Bukan Menjadi Kita
Barangkali
ada, satu dua hal atau mungkin banyak, dimana tuhan pun malas untuk
memperjuangkannya apalagi mengabulkannya. Diantaranya adalah ketika
ada dua manusia yang tak mungkin ditakdirkan bersama. Kamu tahu itu
siapa. Itu kamu dan aku.
Kamu
dengan segala hal yang menjelma keindahan dan aku dengan apapun
macamnya yang terkesan remeh dan tak jelas. Karena itu, kita yang
mungkin berjalan dan menghabiskan waktu bersama menghabiskan
sisa-sisa umur kita. Kita berdua mengerti betul tentang itu.
Tapi
apa yang sebenarnya kita takutkan. Aku yang cenderung memaksa tuhan
untuk menyatukan kita dan kamu dengan segala prilaku realistismu,
bahwa kita tak mungkin bersatu, merupakan dua hal yang berbeda dengan
ketakutan. Entah di antara kita siapa yang paling takut.
Jangan
menyalahkan diri. Diantara kita, benar kataku, tak ada yang bersalah.
Mungkin kita hanyalah satu di antara banyak orang yang salah dalam
memilih. Kau yang terlanjur salah memilih satu dari jutaan lelaki
yang harapannya bisa kau cintai, namun ternyata tidak. Dan aku
tetaplah manusia yang tak pernah salah dalam hal ini. Karena
pemahamanku, salah tidak ada ketika kita memutuskan memilih. Hanya
ada tepat dan tidak tepat. Dan aku yang selalu meleset dan tak tepat,
juga kamu.
Kau
yang selalu tepat untukku, dan aku yang menjelma menjadi sebuah
ketidakpastian untukmu. Kau selalu bilang, hidup ini hanyalah ada
satu jalan, realistis. Sedangkan kamu mengerti benar siapa diriku.
Aku memang bukanlah manusia yang lebih suka bermimpi dan
berimajinasi. Tapi penting bagiku bahwa idealisme kehidupan harus
tercipta selagi mampu. Dan di titik terakhir itulah kau bilang aku
tidak realistis.
Kau
yang segalanya bernama kepastian. Sedangkan aku selalu menjadi
pengulur waktu, penambah jarak dan pembuat jeda dalam sebuah
kepastian. Pun dengan keyakinan. Hal-hal yang selalu kamu sepakati
dalam menjalani hidup, selalu saja sanggahan justru keluar dariku.
Kamu yang tercipta untuk hidup sebagaimana mestinya sedangkan aku
harus membuka peta dan memilih jalan mana yang harus ditempuh. Aku
yang belum berjalan selangkah pun.
Tapi
bukankah tuhan sendiri yang mencipta jalan yang bermacam itu. Ketika
aku berbilang demikian. Kamu dengan sinisnya akan mengata diriku
“lagi-lagi menyalahkan tuhan.” Aku tak pernah menyalahkan tuhan,
bukankah tuhan akan lebih merasa ada jika mahluknya lebih
menantangnya.
Baiklah
sayang, ijinkan aku memanggilmu begitu. Lebih mudah rasanya. Lebih
berirama dan romantika cumbunya lebih mengena. Meski kamu selalu
mengangkat mata memandangku tanda kamu tak setuju. Begitulah dirimu.
Yang selalu sayang diriku, meski tak cinta. Dulu.
Kamu
selalu menyalahkan hatimu. Kenapa harus ada cinta? Gusarmu. Tidakkah
di antara kita tak perlu ada cinta, cukup saling menjaga dan
memiliki. Entahlah, aku selalu tak bisa menjawab. Dan dadaku sesak
setiap kali kamu bilang “aku belum bisa mencintaimu.”
Pun
demikian dengan diriku. Persetan dengan cinta. Asal kamu peduli akan
keberadaanku, rasa-rasanya itu sudah cukup. Dan kamu bersedia
bersungguh-sungguh akan hubungan kita selama ini, itu terlampau lebih
menurutku.
Kita
sama-sama sepakat, cinta bukanlah dimana kita pada akhir hari
memutuskan untuk berciuman panjang setelah seharian menghabiskan
waktu dengan bergandeng tangan. Engkau yang tak pernah menolak untuk
sekedar menemaniku tidur dan begitu seterusnya berulang. Tak ada
cinta diantara kita.
Tapi
kamu adalah orang yang dipisahkan dariku gegara tak ada cinta darimu.
Sedangkan aku adalah manusia yang tak membutuhkan dan tak
mempermasalahkan cinta atau tidak asal kamu menjadi satu bagian dalam
hidupku. Aku yang mati dalam pengharapanku sendiri.
Komentar