.
Terkadang,
untuk memunculkan keberanian, kita menunggu satu dua orang gagal
terlebih dahulu. Mungkin keadaannya akan berbalik apabila orang
terdahulu kita menuai kesuksesan. Hidup kita hanyalah dipenuhi
ketakutan-ketakutan yang tak seharusnya disimpan dan dipelihara.
Suatu hari, kita sudah menabuh genderang untuk melawan dan berperang
dengan ketakutan, tapi beberapa saat kemudian kita kembali memeluk,
menimang dan merangkul satu hal yang bernama ketakutan.
Aku
mungkin seorang penakut. Sedikit melankolis jika dibilang aku takut
kehilanganmu. Tapi toh nyatanya kamu memang meninggalkanku dan aku
masih saja memeluk bayangmu serta melambai-lambai pada hal yang sudah
dibelakang.
Aku
sudah menasbihkan diri untuk tidak melihat kamu, kamu adalah
masa-masa yang seharusnya aku tanggalkan di tembok-tembok kota yang
mulai usang karena kepul angkot perlahan membusuk. Tapi itu
seharusnya yang kulakukan dari dulu. Aku salah, aku kalut. Kini kamu
justru di depanku, jauh di depanku, mungkin (semoga) yang sedang
bahagia dengan orang lain yang benar-benar bisa membuatmu jatuh
cinta.
Kamu
tidak pernah tahu rasanya mencintai seseorang namun gagal membuatnya
jatuh cinta kembali. Itulah yang sedang menderaku, aku selalu gagal
ketika berhadapan dengan sorot matamu yang nyinyir, penuh sinis dan
menyimpan luka itu. Aku jatuh cinta kepadamu, dulu dan mungkin sampai
sekarang.
Aku
meyakinkan diriku sendiri untuk tidak mempercayai karma, balasan dan
mungkin sesekali tuhan. Sudah berapa manusia yang rela mengorbankan
selangkangannya kepada pasangannya yang bangsat hanya berdasarkan
cinta yang cetek dan dangkal penuh lumut, mudah ditebak. Sebelum
kamu, aku dengan mudah mengartikan sempit apa itu cinta, namun
sekarang tidak. Aku hanya jatuh cinta kepadamu, namun kamu tidak.
Bukankah
kamu sepakat bahwa hal-hal yang biasa itu sudah sangat biasa dan
cenderung membosankan, apalagi di dunia ini. Manusia macam apa yang
mengamini hal-hal biasa, meskipun pada akhirnya menyerah kepada
kebiasaan dan mencoba mencari hal istimewa yang sedikit dipaksakan.
Dalam kasus lain, aku adalah biasa dan kamu luar biasa, sangat. Dan
aku tak tahu apa itu. Kamu adalah nama lain dari hal biasa namun
terlalu indah.
Ketakutanku
sebenarnya bukanlah kehilanganmu, tapi yang paling aku takutkan
adalah keadaan jiwa ini. Aku takut jiwa ini menolak untuk meyakini
hal-hal yang diluar kendalinya. Kamu adalah salah satunya. Kamu
pernah bilang sayang, tapi tak sekalipun bilang cinta. Jiwa ini
sepertinya benar-benar seperti bocah kecil yang menjadi korban
pelecehan seksual. Mungkin seperti bocah itu, yang mempercayai bahwa
laki-laki itu barang jijik dan menakutkan. Aku pun takut demikian,
justru jiwaku akan memelihara rasa ketidakyakinan akan hal-hal yang
pernah menyakitinya.
Penderitaan
adalah nama lain dari pendewasaan. Dan aku adalah manusia yang merupa
kegagalan dalam proses itu. Aku memilih menjadi bocah ingusan yang
tak mau beranjak dewasa. Yang selalu saja menyiangi luka dan
penderitaan yang suatu hari akan menjadi dendam.
Apa
yang lebih pantas dari dendam untuk semua ini? Dendam pada diri
sendiri yang tak kunjung sembuh. Karena dendam adalah sebuah media
ekspresi diri bagi siapa saja yang membutuhkan. Dendam boleh, asal
tanpa benci.
Komentar