Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2014

Melawan Logika : Pengemis

Kita mulai dengan pengertian pengemis itu sendiri. Jika diartikan secara serampangan, memang artinya tak jauh-jauh dari meminta, mengiba. Artinya pengemis adalah orang yang meminta-meminta. Pertanyaannya, salahkah jika ada orang yang meminta-meminta ? Di tengah-tengah masyarakat sosial, haruskah meminta ? Atau kehidupan urban yang memaksa ? Atau ada semacam sistem yang melahirkan pengemis sebagai pekerjaan ? Mungkin juga lahir karena sebuah doktrin agama ? Dan jika pengemis adalah perbuatan. Tentu bisa dinilai, apakah salah dan benar ? Lalu siapa yang pantas di salahkan ? Berawal dari pengemis sebagai sebuah pekerjaan. Akhir-akhir ini berita di televisi ada duet pengemis yang tak sampai sebulan “bekerja” mendapatkan hasil yang fantastis untuk ukuran pengemis. Hampir 25 juta. Bahkan itu gaji melebihi seorang PNS yang mana hidupnya sudah ditanggung negara. Belum lagi kemarin, saya bertemu dengan pengemis dan bertanya. Kalau setiap hari penghasilannya mencapai 300 ribu. Ba...

Cerpen - Saudara Kami

Pun ketika selesai shalat jum'at, suara anak-anak kecil yang berhambur keluar berlarian tak mampu mengalahkan kekhusyukan dan gema-gema dzikir di masjid kami. Kami adalah penganut agama yang taat. Tak pernah sekalipun kami mencaci orang tua sendiri, ulama' dan nabi. Apalagi berusaha merakit bom atau meberontak negara. Tiada secuil keberanian yang singgah di ruas otot kami. Kegiatan kami adalah tak pernah berhenti merapal do'a, menyebut nama Tuhan tiada henti. Meski apabila bibir berhenti berkecap karena sebuah percakapan kepada sesama. Tapi percayalah, hati kami bergema keras bersenandung nama nabi dan Tuhan kami. Tuhan kalian bukan Tuhan kami, kata seseorang yang tak suka. Bahkan, kami tak pernah terlihat marah dengan mencaci. Kami melampiaskan marah dengan menunduk dan merapalkan ampunan kepada Tuhan. Tiada henti sama sekali. Ketika kami diserang, didzolimi, dituduh tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan sekalipun. Kami hanya diam. Merapal do'a...

Cerpen - Aku Yang

Ini semacam akumulasi kehidupanku akhir-akhir ini. Pagi ini, lebih tepatnya jam. 9 adalah pucaknya. Akhir yang cukup membingungkan sebenarnya. Gelisah tepatnya, tapi cukup sebagai morfin penenang untuk hari-hariku sebelumnya. Hari-hariku sebelumnya, sebelum pagi ini. Aku mengalami sederet tidur yang melelahkan. Mimpi buruk menjadi sebuah kewajiban di tiap tidurku. Kata seorang teman, aku mungkin lupa berdo'a sebelum tidur. Baiklah, aku merapal do'a apa-apa saja yang aku ingat di kepala. Baik yang mengerti artinya ataupun yang lupa sekalipun. Hasilnya sama sekali tidak berhasil. Aku tetap mimpi buruk. Melihat buaya raksasa di muntahkan monster. Terjun ke kubangan semacam kotoran berwarna hitam. Tersesat di hutan yang teramat luas dan hanya ada leher menjulur panjang dengan bibir seperti donal bebek yang terus mengejar. Dan adegan-adegan seram, melelahkan tersebut menurut teman karib adalah ketakutan-ketakuatan di bawah alam sadar. Bagiku itu berlebihan sekali, ma...

Cerpen - Salah Tangkap

“ Aku masih ingat benar, apa yang kau ucapkan dulu kepadaku. Kau dengan lantang tidak percaya pada Tuhan. Mempertanyakan esensi shalat. Dan lagi, ingin pindah agama.” Sekian lama tak jumpa, itu bukanlah awal percakapan yang bagus dan menyemangatkanku. Ini di luar perkiraan. Yang ada dalam benakku adalah sebuah pertemuan yang menyenangkan berbalut kesenduan setelah sekian lama tak bertemu. Tapi dengannya tidak. Aku semestinya tidak berfikir demikian. Mungkin dengan kawanku yang lain bisa begitu. Seharusnya aku bisa menduga. Bukan dia jika memperlakukanku demikian. Setelah sekian lama perjumpaan yang menahun tak bertemu. Belum sempat aku memeluknya dia sudah memoporku dengan kalimat itu. Mungkin dia lupa. Aku baru saja melakukan perjalanan panjang untuk pulang. Mungkin juga ia terlalu bersemagat menyambut kedatanganku. Sehingga ia bingung bagaimana kata-kata yang tepat sebagai penanda kedatanganku. Aku tersenyum kecut saja. Salah satu sudut bibirku terangkat sedikit....

Tentang Bagaimana Mencinta #5

Terkadang yang “selalu ada” mengalahkan “yang istimewa”, timpal sahabatku. Tapi. Justru yang “selalu ada” itulah yang membuatnya menjadi “yang istimewa”, kata sahabatku satunya atas ketidaksetujuannya. Mereka berkata demikian bukan tanpa alasan sayang. Bukan asal bicara. Ini tiada bukan adalah sindiran untukku. Atau mungkin untuk menyadarkanku. Tenang sayang, aku selalu padamu. Lelaki ini akan selalu menjadi milikmu. Meskipun... Tak perlu kau tanya lagi, kaulah yang teristimewa. Hanya kau saja. Walaupun sudah hampir satu tahun kita tak pernah saling memberi kabar. Setelah keputusan kita untuk kembali jika sudah siap. Aku yang selalu menunggu kabarmu dan kau yang tak pernah aku tahu. Hanya pesan-pesanmu yang selalu aku tunggu. Tapi tidak ada. Berharap dering telephonku itu kamu. Ternyata bukan. Semua orang lain. Semua yang sama sekali tidak aku harapkan.

Tentang Bagaimana Mencinta #4

Ini kutulis minggu pagi sayang. Jika hari biasanya aku tentu tak bisa bangun siang. Karena pagi sudah mulai beraktifitas. Aktifitasku yang tak penting. Kau tentu lebih suka aku bangun pagi kan? Biar olahraga dan sehat. Kata orang, bangun pagi rezekinya gampang. Amin. Tapi hal itu tidak kuterapkan ketika minggu datang. Biasanya aku akan menghabiskan malam hingga subuh kemudian bangun ketika dzuhur berkumandang. Itu kuanggap sebagai sebuah hadiah untuk jiwaku yang lain. Jiwa yang tak pernah menikmati pagi. Hanya dalam mimpi. Namun, rencana itu gagal. Semalam sehabis isya' aku ada teman baru dari Gorontalo. Kapan-kapan kita kesana sayang. Berkunjung kerumah teman baruku ini dan tentunya travelling. Meskipun kau tak begitu suka travelling. Temanku tadi selepas Isya' mengajak berputar-putar di kota baru ini. Melihat malam. Malam minggu tepatnya. Tepat jam 11 malam aku sudah kehabisan tenaga menuruti semangatnya. Sampai kos langsung tidur dan akhirnya gagal. Aku gagal bangun siang ...

Tentang Bagaimana Mencita #3

Sayang, aku menyapamu lagi. Lewat tulisan ini. Bukannya aku sok puitis atau biar dibilang seperti penulis. Bukan, tentu saja bukan. Kau paling mengerti aku sayang. Meskipun aku terkadang menulis status di media sosial sedikit panjang dan berkelit dengan struktur kata yang lebih sering dianggap teman media sosialku bahwa itu puitis. Sekali lagi bukan sayang. Semua ini karena aku selalu takut. Takut menyapamu langsung. Meneleponmu tiap saat senggangku. Atau sekedar sms tak penting kepadamu yang hanya menanyakan kabar dan mengingatkan untuk makan. Kita memang tidak seperti itu sayang. Kita berbeda. Kita memilih berjarak dan menunggu saat yang benar-benar indah. Kau tahu, aku yang menunggu. Aku tak sengaja, suatu sore, setelah beraktifitas yang melelahkan dan lunas sudah kewajiban. Di tengah-tengah waktu menunggu maghrib. Tanganku menghidupkan leptop yang ada di meja kamar. Hanya untuk memutar lagu. Mungkin tanganku tak tega jika aku harus menikmati senja dengan diam, sepi dan sendiri....

Tentang Bagaimana Mencinta #2

Sayang bagaimana kabarmu? Tentu baik-baik saja kan. Tidak sepertiku yang pesakitan menunggu sekedar pesan singkat tak penting darimu. Mungkin tak penting bagimu tapi begitu berarti untukku. Sekedar untuk menambal hari-hariku yang lelah dan membosankan. Sekedar menggenapkan jiwaku yang selalu merupa tak genap karenamu. Apakah kau juga demikian? Aku tidak tahu. Tapi aku percaya, kau sedang melukiskan diriku di awan-awan masa depanmu. Ya, aku tahu itu. Hari-hariku memang melelahkan sayang. Tapi percayalah, aku takkan sejengkal mengundurkan langkah untuk menyerah menunggumu. Menjadi kita. Aku ingin sekali lagi engkau percaya, bahwa aku, yang sepertinya tak bisa bersetia, menurutmu, akan selalu menjaga janji kita. Kau tahu arti janji kita sayang? Yang sedikit cemas namun tanpa ragu melingkarkan kelingking di tepian tebing nan tinggi. Angin saat itu kencang sayang. Membelai kulit-kulit wajahmu yang putih kemerahan karena bekas-bekas jerawat. Angin juga seolah ikut mengatakan ...

Tentang Bagaimana Mencinta #1

Sayang, seberapakah rindumu padaku? Kau tahu apa arti merindu namun tak diucapkan? Itu seperti menahun menjadi budak koloni dalam proyek super keji yang dinamai “ culturstelsel” ingin hati memberontak, tapi tak ada daya. Tersiksa. Tapi aku tak menganggap bahwa rindu kepadamu suatu siksaan. Namun seperti katamu, rindu akan semakin menjadi setelah kita bertemu. Jadi itu pilihanmu, tak bertemu aku, karena kau paling tak bisa dengan perpisahan setelah kita jalani hari bersama. Makan siomay kesukaanmu. Mendengarkan celotehmu yang sesekali cemberut kesal sebagai ekspresi: cantik sekali. Dan diujung hari yang terlalu cepat bagiku tangan kita disatu ujung dan ciuman selalu menjadi tanda pemungkas pertemuan kala itu.