Kecurigaan yang Seharusnya


Sepertinya aku memang banyak bicara. Banyak sekali, kadang-kadang sampai berbusa-busa ketika membahas sesuatu yang sangat menarik, mungkin. Tetapi sepertinya begitu. Setelah aku bertemu dengan Plato, tentu saja bertemu pemikirannya bukan orangnya membuat aku menjadi sedikit pendiam. Setidaknya berkuranglah sedikit intensitas keahlian banyak bicara ini. Plato pernah bertutur demikian “salah satu macam manusia yang patut dan perlu dicurigai adalah orang yang mahir serta pandai bermain dengan kata-kata”begitu tuturnya.

Jadi, apakah kita harus dan mengapa mencurigai seseorang yang banyak bicara, katakanlah membual. Sebut saja seorang politisi, kita memang dan patut untuk mencurigai setiap derik serta langkahnya. Meskipun dalam ajaran agama kita tidak diperbolehkan berprasangka buruk “su'udzon” tetapi bolehkan untuk sekedar waspada dan mengawasi. Dalam setiap kata,
setiap untaian mengandung makna dan obsesi dari yang disampaikan seorang politikus. Sekarang hal-hal seperti itu kita siapkan saja dan bentengi diri kita dengan teliti buat mereka. Pemilu 2014 sudah semakin dekat. Partai-partai sudah mulai melakukan gerakan-gerakan demi sebuah suara. Pencarian suara tersebut mengatasnamakan rakyat, negara, kesejahteraan bersama dan terkadang juga dogmatis agama. Tentu saja jargon ini kental di era reformasi “pilih partai bergambar ka'bah akan masuk syurga”. Entah memang kenapa muncul jargon seperti itu, tapi ini setidaknya mereka menggunakan legitimasi agama untuk meraup suara demi sebuah kekuasaan. Perebutan kekuasaan memang tidak ada yang tulus, tidak setulus ibu memberi asi kepada anaknya. Jadi ada bahaya serius setiap kata-kata keluar dari seseorang yang sedang berkampanye dengan janji-janji, bahkan janji itu hangatnya tak bisa lebih lama dari tai ayam. Dan sepertinya mereka tahu betul kebodohan-kebodohan masyarakat kita kemudian memanfaatkannya. Jika demikian kita sudah bebal dungu kemudian ditipu.

Selain politisi apalagi. Awalnya aku sedikit ragu membahas hal ini. Karena bagi masyarakat luas membicarakan tuhan, dogmatis agama adalah hal tabu. Tapi tenanglah, tak perlu mengerutkan dahi, karena aku takkan menjelaskan filsafat ketuhanan ataupun mengoceh tentang pandangan Bertrand Russel dalam bukunya “Bertuhan Tanpa Beragama”. Aku yakin sepenuhnya bahwa hampir semua dari kita pernah melihat dan mengetahui benda yang satu ini. Benda berukuran segi empat seperti plasma yang tak hidup tanpa listrik dan didalamnya ada semacam sebuah boneka, sebuah produk, sebuah candu. Kotak plasma itu kita kenal dengan sebutan Televisi. Nah, berbagai acara apapun pasti ada dan pernah masuk kotak ajaib itu. Tak terkecuali berkaitan dengan agama, wajar saja negara kita mewajibkan untuk beragama. Dan itu menjadi sesuatu yang sensitif di negara ini. Bahkan ada sekelompok golongan mengatasnamakan agama agar perbuatan kekerasannya dimaklumi. Padahal kekerasan apapun, dalam bentuk apapun dan dengan alasan apapun tetaplah sebuah kekerasan.

Aku mengambil fenomena dalam televisi itu adalah Ustadz. Bukankah ia termasuk apa yang dikatakan Plato diawal. Banyak bicara, mahir mengolah logika meskipun dengan pemahaman-pemahaman dangkal. Ilustrasinya begini, seorang merbot masjid yang rajin mencatat hal-hal yang dianggapnya penting dari berbagai Ustadz yang pernah mengisi di masjid tempat ia berada. Kemudian catatan-catatan itu ia sampaikan pada komunitas lain dan dipercaya betul. Bahkan merbot masjid itu sebelumnya tak memeriksa sumber ataupun dasarnya, atau relevansinya pada pendengarnya saat itu. Aku kira ini akan berakibat fatal pada pemahaman agama yang dangkal dan cenderung rasis diskriminatif kepada selain mereka. Kenapa rasis dan diskriminatif? Karena orang bergama dengan pemahaman yang dangkal akan merasa paling benar dan ia satu-satunya masuk surga. Bapakku pernah bilang, memahami agama tidak bisa berhenti pada satu pandangan dan satu perkataan kemudian meyakini itu kebenaran satu-satunya. Jika ada yang seperti itu, ia adalah sebebal dan sedungu manusia dalam beragama.

jama'ah.. ohh jama'ah.. alhamdu.. lillah” kalian semua tentu tahu acara berbasis agama tersebut. Setiap pagi ia akan muncul dan tentunya banyak sekali peminatnya. Memang seperti menjadi penyakit pada kita khususnya yang beragama (baca: Muslim). Kita semakin jauh dari masjid, pondok pesantren, kegiatan keagamaan yang ada dalam masyarakat dan minimnya kita berinteraksi dengan hal tersebut. Meminjam analogi dari Kuntowijoyo “muslim tanpa pesantren”. Kembali pada ustadz, sekarang dan dulu sudah mengalami perubahan makna. Bukankah dulu Ustadz dari bahasa arab artinya guru, guru yang mengajar dalam pesantren, mengajar kitab-kitab klasik yang jelas akan rujukannya dan tentu saja ia merupakan pribadi santun dan jauh dari hingar bingar kehidupan dunia. Ustadz adalah tenaga pengajar dalam pesantren yang membantu meringankan tugas sang Kyai, ustadz merupakan salah satu simbol kesederhanaan dalam Islam.

Tetapi beda dengan sekarang, masyarakt urban, masyarakat yang mana pemikirannya dibentuk oleh kotak plasma ajaib tadi. Ustadz bukanlah lagi pribadi yang santun dan alim, tapi ia merupakan sebuah profesi, sebuah kelas yang patut dan ingin dihormati serta dianggap. Masih ingat kejadian kemarin-kemarin ada Ustadz yang mengisi ceramah di luar negeri dan pendengarnya para Pahlawan Visa terlibat perselisihan perihal isi amplop (baca: Solmed). Selain itu, coba amati konten acara keagamaan dalam layar tv, ada semacam pendangkalan pemaham keagamaan, penyesatan. Aku perhatikan sejak kecil hingga sekarang ketika melihat acara tersebut pertanyaan-pertanyaan dari audiens di studio itu-itu saja. Aku curiga hal itu sudah diatur atau dapat dikatakan pertanyaannya memang sudah dipersiapkan dan Ustadz sudah menyiapkan jawaban dari hal tersebut. Mungkin untuk mengantisipasi agar tak melenceng dari tema ataupun menjaga kehormatan si Uztadz apabila sewaktu-waktu ada pertanyaan yang kepalang sulit dan butuh diskusi panjang. Aku yakin, mungkin juga salah satu dari ustadz di tivi itu (tentu saja selain KH Quraisy Shihab) untuk berdiskusi dengan mahasiswa filsafat UIN tak akan berani, jikapun berani hanya akan terlihat tolol dan bebal. Aku pernah menemukan sebuah tulisan tetapi lupa websitenya apa (memang sengaja lupa dan malas mengingat). Dalam tulisan itu ia membandingkan Jefry Buchory dengan Quraisy Shihab. Dan lebih lagi menjelekkan Quraisy Shihab. Aku tak pernah berfikir ada yang semacam itu, setidaknya membandingkan Quraisy Shihab dengan seorang ulama' yang juga punya karya tafsir Al-Qur'an. Jangan dengan Ustadz Seleb. Tak sebanding dan sangat jauh.

Dari politikus, Ustadz zaman sekarang, dan debat kusir yang terjadi di sekitar kita. Terutama yang bersinggungan dengan dunia pembelajaran akan banyak-banyak berdiskusi dan sesekali berdebat. Bukankah sudah aku katakan, menyatakan satu pandangan sebagai satu-satunya kebenaran terutama dalam memahami agama bukankah suatu kebebalan yang sungguh teramat melas. Kebanyakan dari kita, terutama yang beragama Islam memahami agamanya sendiri dari tulisan-tulisan di internet, menganut ustadz seleb, ada yang seleb ada yang menggunakan legitimasi sebagai muallaf dan mulai menjauh dari ulama-ulama yang memang dalam akan pemahaman agamanya.

Bukankah muallaf adalah kemurtadan yang dirayakan. Dan aku termasuk orang yang tak suka ketika seseorang berpindah agama, ia akan menjelek-jelekkan agama sebelumnya. Lalu pertanyaannya, agama untuk apa? Hanya sebatas menciptakan kemoralan? Atau kita beragama karena kita takut menghadapi kehidupan sesudah mati, sampai sekarang bukankah itu masih mistery. Dan aku patut curiga.

Dan yang lebih mengenaskan lagi, kita sholat tetapi seperti tidak sholat. Kita hanya sebatas melakukan ritual, membaca mantra dan rutin. Kecurigaanku kembali lagi, aku berani bertaruh. Masih sebagian besar muslim tak faham arti setiap bacaan dalam setiap sholatnya. Lalu apa bedanya dengan dukun membaca mantra turun-temurun dari leluhurnya dan yang pasti tak tahu artinya. Buat apa kita sholat? Kalau tidak faham maksudnya, hanya menjalankan kewajiban? Mati saja. Itu saranku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku, Pesta dan Cinta : mengenang kembali Soe Hok Gie

Syakal dan I'jam

Sejarah Fatayat NU "Cabang Jepara"