. Hidup ini terlalu membosankan tanpamu, stagnan dan
repetitif. Lantas mengutuk hidup adalah jalan yang paling agung.
Karena hidup yang sudah didesain membosankan, seolah tak ada jenis
kehidupan lain yang lebih menarik. Ya, aku adalah bak mayat yang
menyiapkan diri untuk dikremasi dan hanya bisa melamun sebagai sebuah
hiburan. Lamunan terbaikku adalah kita.
Aku
baru saja mengingatmu. Membayangkan separuh kisahmu dan kita. Seperti
memasak kue tart, rumit dan tak bisa instan. Di beberapa fragmen itu,
aku terkadang marah, amuk dan tak bisa mengendalikan perasaanku. Ada
sebuah gigil luka yang menyigi hatiku. Mendidih di ulu hati. Ada
kutuk terhadap waktu yang meluber. Kamu bisa membayangkan? Yaitu
perasaan jengah yang ditahan seperti melihat jerawat yang sudah
menguning dan tak sabar tangan ini untuk mencungkilnya. Di saat
seperti itu, aku butuh kendali luar biasa untuk menahan semua ini.
Dan kamu yang paling tahu, aku bukanlah tipe manusia penyabar dan kau
selalu mampu menenangkanku dulu.
Ah,
aku sungguh berharap hujan malam ini berhenti di bulan November saja.
Komentar