Hi Desember...
Aku
menatap nanar musuhku, suaraku penuh tenaga dan
menggelegar, memukul-mukul udara gemetar. Gumpalan amarahku tumpah.
Penderitaan dan rasa terhina tak bisa lagi ditakar. Jalan
satu-satunya adalah melawan.
“Adalah
aku...” Sontak wajahku berubah kelam dan berlipat. Garis-garis
wajahku menajam menjadi pahit yang digenangi sungkawa. Tiba-tiba
suasana menjadi hening, mendadak semua menjadi cair, menguap diudara.
Aku menggigil, tulangku linu dan rasa sakit berkelindan menjadi satu.
Aku
masih saja tertatih-tatih mengemasi kecemasanku, sebelum lembayung
senja menyergapnya. “Aku ingin hentikan waktu, akan kucegat, tapi
sepertinya sia-sia...” Suaraku menembak udara.
Lagi-lagi
aku benar-benar terkulai balai. Garis-garis sinar matahari menerobos
lubang angin rumah dan menjelma menjadi tombak tajam yang siap
merajam tubuhku. Aku menggeliat, lalu kecemasan kembali menyergap.
Kenangan
pahit telah jebol dan berkeping-keping seiring rajaman waktu menajam.
Aku bangkit, aku menghadap diri di depan kaca yang ujungnya
retak.Sesaat aku merasa mampu untuk menggenggam sang waktu dan
melipat ruang menjadi dunia yang ramah padaku. Tapi lagi-lagi itu
sia-sia.
“Aku
terlalu naif...” Aku hanyalah menusia penyuka luka dan penikmat
sepi.
Mendadak
pita rekaman kenangan dalam benakku berputar. Semua kembali
muncul,luka-luka kusam menggiling waktuku. Sayup-sayup keperkasaan
sang waktu kembali menghajarku dengan pukulan dan tikaman tombak dan
panahnya. Simpul sarafku bergetar. Aku kembali bangkit.
Aku
tikam sang waktu dengan keperkasaan keyakinanku mengembalikan waktu
pada titik nol. Pada titik awal. Titik kejayaanku. Aku terus memasuki
lorong-lorong waktu. Mencari serpihan-serpihan kenangan dan dituang
dalam diriku.
Tapi
semua sia-sia, waktu terus menderik, meninggalkanku yang kelabu.
Hanya
Efek Rumah Kaca dengan Desember-nya yang menyambutku.
Komentar