Aku dan Perempuan Itu (Part.2)
Masih
ingat perempuan penggemar filsafat ? Dan sekarang aku kehilangan dia.
Entah ia yang menjauh dariku atau memang segala pribadiku dan
ketampananku yang membuat ia jauh. Aku sampai sekarang masih
berfikir, mengernyitkan dahi dan bertanya-tanya. Bukankah Rene
Descartes menjadi filsuf besar karena setiap pagi ketika bangun ia
langsung berfikir dan memikirkan sesuatu. Alih-alih aku akan
menyamakan diriku dengan Descartes, tentu saja tidak. Jika demikian
aku sudah berbohong dua kali, pertama mengaku aku tampan dan kedua
berharap seperti Descartes. Tapi apa salahnya berharap, bukankah
hidup kita semua berjalan karena kita menuruti harapan meskipun kita
tahu bahwa itu semua belum tentu. Dan kita hanya melakukan itu dengan
motif “menghibur diri sendiri”
Baik,
perempuan itu kan? Aku juga berfikir kalian lebih tertarik kisahku
dengan perempuan itu daripada aku cuap-cuap hingga berbusa
membicarakan Descartes. Setidaknya itu sedikit melegakan, kalian
tidak berharap aku berbicara tentang filsafat, karena aku juga tak
pandai apa itu filsafat. Dari pertemuan pertamaku dengan perempuan
itu, aku sudah mendapati nama yang diberikan kedua orang tuanya.
Yapp.. tapi aku memilih untuk tetap tidak memberitahukannya, dan akan
aku simpan sendiri. Toh tak ada bedanya aku sebut namanya, nanti pada
akhirnya kalian akan menerka-nerka juga siapa perempuan yang aku
tulis ini. Itupun aku mendapati namanya bukan karena saling tanya,
bukan. Mudah saja, aku bertanya kepada temannya, haha. Tiba-tiba pada
sebuah pesan ia memanggil namaku. Panggilannya kala itu begitu sejuk
dan tulus. Karena ia memanggil namaku dengan tambahan embel-embel
yang lain, yaitu “mas”. Tentu kalian akan berfikir ia akan
memanggilku Say, Yank, atau
semacamnya. Alasannya sederhana, karena panggilan seperti itu terlalu
mainstream. Dan hal-hal yang mainstream biasanya tak bertahan lama.
Misal, temanku
dengan pacarnya sudah memanggil sedemikian rupa saja akhirnya kandas
dan saling bermusuhan. Tapi jangan berfikir aku menyimpulkan putusnya
mereka karena panggilan itu, jangan. Anggap saja itu contoh ngawur
dariku saja.
Aih..
Aku jadi melantur
kemana-mana, bukankah tadi aku bilang aku kehilangan perempuan
pecinta filsafat itu. Benar sekali, lebih tepatnya kita saling jauh.
Entahlah, aku merasa
kita tidak begitu akrab lagi, tak begitu intim dan segalanya
tentangnya menjadi hambar dan sudah
tak membuatku kasmaran. Aku memahami hal ini ketika pesan singkatku
dibalasnya dengan sangant singkat, sudah beruntung dua kata tapi ini
hanya dua huruf “Ya”. Aku mengira bukan karena kami sudah saling
bosan, tentu saja tidak. Kami masih punya segudang hal yang perlu
diperdebatkan terlebih tentang filsafat. Kau yang selalu sinis
melihatku bahwa aku penganut Sigmund Freud dengan orietasi seksnya
dan kau yang kuanggap terlalu sinis dengan
kaum marxisme tentang
masyarakat tanpa kelasnya dan aku selalu menyangkal bahwa kau belum
faham betul pemikiran dasar Karl Marx.
Tentu saja
bukan, bukan karena
bosan dan jenuh atau karena bulu di wajahku yang semakin banyak tentu
saja tidak. Meskipun acap kali bertemu kau selalu menyarankan untuk
berpakaian rapi dan memangkas bulu yang ada di wajahku. Suatu
waktu, tiba-tiba
ia membalas pesanku dengan sangat amat ultra singkat. Itu
tentunya beralasan. Ketika ia kutanya kenapa, ia malah meracau dengan
berkata “kau sendiri yang tahu jawabannya mas”. Wah wah beginilah
kalau bergaul dengan penyuka filsafat, ini semacam kotak pandora yang
harus segera dijawab segala teka-tekinya. Dan
seseorang tak perlu membantuku.
***
Apa
yang lebih melelahkan ketika mata kita terjaga hingga dini hari? Dan
mendapati mata terpejam ketika ada sayup-sayup suara adzan subuh
mulai menyiapkan sambutan kepada mentari untuk mulai bertugas.
Mungkin kalian akan berfikir aku akan tertidur pulas hingga adzan
dzuhur sudah selesai, ternyata tidak. Mungkin mataku terpejam hanya
sampai 2-3 jam paling lama. Akhir-akhir ini aku tak pernah bisa tidur
nyenyak. Dan aku lupa caranya menikmati tidur. Penyebabnya adalah
mimpi, pernah melihat film yang digadang-gadang bakal sukses seperti
Twilight, yaitu
Beautifull Creatures.
Apabila romatika dalam Twilight
antara manusia dan vampire, di Beautifull Creatures
mengkisahkan percintaan epik
antara manusia -seorang mortal- dan Caster -semacam penyihir-. Prolog
film itu sama persis apa yang selalu aku mimpikan. Mimpi yang selalu
mengusik kenyamananku. Dan ketika aku terbangun karena mimpi itu,
disaat itulah aku merasa mirip seperti Descartes, bangun tidur
kemudian berfikir lama.
“Berhari-hari
aku memimpikan hal yang sama, benar-benar sama. Aku tak pernah
melihatnya tapi aku merasa sangat begitu mengenalnya, seolah-olah.
Dan aku akan dipertemukannya, seorang perempuan yang sama sekali tak
pernah kulihat sebelumnya dalam dunia nyata”
Ia
begitu spesial menurutku, aku tak mengatakan ia cantik. Mungkin yang
tepat adalah sempurna. Setiap pagi aku selalu bertanya-tanya siapakah
perempuan yang muncul dan selalu mengganggu tidur nyenyakku.
Mungkin
inilah alasannya, inilah jawabannya. Perempuanku pecinta filsafat
mulai menjauhiku.
Atau tepatnya aku tak lagi terpaut dengannya. Ia merasakan kalau
pesanku candaanku dan komunikasi kita menjadi tak mesra lagi karena
ia menangkap ada sesuatu yang
dari diriku.
Suatu
hari“Aku sayang padamu”
jawabnya “Aku juga”.
Lalu
esoknya “Aku sayang padamu”
alihnya “Tidak untuk hari ini”. Ia
melihat ada sebuah kegelisahan yang tersirat dalam tiap-tiap untaian
kataku, disela-sela ketawaku dan terlebih ada hal yang tak genap pada
diriku. Sehingga hal inilah yang membuatnya
menjauh teratur dan seakan-akan
memberiku waktu untuk
berfikir, agar aku menemukan
apa yang aku cari. Dan sudah
aku putuskan, yaitu
perempuan yang ada dalam mimpiku
cari.
Sehari
dua hari mungkin tak terlihat aneh ketika kita meyakini sebuah mimpi.
Tapi ini terjadi padaku sebulan, dua bulan hingga bulan kelima sudah
berlalu aku masih saja meyakini setiap pagi. Aku akan bertemu
perempuan itu hari ini. Aku masih bergeming, mungkin teman-temanku
menganggap aku sudah gila, bahkan ada yang kasihan kepadaku.
Pendapatnya tentangku singkat “mungkin gara-gara lama
jomblo”. Aku tidak jomblo aku
hanya single, menunggu perempuan yang tepat. Yang tepat yang
bagaimana? Aku pun kebingungan sekarang mengartikan kata tepat.
Dulupun demikian, perempuan
yang cantik itu
yang suka filsafat. Tapi sekarang
nyatanya apa? Aku justru membiarkannya pergi dengan alasan yang bisa
dibilang tak masuk akal. Percaya mimpi. Tapi bukankah mimpi adalah
awal segalanya kita berbuat. Ya mimpi tak beda jauh dengan harapan,
kataku.
Aku
masih percaya dan meyakini betul, aku akan bertemu dengan perempuan
yang hadir disetiap tidur pagiku. Bahkan aku sudah mempersiapkan
segalanya ketika bertemu. Aku sedikit canggung pastinya, dan kita
akan membahas apa untuk pertama kalinya. Apakah kita akan membahas
kisah epik karangan Shakespeare Romeo-Juliet?
Atau yang sedikit islami, Layla-Majnun?
Atau yang ini saja, aku akan bercerita tentang kisah cinta yang
tenggelam di Antartika, Yupss betul sekali, kisah Jack dan Rose dalam
balutan sendu “titanic”.
Tapi
sepertinya itu tak akan berhasil, mungkin aku terlalu mendominasi.
Bagaimana kalau aku mendengarkan saja, ya cukup mendengarkan melihat
perempuan itu mengoceh dan bercerita, entah bercerita tentang kamar
kostnya yang kepalang menyebalkan atau tentang tugas kuliah yang
kepalang brengsek banyaknya. Ya mungkin itu yang akan aku lakukan.
Mendengar dan melihat alisnya naik turun serta sesekali simpul senyum
dari bibirnya mengembang, kemudian menyadarkan lamunanku “kamu
kok ngeliatin aku terus sih, malu jadinya. Kamu dong gantian yang
cerita”. Jika aku dapati
kesempatan itu, aku akan langsung berlutut menekuk satu kaki
kebelakang memohon dan menyodorkan satu bunga melati, kenapa tidak
mawar? Mudah, karena terlalu mainstream. Dan berkata “dan
aku ingin banyak bercerita. Aku mau cerita tentang aku yang akan
segera lulus, aku yang sudah punya rencana-rencana, dan tentang aku
yang ingin memintamu untuk menikah denganku”. Ahh..
jarang sekali lelaki romantis.
“coy..
coy.. ayo makan mie ayam yang super wareg biasanya”
ajakan temanku membuyarkan semua renacana awalku ketika bertemu
perempuan mimpiku itu. Dan ketika makan di warung mia ayam super
banyak itu, entah secara sengaja, salah satu pelayan di situ
memutarkan lagu yang akhirnya justru membuatku menghela nafas
panjang.. panjaang.. mungkin seharusnya sore itu aku tak mendengarkan
Payung Teduh..
*Ku
Cari Kamu
Kucari
kamu dalam setiap malam, dalam bayang masa suram.
Kucari
kamu dalam setiap langkah, dalam ragu yang membisu.
Kucari
kamu dalam setiap ruang, seperti aku yang menunggu kabar dari angin
malam.
Aku
cari kamu di setiap malam yang panjang.
Aku
cari kamu di setiap bayang kau tersenyum.
Kucari
kamu dalam setiap jejak, seperti aku yang menunggu kabar dari
matahari.
Komentar