Ketika Kamu
“hidup adalah perihal menunda kekalahan” begitu yang selalu kamu katakan kepadaku, kamu bilang itu dari penyair yang belakangan dianggap antek-antek CIA. Tapi kamu masih tak pernah lelah menyelesaikan karya GM, Catatan Pinggir. Dan kekalahan itu adalah kematian, bagiku ada yang lebih menakutkan sebelum kematian. Yaitu menghadapi rasa takut dan menyikapi kehilangan. Kita tidak pernah sepakat untuk hal itu. Aku takut kehilanganmu itu kenyataannya.
Kamu sepakat dengan dirimu sendiri bahwa hidup itu seperti roda gerobak batagor yang berputar. Tapi aku selalu percaya bahwa hidup itu seperti kita sedang membaca buku yang sangat tebal. Sebal, marah, benci, senang, cemburu, dendam, jatuh cinta dan hal-hal melankolis lainnya yang hanya terdapat dapat sebaris kalimat brilian brengseknya. Dalam banyak hal, membaca buku mengajarkan kita untuk menyikapi hal-hal yang belum tentu terjadi. Seperti halnya kematian. Tapi kamu tahu, aku selalu sebal dan tak tertarik sama sekali pada hal-hal yang sudah diprediksikan sebelumnya. Menyebalkan memang.
Aku sedang malas meratapi kehilangan dan bercerita tentangnya. Karena bagiku adalah, kamu merupa semua itu yang selalu mengingatkan dengan bawel dan cerewetnya saat aku mulai lalai merawatnya. Aku sudah mencoba dengan sekuat tenaga untuk melupakanmu, tentang kehilanganmu. Tapi tetap saja, kamu dengan brengseknya tanpa permisi masuk di antara kesendirian dan lamunanku di sela-sela melepas lelah pada suatu sore. Kamu seperti hujan yang datang secara mendadak saat hari masih terang.
Senja selalu melankolis bagiku. Entahlah, mungkin karena takdir yang mempertemukan kita dan kemudian jatuh cinta terkadang bagiku hanyalah sebuah adegan komedi yang tak perlu diingat betul. Tapi aku salah. Semakin aku melawan semakin aku kalah. Kamu adalah hal yang terbaik dariku. Kamu adalah simbol anti kemalasan, selalu disiplin, gegas, patuh dan selalu taktis dalam bersikap. Kamu tak pernah berhenti belajar, membaca dan mengingatkanku saat aku sudah mulai lupa dengan kesehatanku sendiri karena banyaknya rokok yang menyumpal mulutku, kopi yang terlalu sering mengaliri tenggorokanku dan mata yang selalu terjaga sepanjang malam. Adalah kamu, titik balik dari semua keburukanku. Sedangkan aku? Bahkan untuk beberapa menit kedepan setelah semua ini aku masih bingung hendak melakukan apa. Karena keyakinanku yang tak pernah mendapatkan dukunganmu adalah hidup yang terencana, hanya akan berujung pada sebuah kekecewaan maha agung. Itu yang selalu aku hindari, termasuk berharap.
Aku selalu ingin bertanya kepadamu, hatimu terbuat dari apa? Kamu adalah segala hal yang tak pernah dikenal oleh kesedihan. Kamu selalu ada saat aku sedih, terpuruk dan terhantam hebat. Dan yang lebih monumental, kamu masih ada meski kesedihan dan ketiadaberdayaan atas diriku kamu ketahui. Kamu adalah sebuah perkecualian.
Tapi biarlah aku menjadi melankolis. Seperti lagu-lagu Payung Teduh yang selalu kita perdendangkan bersama ketika waktu terbuang begitu saja. Tapi kamu tahu? Waktu terbaikku adalah saat bersamamu. Dan hal yang paling menarik adalah saat kita bersebrangan. Bagiku, di satu lagu Payung Teduh, yang kamu sukai bukanlah sebuah lagu riang, sedih malahan. Tapi dari situ aku sadar, bukankah kebahagiaan bukan hanya tentang gelak tawa. Tapi juga tentang kamu dengan berbagi kesedihan. Kamu adalah sesuatu yang pernah sama.
Kamu selalu melarangku menjadi melankolis. Di setiap pagi kamu dengan bawelnya mengingatkanku untuk segera merampungkan skripsi dan bertemu dosen pembimbing. Itu yang selalu kamu mau, bahwa hidupku harus segera tertata dan menjadi lelaki sesungguhnya. Di satu sisi, terkadang kamu lebih bawel ketimbang ibuku sendiri, sering malah. Tapi semua itu tidak penting. Kenyataan bahwa kamu ingin memberikan aku yang terbaik dalam hidupku, lebih dari cukup. Namun faktanya, kamu sudah tidak bersamaku lagi adalah hal yang paling menyakitkan. Dan saat ini, rindu datang sama banyaknya seperti hujan di akhir November. Segala hal yang bernama kesudahan adalah kita.
Komentar