Cerpen - Tanah Kami
Ini
tanah kami, yang menghidupi kami selama ini. Diambil secara paksa
meski menukar tetap saja seperti sebuah kejahatan bagi kami. Ingat,
nenek moyang kami bukanlah seorang pelaut seperti lagu tempo dulu,
tapi seorang petani. Negara ini, pun kepualauan, bagi kami bukanlah
negara maritim tapi agraris. Jangan ambil tanah kami lagi.
***
Kurang
lebih memakan waktu tiga jam perjalanan dari pusat Kota Yogya menuju
ke barat, menyusuri sepanjang pesisir pantai selatan. Menggunakan
bis yang lebih cocok dipamerkan di museum daripada harus mengangkut
orang-orang. Sekejap setelah menikmati jalanan yang mulus dan lebar,
Jalan Daendeles seperti proyek yang dengan sengajanya tak
diselesaikan. Menahun melewati jalan itu, yang dari pusat kota begitu
mulus ketika mendekati perbatasan hingga sampai kampung kami hanyalah
bebatuan besar yang tertata tak rapi. Mengguncang perut. Selain itu,
bis yang tak layak pakai dan satu-satunya penganggkut kami
sehari-sehari menuju kota jalannya begitu lambat dan buruk dalamnya.
Pun bis tersebut tidak sampai di kampung kami. Masih ada jarak
sepuluh kilometer dilalu dengan bersepeda. Barulah sampai di halaman
kami, rumah kami. Segala hal yang bernama keelokan, kenyamanan dan
keasrian khas pedesaan ada di kampung ini.
Sepanjang
perjalanan yang mengguncang perut ini terlihat jelas betapa beda
antara kota dan desa. Kota tak perlu merasakan sakit perut dalam
berpergian. Tapi bagi kami tiada masalah, toh tak semua jalan buruk,
bisa dipilah-pilah. Begitu juga hidup, hidup adalah persoalan
bagaimana memilah hal-hal dari yang temeh sekalipun. Ketika
bangunan-bangunan yang menjajakan segala macam sudah hilang, itu
pertanda akan segera sampai di kampung kami. Pemandangan selanjutnya
adalah hamparan sawah yang begitu luas, sesekali melewati sungai
besar dan melihat pantai lepas. Dan perjalanan ini kami lewati hampir
saban hari, kecuali aku. Aku hanya melewati tempat ini sebulan sekali
menjenguk orangtua (dengan maksud lain juga). Sedangkan kami, selain
aku, setiap hari akan melewati jalan yang tak ramah dengan pantat ini
bolak-balik pulang-pergi.
Ya,
para petani yang ingin mendapat untung lebih banyak rela sedikit
berpayah-payah ke kota menyetor hasil sayuran langsung ke pasar induk
Giwangan atau Godean. Mereka selama ini sudah ditipu tengkulak dengan
membeli hasil taninya dengan harga sangat tidak manusiawi. Perlu
diketahui, jika di televisi mengabarkan harga cabe, sayur-mayur mahal
di pasaran itu memang benar adanya. Tapi yang mahal hanya ada di
pasar, bukan di petani yang menanam. Itu hanyalah ulah tengkulak,
beras mahal di televisi tapi tidak di tempat kami. Selama ini harga
masih segitu-gitu saja, jika naik pun sangat irit. Untuk mengatasi
kejahatan tengkulak, para petani berkelompok lalu mengumpulkan hasil
tani mereka. Dipilihlah di antara mereka yang mahir bernegosiasi,
terpercaya dan faham benar seluk beluk kota. Maka dipilihlah ia
membawa tugas kemanusiaan, yaitu mengatasnamakan keadilan dan
kejujuran.
Para
utusan-utusan dari tiap kelompok tani inilah yang selalu saja
bersamaan dengan kepulanganku, yang durasinya hanya satu bulan
sekali. Aku memang bagian dari mereka, tapi bukan mereka. Bapakku
adalah salah satu dari petani tersebut. Tapi aku merantau ke kota
bukan untuk membuka lapak dan jualan sayur atau melihat potensi pasar
yang bagus untuk diberi pasokan dari kami. Tentu saja bukan. Aku ke
kota untuk belajar, begitulah niat awalku. Menjadi mahasiswa dari
anak seorang petani tidaklah begitu susah. Biaya hidup yang tidak
begitu mahal dan kesempatan beasiswa yang banyak cukuplah memacu diri
untuk menjalaninya sebaik mungkin. Mana mungkin aku menyia-nyiakan
keringat yang diperas bapak. Toh apa guna, aku harus pulang sebulan
sekali, itu semua bapak yang minta. Selain memberi uang saku, aku
juga tetap harus bertani, mengambil sayuran saban pagi dan
mengantarnya ke terminal kecil di dekat pas. Untuk mengantar sayuran
dua keranjang tersebut sampai pangkalan bis ditempuh selama setengah
jam bersepeda onthel dan jalannya jangan dibayangkan seperti mulusnya
jalan solo-yogya. Bapakku tidak menggunakan jasa perbankan, jadi
rekening hanyalah sekelumit hal yang tak perlu baginya. Jadi sebulan
sekali aku pulang pada masa-masa awal kuliah.
Pada
kepulanganku kelima, kok mirip seperti puisinya Irwan Bajang. Ya, ini
tepatnya semester kelima dari kuliahku. Semenjak semakin sibuk dengan
pergerakan dan kampus aku jarang pulang memang. Turun dari bis aku
mengambil sepeda yang ada dititipan seperti biasa. Setelah mengayuh
menyusuri jalan pedesaan ada pemandangan lain, tidak seperti
biasanya. Ladang-ladang tidak lagi rata tertanam seperti biasanya.
Dari ujung ke ujung biasanya tertata rapi dari padi, kacang, jagung,
cabe hingga pare dan terong yang menjelam menjadi sebuah harmoni
melodi nan syahdu. Tapi kali ini tidak, seolah ada beberapa petani
yang tak lagi semangat bercocok tanam, bukankah mereka sejak lahir
sudah menjadi petani, seharusnya sawah, cangkul dan peralatan lainnya
sudah menjadi makanan sehari-hari, gumamku. Dan di tengah-tengah
sawah kami ada semacam tugu kecil penanda berwarna kuning. Aku tak
bisa melihat lambang yang tertera di tugu tersebut. Perkiraanku itu
lambang dari dinas pemerintahan, sepertinya iya, aku yakin begitu.
Lalu bergegaslah aku kayuh sepeda menerjang jalanan yang lebih mirip
tumpukan batu ditata ini ke rumah.
“assalamu'alaikum”
Nafasku masih terengah sedikit memburu, mataku menjelajah seisi rumah
tapi kosong melompong tak ada manusia satupun.
“wa'alaikumsalaaaaaam”
sesaat kemudian terdengar jawaban lantang. Aku cari sumbernya suara
itu berasal, belakang rumah. Aku menuju di sana, ada bapak yang sibuk
dengan sapinya dan ibuku tercinta sedang duduk mengupas kacang tanah
dibawah teduhnya pohon mlinjo. Tangan mereka aku buru, cium tangan
sebuah keharusan, karena bagi kami orang desa cium pipi terlalu
berlebihan. Cium tangan cukup.
“karaku
ora bali, miki padahal ditakokna wa'ne pas ngeneh (ibu
kira tidak pulang, kebetulan memang tadi paman menanyakanmu) mumpung
ada kacang, nanti ibu buatkan sambal kacang kesukaanmu” sahut ibu
membuka perbincangan dengan anaknya yang sudah hampir setengah tahun
tak ditemuinya. Ibu mengerti betul, aku kangen sekali dengan sambal
kacang kesukaanku, lebih tepatnya sambal kacang buatan ibuku sendiri,
satu-satunya paling enak yang lain biasa saja.
Aku
sampai lupa ada yang mengganggu pikiran sejak dari tadi. Lalu aku
mendekati bapak yang sedang membersihkan kandang sapi.
“pak
deneng sawahe siki ana patoke? Anu ngapa sih jan-jane?” (Bapak,
kenapa sekarang sawahnya ada patoknya? Kenapa?) setelah nafasku
keluar setelah kata terakhir, bapak menoleh kepadaku. Alat pembersih
yang sedari tadi dipegang bapak disandarkan di samping lalu
mengajakku duduk di lincak sebelah ibu tadi. Bapak menarik nafas
panjang kemudian bertutur.
“Kepriwe
kabarmu siki? Kayane wis bisa golet duit dewek dadi jarang bali,
padahal pas bali arep takkon angon golet pakan sapi kana” Aku
hanya tertawa kecil tidak menjawab pertanyaan bapak. Aku diam. Bapak
seolah faham, itu bukan kata-kata yang diharapkan anaknya. Anaknya
masih bertanya dalam diam.
Lalu
bapak melanjutkan.“jadi begini, patok kuning itu yang memasang
pemerintah. Beberapa bulan kemarin ada banyak orang memakai
baju kuning setelan panjang helm putih. Sepertinya bukan orang sini,
orang dari pusat, kata tetangga. Mereka katanya sudah izin Pak Kades
juga. Mereka membawa alat seperti meteran, mengukur dari ujung ke
ujung. Setelah itu mereka pulang, kira-kira
selang satu bulan setelahnya para petani yang memilik sawah di
samping jalan utama dipanggil Pak Kades ke balai desa. Pak Kades
bilang, Indonesia sedang bagus-bagusnya dalam pembangunan, baik
pembangunan gedung dan jalan-jalan. Nah, kebetulan desa kita akan
menjadi salah satu daerah yang dilewati jalur pantesel (pantai
selatan). Makanya kemarin ada yang mengukur jalan itu tanda proyek
sudah dimulai dan disetujui dari pusat. Tentu saja pernyataan
Pak Kades itu
banyak menuai penolakan, protes
dan sebagainya. Ada yang beralasan itu sawah satu-satunya yang sudah
diwasiatkan turun temurun dan pantang
untuk dijual.
Berbeda dengan bapak, alau
bapak menyayangkan saja, sebagian besar pendapatan keluarga kita dari
sawah yang akan digusur itu. Dari sawah itulah bapak bisa
menyekolahkanmu, adikmu, dan sebentar lagi menikahkan kakakmu. Karena
sawah itu tanahnya subur sekali. Berbeda dengan sawah bapak lain yang
didekat pantai, hanya bisa ditanami pohon kelapa. Selain
itu, kemarahan forum malam
itu juga diakibatkan uang ganti ruginya tidak beradab,
hanya tujuhpuluh ribu permeter. Padahal harga disini sawah
permeternya duaratuslimapuluhribu.
Kita sepakat untuk tidak sepakat dengan uang ganti rugi ini, kita
protes dan mendesak Pak Kades untuk mengupayakan ke atas guna
menaikkan harga. Ada hasilnya memang, cuma naik tigapuluhribu saja
permeter”
Aku
memotong “wah ini ada yang tidak beres Pak, pasti dikorupsi.
Pejabat sekarang mana ada yang jujur” melihat aku membara, ibu
hanya menimpali remeh “kita hanya orang kecil nak, ya begini
nasibnya, cuma diakali, dibohongi”
Bapak
melanjutkan ceritanya dan ibu masih sibuk mengupas kacang dengan
bantuanku sedikit-sedikit.
“ini
memang tidak beres, ada kabar kalau dari pemerintah pusat harga ganti
rugi mencapai enamratusribu permeternya. Tapi semakin ke bawah,
dananya semakin saja dikurangi. Disunat
pejabat. Kalau sudah begini,
sistem yang membuat begini, kita bisa apa. Akhirnya kita pasrah
menerima ganti rugi yang
tidak manusiawi itu. Ada beberapa masih
bersikukuh menolak, tapi apa
daya. Yang dilawan adalah orang-orang berduit dan berkepentingan.
Maka, ketika petang datang rumah para penolak ganti rugi itu akan
didatangi preman bayaran untuk memaksa menerima ganti rugi. Jika
masih menolak akibatnya semakin parah. Tanah tergusur tapi tidak
dapat ganti rugi. Seperti Pak Parno, saban hari hidupnya sekarang
hanya mencaci pemerintah yang tak adillah, yang tak peduli dengan
petanilah dan segala macam” bapak terdiam lalu mengambil ember yang
sudah diisi air sisa menanak nasi kemudian ditaburi garam secukupnya.
Bapak melanjutkan pekerjaan, memberi minum sapi. Sembari aku mengupas
kacang, sekarang semua pertanyaanku terjawab sudah. Mungkin mandi,
ganti baju adalah perbuatan bijak.
Terkadang
aku malu pada diri sendiri. Bingung harus melakukan apa melihat
penindasan ini. Bukankah negara ini sudah merdeka. Ya, merdeka yang
tidak sebenarnya. Apa aku harus merutuki penggagas pancasila,
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, pasal tersebut mungkin harus
diubah atau dihapuskan pada kata “seluruh”. Seminggu aku dirumah,
kusempatkan diri bertemu Pak
Kades, sekalian meminta tanda tangan guna mengajukan beasiswa.
Hasilnya pun sama, Pak Kades tidak bisa berbuat apa-apa, atau sengaja
tidak berbuat apa-apa. Ah, alangkah lelahnya hati ini berburuk
sangka. Tapi bagaimana mau berbaik sangka jika keadaannya seperti
ini. Setelah seminggu dirasa cukup, dan tak ada perubahan, aku
kembali melanjutkan kuliah.
Dalam
perjalanan kembali ke kota dan pasti melalui jalan yang bergelombang
dalam seperti sumur
aku menerawang jauh. Aku mencoba mengambil sisi baiknya saja jika
sudah begini. Terpaksa mengambil sisi baik memang beda tipis dengan
pasrah dan menyerah. Tak apalah, toh semua pasti ada manfaatnya.
Mungkin kelak jalur pantesel itu jadi, perkampunganku akan ramai dan
pembangunannya akan cepat. Lampu akan akan ada dimana-mana, para
petani tak perlu menjual sayurannya jauh-jauh
ke kota. Semoga
saja, segera sajalah dibangun itu jalan. Sehingga aku pulang tak
perlu ada acara mengocok perut seperti ini.
Selang
dua tahun, jenjang
pendidikanku sudah usai.
Kemudian pulang, jalan-jalan
mulus, lampu terang dimana-mana, pinggir jalan banyak sekali orang
berjualan. Para pelancong arah Jakarta – Surabaya singgah membeli
sayur buah-buahan segar baru saja dipetik guna bekal dan oleh-oleh.
Tapi sayangnya itu hanya
angan-angan saja. Dua tahun
bukanlah waktu yang sebentar, tapi pemandangan masih saja sama. Aku
pulang masih ada adegan mengocok perut akibat bebatuan terjal di
jalan. Ya, sawah kami belum disentuh sama sekali. Tak ada tumpukan
pasir atau material ditepi jalan tanda akan mulainya sebuah proyek.
Semua masih sama, yang beda hanyalah bapak yang mulai menua dan aku
sudah punya keponakan dari kakakku. Jalan yang rusak, listrik yang
minim masih seperti dua tahun yang lalu. Sawah kamipun masih
teronggok tak disentuh pemerintah.
Dua tahun setelah ganti rugi, kami mengira kampung kami akan segera
dibangun, disulap menjadi
perkotaan yang bakal dilalui banyak orang. Semua hanya angan saja,
semua masih sama. Sama sekali tidak berubah. Aku
jadi ingat, banyak memang proyek pemerintah yang terkesan pilih kasih
dan sengaja tak disempurnakan, sebut saja jalur selatan Jalan
Daendeles Kulonprog-Kebumen. Sila lihat keadaannya.
Ini
lebih mengkhawatirkan dampaknya, sungguh. Ini lebih mengerikan
daripada gusuran paksa dua tahun yang lalu. Adalah para petani
kehilangan jiwanya. Semangat bertani mereka habis, seolah ikut
terbeli seharga
seratusribu permeter itu. Dua tahun hanya beberapa yang menanam sawah
yang sudah terbeli itu. Yang lain? Mereka ketakutan, pesimistis
tinggi, kehilangan kepercayaan dan dikendalikan akan kekhawatiran.
Bayangkan, jika kita menanam hampir saja panen, tiba-tiba truk-truk
besar menenggelamkan tanaman dengan pasir dan batu kerikilnya
bagaimana? Atau ketika kita sedang menanam, sudah capek-capek
tiba-tiba ada preman bayaran yang disuruh untuk menghancurkan tanaman
kami bagaimana? Itu sedikit ketakutan-ketakutan yang aku tangkap.
Tapi aku tak tahu masing-masing hati orang-orang
disini. Pikirku, mungkin ini
menjadi alasan bagi mereka untuk berhenti menjadi petani. Sejak kecil
terlahir sebagai petani juga. Toh di televisi, petani selalu
diidentikkan dengan kaum kecil, pinggiran dan miskin.
Tapi aku tetap berterima kasih pada Tuhan, telah menjadikan aku anak
dari bapakku. Meski dua tahun dalam kekhawatiran, bapak selalu
menerapkan sikap “nrimo lan legowo” tetap
berusaha dan jika diminta Tuhan dikembalikan.
Aku
masih bisa menyunggingkan senyum kecil di bibirku. Bapak dan sebagian
petani yang lainnya masih percaya dan selalu berusaha. Bahwa petani
adalah penopang kehidupan kita bersama, kenapa kita rela membeli
beras impor mahal-mahal sedangkan membeli beras hasil rakyat sendiri
semurah mungkin? Nenek moyangku seorang petani. Memperjuangkan
asal-usul nenek moyang tapi kami kehilangan pemuda di desa kami.
Pemuda yang dielu-elukan untuk meneruskan pekerjaan penuh kehormatan
ini memilih memperbudak diri, menjadi pembantu pencuci ketiak orang
asing di luar negeri, aneh.
Komentar