Catatan Perjalanan #1


Panas sekali sayang...
Kau tahu arti panas sesungguhnya sayang? Adalah ketika kau malah berjalan menghabiskan hari dengan lelaki lain sedangkan aku tercenung sendiri, membayangkan dirimu disampingku.

Ah, hari ini benar-benar panas. Kau tentu setuju denganku. Apalagi kulitmu sedikit sensitif, panas sedikit saja sudah memeras, keluhmu. Tapi sayangnya aku di sini sendiri. Tak ada dirimu. Panas yang kurasakan di kota ini sangatlah menyengat. Lengkap sudah penderitaanku.

Kota ini adalah kota kelahiranmu sayang. Namun, sayang sekali kau justru tak sedang menghuni kota ini. Kota yang super panas. Cenderung sepi. Pengguna jalannya terkesan beringas, terutama perlakuan pengendara motor kepada pejalan kaki. Tak jarang aku hampir saja diseruduk pengguna motor yang tak sedikitpun meberikan rasa iba bagi penyebrang jalan. Aku tak begitu ambil pusing. Tapi perlakuan yang sama juga untuk bapak-bapak tua yang akan menyebrang. Hampir saja aku berantam dengan pengendara sepeda motor. Untungnya masih niat saja. Toh bapak-bapak tadi tak terluka sedikitpun. Lagipula aku juga tak begitu berniat memiliki masalah dengan orang sini. Aku sadar, aku hanya seorang pejalan.


Tapi, di sini memang panas. Ah, kenapa aku selalu mengeluhkan panas, begitu pasti ceracaumu. Tenang sayang, aku takkan sekalipun mengeluh kepadamu. Aku sedang berbicara sendiri. Berbicara dengan kesendirian. Betapa hebatnya aku, bisa bicara sendiri.

Matahari tepat menyeringai di atas ubun-ubunku. Brengsek juga dia, malah tertawa cekikak-cekikik tak kunjung menyingsing ke barat. Ke peraduan. Memanasi sisi bumi yang lain. Tapi semakin memarahi matahari akan semakin garang pula ia memacarkan panasnya. Strategiku selanjutnya adalah menyerah. Tak ada gunanyan juga. Matahari panaslah sepanas-panasnya. Teriakku sendiri.

Matahari begitu panas. Pengguna jalan tak begitu ramah. Lengkap sudah memang hariku ini di kotamu sayang. Oh, akhirnya datang juga masalah selanjutnya. Lapar adalah masalah yang paling aku hindari. Masalah apapun di setiap perjalanan akan senantiasa aku siasati sebisa mungkin. Akan kuhadapi dengan dada tegah kepala tengadah dan terkesan pongah. Tapi tidak untuk yang satu ini. Lapar adalah bahaya laten yang harus segera di lawan. Tidak bisa tidak. Harus. Kau tahu sayang siapa itu Knut Hamsun? Ia bahkan mampu menciptakan karya yang luar biasa ketika ia sedang lapar. Judulnya pun singkat “Lapar”,

Aku lapar. Lapar sangat. Ah, aku sedikit menyesali kenapa ia datang di saat yang tidak tepat. Di saat matahari benar-benar panas. Mungkin karena banyak keringat yang melumuri badan dan keningku. Sehingga perut butuh lagi dipasok. Padahal, baru selang empat jam perut ini sudah aku kasih energi yang cukup. Adalah kopi sachet dan sebatang rokok. Cukup tiga ribu rupiah. Karena melihat isi dompet sudah aku atur sedemikian rupa agar sampai di awal bulan depan. Jatah makan nasi dan sayur seharusnya masih nanti sore, seharga empat ribu, ditambah satu tempe goreng. Minum air putih. Sudah bersyukur hari ini bisa menyerutup kopi dan menghisap rokok. Biasanya tak pernah. Karena jika merokok dan minum kopi dipastikan satu hari entah yang akan datang tidak ada uang untuk makan.

Cacing semakin berteriak mengerang di perut. Aku belingsatan menggelinjangkan perut. Berharap ada sisa-sisa makanan diperut yang luput digiling oleh cacing. Mungkin. Tapi sepertinya sia-sia saja. Aku berfikir keras. Ah, tapi lapar sedikit mengganggu kinerja otakku yang cemerlang. Aku gagal. Aku susuri jalan kota. Masih saja panas. Motor masih saja kencan seperti biasanya. Aku tak mengaharapkan bantuan siapapun, ini akan aku hadapi sendiri. Aku masih saja berjalan. Dengan sisa kekuatan yang masih dimiliki kaki yang kuat. Sedikit pusing memang. Sempoyongan.

Jalan keluar akhirnya muncul juga. Tuhan sepertinya tidak tega melihat satu mahluknya yang biasanya kurang ajar terkulai dan mati. Sudut jalan, ada sebuah masjid besar. Besar sekali. Sepertinya masjid kota. Ada menaranya menjulang tinggi. Bertingkat. Luas sekali halamannya. Ada kolam di tengahnya dan masih dilapisi debu bekas letusan gunung beberapa saat yang lalu. Di kedua sayang masjid ada semacam bangunan berbentuk kerucut, ternyata tempat wudhu. Nah, itu tempat yang paling aku cari sedari tadi. Sepatu aku lepas. Jaket, tas yang besar aku tanggalkan di salah satu sudut masjid. Segera saja meluncur ke tempat wudhu. Sedetik kemudian kubenamkan kepalaku di bawah kran guyuran air yang begitu segar. Lumayan lama. Bajuku sedikit basah. Lalu aku minum seperlunya untuk sedikit menghibur cacing di perutku yang belingsatan.

Aku kembali ke sudut tempat di mana barang-barangku aku tanggalkan. Aku paksakan tidur. Barang kali bisa juga membuat cacing tertidur. Melihat sekeliling juga banyak pejalan yang tidur kelelahan di bawah terik panas kotamu sayang. Berhasil. Aku tertidur.

Dan adzan ashar bertalu. Aku terpaksa bangun. Aku ikut sholat juga. Selesai sholat selang beberapa menit, masih juga dengan keadaan sama: lapar, tiba-tiba ada seorang perempuan menepuk pundakku. Ketika itu aku memang terlihat khusyuk. Kaki bersila kepala menunduk tangan maringkuk. Seolah-olah sedang berdo'a. Padahal aku sedang menahan perutku agar tidak lapar. Seorang perempuan separuh baya menjulurkan sebungkus plastik hitam. Sembari berkata, cucuku lahir tadi siang jadi ini ada syukuran kecil-kecil. Aku tak sempat tersenyum. Aku terima saja. Yang paling bisa kulakukan saat itu hanya mengganggukkan kepala sedikit. Brengsek. Aku sampai lupa berterima kasih gegara teramat lapar. Aku sedikit berteriak. Ibu tadi berpaling dan hanya tersenyum. Akhirnya, aku makan sayang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku, Pesta dan Cinta : mengenang kembali Soe Hok Gie

Syakal dan I'jam

Sejarah Fatayat NU "Cabang Jepara"