Catatan Perjalanan #2


Kita sama-sama tahu, sama-sama penyuka hujan.
Tapi terkadang kau sebal, karena hujan membuat jemuranmu tak kunjung kering.
Bukankah hujan adalah cara langit menuliskan puisi untuk bumi.
Begitu juga denganku, berapa lembar puisi waguku yang kau terima sayang. Kau masih ingat ketika ulang tahunmu tahun lalu. Itu yang terpanjang yang kutulis untukmu. Kau bilang ingin menangis membaca itu. Jangan menangis sayang. Aku tak ingin membuatmu setitikpun menetaskan air mata. Air mata jangan terlalu murah, kita sudah sepakati itu.

Berbicara tentang hujan, kotamu baru saja di guyur hujan. Deras sekali. Pantas saja, selepas maghrib udara begitu panas. Aku kira gegara siang tadi yang kepalang panas. Ternyata tidak. Adalah sebagai tanda segera hujan. Aku tak sempat meliongok langit. Aku sedang malas mendongak memang.

Deras sekali. Cukup lama. Hujan berhasil mengurungku. Aku tak bisa kemana-mana. Toh aku juga bingung akan kemana. Syukurlah hujan. Panas tak lagi berkuasa atas udara kotamu sayang. Aku meirngkuk. Sedikit dingin memang. Aku duduk ditepian teras sembari menjulurkan satu tanganku keluar. Tetesan air di kulit tanganku seolah menuliskan sesuatu. Ya, benar saja. Hujan itu telah menulis sebuah nama. Namamu sayang yang ditulis oleh hujan. Seiring itu hujan juga mengingatkan kembali tentangmu.


Brengsek sekali ini hujan. Mampu mengingatkan tentang pertama kali kita pergi ke satu tempat. Daerah pegunungan yang sejuk. Di mana kita saling duduk bersama. Benar-benar bersama. Tak lewat telepon ataupun sms. Meskipun kita tak sengaja jalan bersama. Kita saat itu sedang dalam misi. Yaitu kedua teman kita sedang bercumbu asmara. Terpaksa kita satu sama lain mengantar. Temanku dengan temanmu, dan tentu saja aku harus jalan berdua denganmu. Itu kali pertama kita berjalan bersama. Meskipun hampir selalu setiap hari kita bertemu di kampus tapi jarang mengobrol lama. Tidak di hari itu.

Kala itu sedang gerimis. Kita terpaksa meneduh di atap berbentuk jamur. Sehingga tempatnya tak begitu luas. Saat itulah kau duduk benar-benar dekat denganku. Setelah mengobrol lama. Tiba-tiba kau berdiri dan menjulurkan tanganmu ke bawah tetesan air hujan. Persis yang sedang aku lakukan sekarang. Ah, kenapa di saat-saat seperti ini aku sangat merindumu. Kesinilah sayang, duduk disampingku. Berceritalah seperti kala itu. Aku akan benar-benar mendengarkanmu. Takkan ada satu kata yang keluar dari mulutmu yang tak kudengarkan. Pasti aku mendengarkan sembari memandangmu. Takkan pernah jemu.

Hujan tak kunjung berhenti sayang. Akupun tak berharap demikian. Aku berharap sepanjang malam, hingga pagi hujan turun mengurungku. Karena hujan cukup berhasil menghadirkanmu di sampingku. Katamu sayang, hujan mampu membuat pikiran jadi jernih. Benar sayang, pikiranku jernih karena selalu teringat denganmu.

Aku jadi berfikir untuk berlarian di bawah guyuran hujan. Berlarian. Bermain air. Aku tak pernah membenci hujan. Sekalipun hujan pernah membuat kuyub kita. Setelah kita pulang dari menengok candi di atas bukit. Hujan pun memaksa kita meneduh di gubuk pinggir jalan. Kau bilang saat itu sangat lelah dan mengantuk. Kau benamkan kepalamu di pangkuanku. Saat itulah aku merasa bisa benar-benar menjagamu. Kau tertidur. Kau tahu apa do'aku saat itu sayang. Aku ingin waktu itu berhenti lama. Sehingga aku bisa menjagamu. Tapi itu tak mungkin. Suatu saat, di waktu yang ditentukan, aku akan benar menjagamu. Dan kita saling menjaga dan menguatkan satu sama lain.

Apakah kau akan marah sayang? Jika hujan kali ini aku terjang. Aku akan berlarian di bawah guyurannya. Hingga terang. Hingga lelah. Hingga aku merasa kedinginan. Dan seketika setelah itu bilang padamu aku terkena flu dan demam, kau akan mengomel dan marah-marah. Dan saat itulah ku yakin kau bertambah cantik. Aku tak pernah merasa marah ketika kau marah. Berarti kau sayang benar padaku.

Oh hujan. Sampaikan salamku padanya. Dan aku ingin minta dukunganmu juga. Katakan pada Tuhan. Bahwa aku juga layak mendapatkan orang dari kota yang sedang kau guyur ini. Terimakasih teruntuk hujan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku, Pesta dan Cinta : mengenang kembali Soe Hok Gie

Syakal dan I'jam

Sejarah Fatayat NU "Cabang Jepara"