Pernikahan yang Mungkin Menakutkan


Ada beberapa keberanian di dunia ini yang saya masih tangguhkan, apa itu keberanian atau kenekatan?. Mungkin beberapa orang mengira bahwa kedua kata tersebut adalah sama, tapi bagiku dua hal tersebut sangatlah beda dalam prinsipnya. Keberanian adalah ketika tahu yang kita perjuangkan adalah hal suci, tapi kenekatan bagiku hanya taklid buta yang diperjuangkan karena tak menimbang ketotololan dalam keyakinan.


Dan menikah bagiku adalah kenekatan yang mungkin bagi kalian adalah keberanian atas nama cinta. Yang bahkan aku masih tak mengerti apa itu cinta bagi kalian. Apakah cinta adalah menyatukan dua manusia tanpa tendensi apa apa?, di sinilah kemunafikan mulai aku baca. Pernikahan pernah ada dan sekarang benar benar ada, bagi orang-orang yang pernah melihat dan masih melihat adanya sesuatu yang suci di dalam pernikahan, sebuah benda keramat yang wajib ada di hadapan tuhan dengan (t) kecil. Bagi mereka pernikahan itu ada, tetapi bagi kita pernikahan hanya kemunafikan dan kekerasan, kita merasakannya dan untuk membersihkan diri, kita mengkhotbahkan cinta bebas. Tetapi, sungguh mengkhotbahkan cinta bebas hanyalah kemunduran menuju persetubuhan badan saja, itu dosa yang ngawur.

Kita mengira bahwa pernikahan harus didasari dengan cinta, dan mana yang akan kau sebut cinta, apakah kekuasan memilih perempuan, atau kepandaian perempuan dalam menyulap tubuhnya untuk dipilih laki-laki. Lantas dengan kemunafikan, kita bilang kita harus mencintai hatinya, hatinya yang mana. Pada prakteknya kita sangat meteriil dalam hal ini. Untuk perawatan kecantikan yang mahal tak akan mungkin mau dengan pria berkantong tipis, dan laki laki sekarang dengan bodohnya mau saja dipelihara dengan nampak mata dan kenafsuan yang buta. Pada akhirnya menikahpun akan kita sandarkan pada pemuasan materi saja. Lalu disini siapa yang berkuasa. Lelaki dengan otot dan ketegasannya atau perempuan dengan tubuh dan perhiasannya?

Mungkin dari kalian ada yang percaya bahwa menikah adalah menyatukan hati membina rumah tangga dan melewati hidup sebagaimana adanya. Seolah kita bisa mengada, kita hanya meniru orang kebanyakan. Mungkin yang paling menjijikkan di sini adalah bagaimana kita merasa bahwa kita mencintai wanita atau laki laki itu. Tapi apa hikmah dari ungkapan bahwa hanya cinta yang menyucikan perkawinan? Cinta... Cinta adalah sikap lebih menyukai seorang lelaki atau perempuan tertentu dibandingkan semua lelaki atau perempuan lain. Mungkin kebanyakan akan mengiyakan ini, tapi lebih menyukai untuk berapa lama? Sebulan, dua hari, atau setengah jam?.

Bah, kalian kira menghidupi cinta adalah perkara memberi makan anjing kelaparan. Kalian kira mengikat adalah pemecahan paripurna dari pengejawantahan cinta. Kalau mengikat adalah air susu ibu yang kalian minum maka ikatlah semua orang. Karena memanusiakan manusia adalah logika yang tak mungkin kalian tolak. Mungkin cinta membebaskan, tapi bebas yang seperti apa yang kalian harapkan?.

Kesepakatan untuk menikah adalah seperti kesiapan kita untuk dipasung. Kita akan pelan-pelan merasa bahwa banyak janji yang akan teringkari disana. Atau kesadaran bahwa banyak sekali kemungkinan-kemungkinan bahwa kita tidak dapat dengan tulus menebus suatu ikatan. Maka kita akan hidup dalam neraka yang kita sepakati. Kita akan mulai membuat cinta baru, mungkin sebagian orang yang masih menggunakan otak akan memindahkan cintanya kepada anaknya, yang entah sengaja atau tidak disepakati untuk dilahirkanya. Dan kita lupa cara mencintai pasangan kita. Kita hanya akan tahu bahwa sudah terlalu penat dan terlampau mengecewakan mencintai orang yang sama.

Beberapa dari kita memang akan mengatakan ini normal dan ini terjadi pada orang kebanyakan. tapi apa yang lebih menyedihkan dari menghidupi kemunafikan. Belum lagi ikatan yang akan membuat kita merasa memiliki akan menimbulkan kecemburuan, yang pelan pelan akan jadi kanker yang menggerogoti kita.

Kukira perjudian besar itu segera harus di akhiri. Dengan sedikit mengindahkan pernikahan moral sebagai landasan. Tak perlu janji atau kesepakatan pasti. Tapi "beranilah menjadi kita" seperti kata salah seorang karib. "Beranilah menghadapi apa yang tanda tanya" seperti ujar Gie. dan Mulailah membuat sebuah pertanyaan untuk cinta?.

Saya kira, saya mungkin juga kalian, takut pada imaji pernikahan. Takut pada banyak hal yang mesti hilang dan banyak hal yang mesti jadi tanggung jawab saat menikah nanti. Bahwa kemerdekaan kita terebut dan kita tak bisa jatuh cinta lantas secara impulsif mengejar orang lain. Kita takut pada sesuatu yang tak pernah kita jalani.

Tiba tiba aku ditampar dengan salah satu omongan teman, yang dengan celetuk renyahnya berkata "rung tahu nikah kok koment nikah"
(Ocehan pencerahan ditulis yang kami sebut “Ahmadi Sang Nabi Gims”. Bisa dihubungi melalui at twitter @ahmadigims dan @iam_shidqi)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku, Pesta dan Cinta : mengenang kembali Soe Hok Gie

Syakal dan I'jam

Sejarah Fatayat NU "Cabang Jepara"