Cerpen - Kenapa Harus Menikah?
“Ini
terkesan tidak adil. Kau menikah dengan cinta.” kataku menyambut
kedatangannya.
Ia
tertawa. Terbahak malah. Sembari mengeluarkan sepucuk surat dari saku
jaketnya yang kelihatan kebesaran untuk tubuhn yang sedikit kurus.
Surat itu masih di tangannya, tapi aku sudah bisa melihat, dari
sampulnya. Adalah undangan pernikahan. Aku tersenyum kecut dalam
hati.
Dia
duduk di sampingku. Jauh-jauh ia menyempatkan mengunjungiku. Di tanah
rantauku. Tanah rantau yang sebenarnya akupun bingung. Aku tak tahu
apa yang harus kucapai di sini. Ia mulai melepaskan dirinya dari bak
raksasa yang memeluknya, jaketnya ia sandarkan di punggung kursi
tempat kami duduk.
Aku
sebenarnya sempat tak percaya ketika satu minggu yang lalu ia
menelponku. Memaksaku meminta alamat lengkap keberadaanku. Aku paling
tak bisa jika dipaksa. Aku berikan saja.
“aku ingin berbagi kabar gembira kawan” begitu suaranya yang keluar dari handphoneku.
“aku ingin berbagi kabar gembira kawan” begitu suaranya yang keluar dari handphoneku.
“tidak
bisa kau tulis saja lewat surel atau pos mungkin. Kau masih rajin
menulis kan?” gelagatku mencoba menolak.
“enggak
bisa bro.. sms segera alamatmu. Atau dimana harus kita ketemu. Kalau
tidak aku akan selalu gentayangan menelponmu tengah malam begini. Aku
tahu saat itu kau tak mau diganggu” dilanjutnya dengan tertawa.
Kemudian mengucapkan salam lalu ia matikan teleponnya. Brengsek. Aku
sebenarnya lagi malas bertemu orang. Apalagi kawan lama. Tapi mau
gimana lagi. Baiklah, ia ku ajak hari ini bertemu di taman. Karena
kamar kosku seperti gudang kapal yang manahun tak pernah dirapikan
awaknya.
Aku
mengambil rokok di saku. Menyalakannya satu. Kemudian menawarinya, ia
menolak dengan menggelengkan kepala dan tangannya mengibaskan tepat
di depan mulutnya. Kecewa pikirku. Aku harus merokok sendirian,
padahal dulu pas kuliah kita rela mengais-ngais rokok di jalan. Tak
apalah. Aku menikmati rokok sendiri. Aku tak membuka percakapan. Aku
meliriknya, ia kelelahan. Ku panggil penjual minuman di taman. Ia
mengambil lalu menenggak minuman. Setelah aku menyelipkan kembali
dompet ke saku dan duduk di sampingnya, ia membuka percakapan.
“bagaimana
kabarmu?”
“baik”
jawabku singkat. Pikirku, ini adalah pertanyaan paling omongkosong.
Menanyakan kabar. Aku harus jawab bagaimana selain kata baik. Apa aku
harus bilang, aku sedang hilang arah. Tentu saja tidak,
“sibuk
apa sekarang?”. Benar dugaanku. Pertanyaan basa-basi selanjutnya
muncul. Kali ini aku tak mau menjawab. Aku tak habis pikir.
Persahabatan kita dulu begitu dekat. Kenapa harus kikuk memulai
percakapan hangat. Aku yang salah atau dia yang tidak tahu. Kita
kenal, dekat sudah sangat lama. Dan yang memisahkan kita hanyalah
pilihan. Ia lulus tepat waktu. Aku molor dua tahun skripsiku. Ia
langsung kerja di perusahaan besar ibu kota. Sedangkan aku memilih
jalan sendiri. Malas bekerja. Hanya sibuk nulis cerita dan menjadi
wartawan freelance di sebuah surat kabar kota kecil. Pun gajinya tak
bisa diandalkan.
Aku
tak tahan, lalu ku ambil alih alur percakapan ini. “dapat orang
mana?” aku mencoba nyengir. “aku tebak pasti bukan pacarmu, adik
kelas yang cintanya keterlaluan sampai aku jijik membaca smsnya.”
ia menyunggingkan bibirnya sedikit. “anjing, aku salah. Kalian
benar hebat, bisa menahun pacaran dan akhirnya menikah.” aku sok
merutuki kejadian itu. Batinku, konyol saja. Ada hubungan yang
menahun setelah lulus tak ketemu dan akhirnya memilih menikah. Aku
masih tak percaya. Lalu aku mencerca tanda memberontak.
“bukankah
kau dulu bilang, itu perempuan manjanya minta ampun. Super cerewet
melebihi emak-emak penjual pecel depan supermarket. Ia bahkan tak
tahu buku-buku bagus. Pokoknya kau bilang tak akan pernah bertahan
lama dengannya.” aku menunggu sanggahannya. Ia justru tertawa dan
tersenyum. Kali ini ia memandangku dan sedikit memberi jarak
duduknya.
“sekarang
kau harus bisa membedakan. Mana yang cinta dan mana yang selera.
Jangan kau padu padankan” akhirnya ia meraih rokokku yang
tergeletak di kursi, di antara kami. Menyalakannya. Sedikit tersedak
awalnya. Benar memang, ia sudah lama tak merokok. Tafsirku. Kemudian
dia sedikit merebahkan tubuhnya di sandaran kursi. Kepalanya
mendongak ke atas sembari sesekali menghisap rokok di tangan. Aku
masih belum menimpalinya. Ia melanjutkan racauannya.
“aku
kira kau sudah berubah. Bayanganku tadi di kereta, kau membawa
perempuamu. Kau kenalkan aku ke dia. Setidaknya, ada yang menemanimu
di kota kecil ini. Perempuan impianmu. Yang sesuai dengan
angan-anganmu. Perempuan yang tatap matanya mampu meneduhkan hatimu.
Seseorang yang takkan bisa membuatmu bosan untuk kau cintai setiap
hari. Karena seperti katamu, menikah adalah bagaimana kita bisa
mencintai orang yang sama setiap harinya.” ia menarik nafas dalam.
Aku hanya tersenyum kecut. “jadi kau masih bertahan dengan
perempuan imanjinermu?” sialan. Rokokku habis, aku tak tahu harus
bertingkah bagaimana. Aku menyalakan lagi.
“tapi
bukankah kebosanan sesuatu yang pasti.” aku mencoba menyerang
balik.
“maksudmu?”
sembari ia mencoba membenarkan posisi duduknya.
“kau
akan menikah kawan. Dia akan menjadi teman seumur waktumu. Kau bangun
sudah ketemu dia. Kau akan tidur, bahkan bermain seks pun hanya
dengan dia.” dia tak berusaha menjawab, tapi memotong.
“kau
masih takut berkomitmen?” sekarang matanya menatapku, tajam.
Aku
tertawa, “komitmen ?” lanjutku, “komitmen bagiku hanyalah omong
kosong, hubungan, cinta, titik tekannya bukan di komitmen.”
“lalu
apa?” sergapnya.
Aku
mencoba menjelaskan, “komitmen hanya sebuah belenggu. Bak tali
pengekang di leher kambing. Buat apa berkomitmen, namun pasangan kita
kurang bahagia.” ia terdiam. Ku hisap rokokku beberapa kali, “
karena bagiku, komitmen saja tidak cukup. Aku masih saja selalu ragu
dengan pacar-pacarku selama ini. Apa benar aku bisa membuatnya
bahagia. Toh selama ini kesimpulanku, percintaan kami karena dasar
kenyamanan dan seks belaka. Selebihnya tidak.” ia masih belum bisa
menanggapiku.
“kau
yakin bisa membahagiannya?” tanyaku lagi. Ia masih terdiam. “aku
tak yakin, jargon selama ini -menerima pasangan apa adanya- hanyalah
omongkosong belaka. Bullshit.
Menerima apa adanya adalah keadaan yang menyiksa. Keadaan yang
dipaksaan dan mengatasnamakan bahwa cinta itu menerima, cinta itu
mengerti, cinta itu memahami, dan cinta itu adalah omong kosong.”
ia diam. Matanya menerawang jauh.
“apa
kau yakin boy, bisa membahagiakan dia dan kau juga pasti bisa
dibuatnya bahagia ? Pilihannya cuma dua, menikah itu membuatmu paling
bahagia, atau paling sengsara. Tidak untuk tengah-tengah. Pilihannya
dua itu atau tidak sama sekali.”
Kali ini ia beranjak.
Memberikan undangan pernikahannya kepadaku. Diseret jaketnya yang
kebesaran itu sembari mengatakan “kalau aku salah, kau adalah orang
pertama yang kuberi tahu.” ia pergi. Aku tak mencoba menahannya
untuk menginap. Mataku mengikuti hingga ia hilang di sebuah belokan.
Komentar