Keberanian Menjadi Kita?
Perempuan
itu menurutku sangatlah cantik. Kulitnya memang putih, kuning langsat
seperti di iklan kosmetik. Memang sih ia bukanlah orang Jawa, tetapi
Sunda. Sunda, setahuku memang gadis-gadis Sunda terkenal putih dan
kulitnya bersih-bersih. “Geulish pisan euy” begitu
akrab kudengar ketika perempuan sunda itu sedang mampir sekedar
membeli gorengan di warung burjo (bubur kacang ijo). Dari
kelihatannya, mereka yang menggoda adalah orang non-Sunda yaitu
lelaki-lelaki Jogja yang sedang nongkrong mrongos
depan burjo. Iya, burjo memang identik tempat makan murah yang ada di
Jogja dan sering menjadi sasaran mahasiswa-mahasiswa kelaparan.
Terlebih burjo identik dengan buka 24 Jam, penjualnya orang Sunda
dan menu andalannya adalah nastel (nasi telur) dan mirebus
intel-tante (indomie telur atau tanpa telur).
Entah
apa alasannya, setelah kupikir-pikir
banyak sekali orang Sunda
melakukan ekspansi ke tanah Jogja ini. Terutama
urusan perut, orang sunda menjadikan semakin berjejalnya menu-menu
makanan yang membuat mahasiswa berkantung tipis hanya menghenyak air
liur dan menghela nafas panjang. Mungkin aku terlalu rasis menyebut
“orang Sunda”
tapi
kebanyakan jajanan yang ada memang berasal dari Bandung, sebut saja Cireng, Roti Bakar, Es Oyen, Peuyem, Karedok hingga keripik gambar emak-emak Kripik Maichi. Tetapi itu sedikit lebih baiklah tinimbang makanan-makanan orang Eropa yang terkadang rasanya pun aneh tak karuan di lidah. Ada-ada saja memang, makan daging dicampur roti serta saus jadi burger. Sudah begitu yang jualpun gambarnya kakek-kakek tua (baca: KFC) dan yang produk lainnya bergambar badut (baca: MacDonald). Jadi aku berkesimpulan, makanan Eropa selain rasa tak sesuai lidah, simbol juga mempengaruhi. Simbol orang tua berarti makanan itu membuat kita cepat tua dan mati, sedangkan badut adalah bahan candaan dan cercaan meskipun terkadang menghibur, tapi hiburannya dengan cara mempermalukan diri sendiri. Aku mah ogah, mending makan pempek atau SGPC (sego pecel) dan sesekali dua kali nasi padang dan masih banyak bermacam-macam golongan dan kabilah dari suku soto yang layak kita kudapi.
kebanyakan jajanan yang ada memang berasal dari Bandung, sebut saja Cireng, Roti Bakar, Es Oyen, Peuyem, Karedok hingga keripik gambar emak-emak Kripik Maichi. Tetapi itu sedikit lebih baiklah tinimbang makanan-makanan orang Eropa yang terkadang rasanya pun aneh tak karuan di lidah. Ada-ada saja memang, makan daging dicampur roti serta saus jadi burger. Sudah begitu yang jualpun gambarnya kakek-kakek tua (baca: KFC) dan yang produk lainnya bergambar badut (baca: MacDonald). Jadi aku berkesimpulan, makanan Eropa selain rasa tak sesuai lidah, simbol juga mempengaruhi. Simbol orang tua berarti makanan itu membuat kita cepat tua dan mati, sedangkan badut adalah bahan candaan dan cercaan meskipun terkadang menghibur, tapi hiburannya dengan cara mempermalukan diri sendiri. Aku mah ogah, mending makan pempek atau SGPC (sego pecel) dan sesekali dua kali nasi padang dan masih banyak bermacam-macam golongan dan kabilah dari suku soto yang layak kita kudapi.
Sensitif
memang membicarakan isi perut. Bukankah revolusi lebih sering
tersulut karena urusan perut daripada lahir dari media. Oh iya,
perempuan Sunda tadi, aku baru mengenalnya beberapa hari saja dan
sekarang
kita sudah terjebak di dalam satu kamar. Dan sudah kuperkirakan, aku
akan terjebak dengan perempuan Sunda
itu dalam padanan waktu yang lama dan menjuntai. Jangan berfikir
negatif dulu, meskipun ia cantik, manis, rambutnya terurai panjang
terlebih ketika
jilbab yang menghiasi kepalanya ia tanggalkan tepat di hadapanku, aku
tetap bergeming. Aku tetap saja tidak tertarik sama sekali, aku
ulangi sama sekali tidak tertarik, tidak tertarik sama sekali, tidak
tertarik sekali sama perempuan Sunda
itu. Mungkin kalian bertanya-tanya, kenapa aku tak tertarik dengan
perempuan itu, katakanlah ia perempuan yang ideal menurut kebanyakan
lelaki. Bahkan sekalipun kita terjebak berdua dalam kamar, aku takkan
menyentuhnya. Alasannya sederhana saja, karena
aku adalah perempuan. Dan aku adalah perempuan normal.
Perempuan
Sunda
tadi adalah teman sekamar kostku yang baru. Kami sama-sama mahasiswa
baru yang masuk tahun ini. Perkenalan kamipun tanpa sengaja dan
sepertinya sudah ada yang mengatur, Tuhan
tentunya. Berawal
dari sini, kami
sama-sama kebingungan mencari alamat hendak melangkah kemana dari
Stasiun Lempuyangan. Melihat aku juga gontai membawa bawaan kelewat
banyak dan bingung, ia memberanikan menyapaku dan menanyakan
tujuanku. Selain cantik ia juga gadis pemberani, gadis sunda itu
bernama Noura. Singkat cerita kami sepakat untuk meluncur bersama
menuju universitas Islam ternama di Jogja. Pucuk di cinta malaikatpun
tiba, ia sudah mendapati kost yang ditinggal kakaknya yang lulus
bersamaan dengan masuknya kita. Sedikit malu-malu biar terkesan
sedikit ada penolakan akhirnya tawaran sekamar kuterima. Penerimaan
itu adalah jawaban yang
keluar dan satu-satunya. Begitulah akhirnya aku dan Noura sekamar.
Dan Noura memang gadis yang cantik.
Aku
adalah seorang perempuan, dan aku tak pandai bahasa selain bahasa
ibu, yaitu bahasa Jawa. Sepertinya kampus mengerti betul akan
kekuranganku yang satu ini. Untuk mahasiswa-i baru, disediakan kelas
tambahan untuk memperdalam bahasa asing, Inggris dan Arab. Kelas
tersebut terkadang menurutku sangat over dosis dalam
hal jumlah pertemuan, seminggu
empat kali dan parahnya sabtu masih saja masuk. Tetapi bagi yang
belum bisa sama sekali sepertiku, ini bisa menjadi ajang mempertajam
diri. Bukankah perempuan yang cantik juga adalah yang cerdas dan
pintar.
Aku
adalah gadis desa yang membawa sejuta harapan dan tujuan. Meskipun
tak memungkiri, terlalu banyak harapan berarti siap untuk kecewa dan
luka. Yang pasti aku bukan seperti Elvis Presly yang kabur dari rumah
untuk meraih cita-citanya sebagai penyanyi keren, tentu bukan. Aku
berangkat dari rumah dengan membawa restu orang tua dan tak lupa
tambahan saku dari sanak keluarga yang dengan sengaja mengiringi
diriku menuju stasiun kereta. Wajar saja, di desa tempatku tinggal
masih sedikit sekali sarjana terutama dari kalangan perempuan.
Kebanyakan perempuan di desa sekolah hingga tingkat kedua, setelah
itu mempercantik diri di rumah sembari menunggu ada laki-laki yang
akan meminangnya. Tapi tidak semua berjalan demikian, seperti aku.
Aku memilih jalanku sendiri, yaitu kuliah. Dan berangkatlah aku
menuju kota Jogja dengan segenap doa dan tentunya kekhawatiran dari
bundaku tersayang. Aku masih ingat pesan bundaku “nek
kowe sekolah adoh, terus seng ngancani ibumu sopo pas masak, pas
bapak panen?” -kalau kamu
sekolah jauh, lalu siapa yang bakal menemani ibu ketika masak, ketika
sawah bapak panen?-. Mungkin memang bukan petuah dari orang besar
atau doa yang beliau
sampaikan, tapi itu adalah
kekhawatiran yang mendalam dari ibu, tentu beliau juga tak ingin
membuat langkahku berat. Dan untuk setiap doa, aku percaya tanpa
diucap, terkadang tak terdengar dan tanpa diminta ibu akan selalu
mendoakan kita, kalian percaya itu kan?.
Mungkin
memang tujuan utamaku adalah belajar. Tapi aku tetaplah perempuan
seperti yang lain, aku juga tertarik dengan mahluk aneh beda kelamin.
Mereka disebut laki-laki. Terkadang iri juga, melihat mereka yang
berpasangan. Setiap pergi kemana ada yang mengantar dan menjemput.
Ketika lagi sedih ada yang bersedia menghibur dan selalu siap
mengulurkan tissu ketika ada air mata yang jatuh. Tapi percayalah
laki-laki yang membaca ini, aku tidak akan menjadikan kalian mirip
tukang ojek yang setiap hari harus mengantarkanku kuliah dan setiap
malam minggu bingung mau kemana untuk mengajakku jalan. Aku juga
takkan membuatmu kerepotan dengan sikap bawelku, atau begitu
melankolisnya diriku yang mudah menangis dan suka menyimpan perasaan.
Mengertilah laki-laki, jadikan hubungan ini menjadi imbang dan saling
melengkapi. Bukan menjadi budak, setidaknya budak perasaan kita
masing-masing.
Bertemulah
aku dengan seorang laki-laki, tepatnya mahasiswa bukan mahasiswi.
Laki-laki yang mampu meminta pandanganku untuk memandangnya lebih
lama. Sebelum-sebelumnya belum ada laki-laki yang begitu menyita
perhatianku, menguasai lamunanku dan mengisi slot-slot kosong dalam
angan-angan masa depanku. Dia merupakan teman sekelas dalam mata
pelajaran tambahan penguasaan bahasa asing tersebut, ia pandai sekali
bahasa arabnya, aku terpukau. Memang awalnya remeh sih, ia pandai
bahasa arab dan aku suka, sesimpel perempuan lebih suka diberi mawar
daripada durinya. Kalian mengira ia juga tampan? Aku kira tidak
begitu, relatif sih, mungkin menurut kalian tampan tapi bagiku biasa
saja, pas tidak pahit atau tidak terlalu manis untuk ukuran kopi. Ehh
kenapa aku membandingkannya dengan kopi? Wajar saja, karena kulitnya
memang tidak seputih Noura tapi juga tidak sehitam kecap manis cap
blekok. Apalagi rambutnya,
jangan berharap ia serapi Cristian Ronaldo tapi juga tak seperti
vokalis Godbless, Ahmad Albar. Rambutnya ikal sedikit acak-acakan
tapi elegan kok. Ia selalu pakai kemeja kotak-kotak, bagiku lelaki
memakai kemeja sedikit lebih gimana gitu, meskipun memakai kaospun
tak masalah. Celana kebawah hingga sepatu seperti kebanyakan
mahasiswa lain, tidak congklang dan juga tidak sobek-sobek. Entah
kenapa perempuan memang suka melihat lelaki rapi. Lihat saja pacar
temanku, ketika saling bertemu, pasti yang perempuan komentar perihal
rambut cowoknya yang acak-acakan dengan tergesa sang cowok
merapikannya.
Lelaki
itu, ia adalah nama lain dari kesederhanaan. Aku bilang begitu karena
selain menjadi mahasiswa ia juga mengajari anak-anak kecil mengaji
dan sering juga mengisi les privat. Dalam dirinya tak ada gengsi dan
kesombongan sedikitpun,
meskipun ia membawa sepeda
onthel butut berwarna putih. Ia tak malu, ia tetap berjalan santai
meskipun yang lain sudah memakai yang bermesin. Aku melihat itu
sejenak berimaji, jadi kalau aku pacaran dengannya ia takkan
kujadikan tukang ojek antar jemput. Eitss pikiran macam apa itu,
dalam kamusku tak ada kata pacaran, ta'aruf saja. Biarpun banyak yang
mencemooh tidak ada beda ta'aruf dan pacaran, cuma permainan kata
yang mempunyai istilah sama. Aku
semakin yakin, semakin menaruh harapan banyak padanya meskipun aku
tahu, banyak harapan banyak sakitnya. Sepertinya ia tipe lelaki yang
jarang dilirik oleh perempuan lain karena kesederhaannya itu.
Kebanyakan
lelaki sepertinya pandai menangkap sinyal, sinyal perhatian dari
seorang perempuan. Curi-curi pandangku, melihatnya dari kejauhan
sepertinya telah dimengerti betul olehnya. Dan sampai pada sebuah
perkenalan aneh dan kaku. Ia
memang tak pandai berkenalan, itu
kesan pertamaku. Tapi aku
salut dengan keberaniannya menghampiriku. Jurus
lama menurutku, pria akan sengaja melibatkan dirinya dalam
kehidupanku. Yapp ia menanyakan tugasku tentang artikel bahasa arab.
Ini rasanya ketika kita di hutan kelaparan tiba-tiba ada tarzan
datang dan membawa makanan. Padahal kita belum kenalan, tapi memang
sudah basi berkenalan menanyakan nama, toh kita sekelas dan sudah
tahu nama masing-masing. Mungkin bedanya adalah kita belum menanyakan
secara resmi nama kita. Tapi apalah arti “resmi” toh kita justru
malas berhadapan dengan prosedural resmi seperti ingin bertemu
presiden saja. Yang jelas aku tidak ingin sama sekali bertemu
presiden.
Sejak
itulah, dari menanyakan asal kelahiran hingga hal remeh seiring
berjalannya hari, sampai pada
satu titik yang bernama nyaman. Pada titik inilah pilihan, keadaan
justru menjadi serba sulit. Memposisikan diri dalam sebuah
pengharapan memanglah bukan pekerjaan mudah. Tahap di atas nyaman
adalah satu titik dimana harus ditentukan sebuah keputusan. Kita
serba kikuk dan seolah saling menunggu untuk sekedar menyapa ketika
bertemu. Kita lebih nyaman berkomunikasi mendengarkan suara melalui
telepon daripada bertemu langsung. Lebih memilih mengingatkan dan
memberi perhatian dengan mengirim pesan singkat daripada berjalan
disampingnya dan memberi
dukungan secara nyata. Dan disinilah, siapa yang harus bertindak dan
mengambil langkah selanjutnya. Aku tak mau terburu-buru mengartikan
ini “aku cinta dia”, tentu bukan. Tentu
tidak semudah itu, ini hanya persoalan rasa nyaman. Toh jika ia
mengatakan “aku cinta kamu, mau nggak jadi
pacarku” aku takkan menolak. Meskipun aku tau, ia tak terlalu
tampan, badannya sedikit gemuk, tak bisa mengantarkanku kemana-mana
karena ia sendiri tak punya motor. Aku sudah fikirkan itu. Lalu Noura
menyadarkan palung lamunanku dengan sebuah pertanyaan “lalu kenapa
kamu suka dia”. Noura yang dari tadi menjadi pendengar yang baik
mendengar isi hati dan keresahanku. Wajar saja, Noura selain teman
sekamar ia sudah berganti pacar sampai
hitungan ketujuh dan sekarang ia sedang dekat dengan seseorang.
Sedangkan aku? Ini pengalaman pertamaku. Sejak SMA aku adalah
permepuan yang kuyakini tak ada laki-laki yang melihatku, sekedar
melirikpun tak ada.
Mungkin
laki-laki itu punya perasaan yang sama dan akan segera melakukan
hal-hal yang diluar dugaanku. Mungkin ia tiba-tiba mengajakku bertemu
lalu ia menyatakan cintanya. Ahh terlalu biasa itu mungkin. Atau ia
semalaman duduk di depan kost hanya untuk menyambut aku bangun tidur
dan menyodorkan bunga lalu mengajakku menikah. Atau... atau.. atau...
sepertinya aku sedang mengalami over dosis perihal
berangan-angan dan terlalu berharap. Tapi akhirnya ia sadar juga,
fikirku. Pagi itu, ia mengirim pesan singkat kepadaku..
“nanti
ada kuliah?”
“iya
ada jam.9 berangkat. Kenapa?” jawabku
berharap
dengan menanyakan balik menggunakan kata “kenapa”.
“kira-kira
ada waktu sebentar enggak untuk ketemu, sebentar banget kok, kalau
kamu gak bisa lama, sebentar aja kok. Satu menit saja cukup”.
Yesss,,,
tanganku mengepal bangga sembari senyum mengembang di bibirku. Tanpa
berfikir panjang aku menawarkan waktu siang dan ia setuju,
“bagaimana
kalau siang jam.12”...”oke, bentar aja kok gak bakal mengurangi
dan mengganggu waktumu, tepat jam.12 aku tunggu di loby depan bawah
tangga”.
Itu
pesan terkahirnya pagi itu dan tak kubalas lagi. Aku mencoba
mengatasi perasaanku berusaha tetap santai dan tenang.
Ketika
kuliah aku sangat tidak bisa fokus, aku selalu memikirkan apa yang
akan terjadi ketika waktu memagut tepat pukul 12. Apa yang akan ia
katakan, apa yang hendak ia lakukan, apa yang ia inginkan dariku, apa
dia inginkan diriku menjadi kekasihnya. Ahh untuk kali ini aku lebih
cerewet dan menyebalkan dari facebook. Facebook hanya bisa bertanya
satu hal yang sama setiap harinya “apa yang anda fikirkan” tetapi
selalu teguh sepanjang waktu. Tuhan, aku ingin cepat sampai pukul 12.
Pintaku menyintas dalam hati.
Dan
tibalah waktunya. Aku dengan gegas menuju tempat yang sudah kita
sepakati. Meskipun masih kurang 10 menit, aku tak ingin membuatnya
menunggu. Dan konsekuensinya adalah aku yang menunggu. Tak apalah,
menunggu bukanlah pekerjaan sulit, toh masih banyak temanku
berseliweran di sekitarku. Setiap sepuluh detik sekali menengok jam
yang melingkar di tanganku. Lama sekali rasanya, ahh sepertinya hanya
sangkaku saja. Tepat pukul 12, aku menutup mata dan berharap ia
datang kemudian membangunkanku. Terpejam terasa lama akhirnya kubuka
mata dan aku mencoba menghibur diri, kurang dari satu menit ternyata.
5 menit berlalu, 10 menit berlalu, 30 menit berlalu aku putuskan
untuk tanggalkan tempat itu. Aku pulang kembali ke kost membawa
harapan yang tercerai, terurai akan kekecewaan yang terlampau besar,
melampaui badanku malah. Aku memang tak sms dia, tak telpon dia, buat
apa. Seharusnya aku tahu ini akan terjadi. Aku terlalu berharap dan
membayangkan sesuatu yang belum terjadi. Dan sekarang terjadi tapi
tidak sesuai dengan kenyataan. Aku mencoba menghibur sendiri hati dan
perasaanku. Aku masih berupaya berprasangka baik, mungkin ia lupa,
mungkin ia ketemu dosen dan belum sempat mengabariku, mungkin ia..
mungkin ia.. mungkin ia akan sms meminta maaf dengan segala alibinya
dan aku dengan mudah memaafkan. Tetapi ternyata tidak, aku lagi-lagi
kecewa. Hingga malam datang menjemput ia tak kunjung menghubungi. Aku
masih sabar dan mengharapkannya. Dan lagi-lagi harapanku patah
termakan waktu yang tak juga memihakku. 1 hari.. 2 hari.. 3 hari..
dan pada urutan kelima tak juga ada kabar, aku memutuskan untuk
menutup hatiku yang terlanjur terbuka dan banyak dikerubuti lalat.
Lalu sinis, benci, marah terpendam kupelihara dan kutujukan pada
lelaki pengecut itu. Kebencian kusulut dengan api prasangka-prasangka
buruk. Ia hanya mempermainkanku, ia hanya,, ia hanya.. ia hanya
lelaki pengecut. Sontak air mataku entah kenapa keluar seperti langit
yang sudah lama menyimpan mendung, dan lagi-lagi pundak cantik Noura
sedia menjadi kolam air mataku sesaat.
Entah
menngapa, ada apa dengan lelaki itu aku sebenarnya tak ingin ambil
pusing. Sejak itulah aku membenci mahluk yang bernama laki-laki.
Bagiku laki-laki sama aja, yang tak begitu tampan, tak begitu kaya
saja dengan mudah menyakiti. Terlebih mereka yang tampan dan super
kaya, tentu dengan mudah juga gonta-ganti pasangan semau mereka.
Hingga aku hampir menjadi sarjana, aku masih sedikit-sedikit stalking
time line twitternya dan lihat beranda facebooknya, sesekali.
Dan
pada satu waktu, kita dipertemukan kembali dengan dalih kedewasaan
dan aku sudah bisa memaafkan kesalahannya. Komunikasi itu terjalin
kembali. Seperti menambal anyaman robek. Kita seperti awal pertama
bertemu, meski hanya melalu WhatsApp. Ia tanya namaku,
kesibukanku dan pasanganku. Kujawab apa adanya. Dan akhirnya ia
mempunyai keberanian, ia membuka luka lama perihal “menunggu pukul
12” itu. Penantianku yang lama ucapan maaf darinya harus memakan
waktu hampir 5 tahun. Ia menyadari kesalahannya, ia dengan sengaja
tidak menemuiku, sengaja tak lagi menghubungiku dan hal-hal lain yang
tak bisa kumengerti-kuterima. Tapi apa daya, semua dengan mudah
kumaafkan. Toh kita sudah terpaut jarak yang jauh, mana mungkin
menyimpan dendam. Dan yang paling aku ingat alasannya adalah ia tidak
punya keberanian untuk menjadi kita. Setelah itu, aku masih ingat
pesan pertamanya dalam WhatsApp..
“Hay.. namamu siapa?”
Komentar