Cerpen - Bagaimana menganggur?


Aku menulis cerita ini setelah tidak memiliki pekerjaan. Lebih tepatnya keluar kerja, bukan di PHK. Dan selain itu, hanya memiliki sekelumit kesibukan yang dapat dikatakan tidak menguntungkan secara finansial. Uang untuk membayar kos selama sebulan, untuk makan, rokok dan rutinitas ngobrol minum kopi di warung didapat dari sana-sini. Aku masih punya orangtua, celengan dan tabungan berjalan merupa teman yang setia dan kepalang kaya. Tenang ! Aku bukanlah parasit. Aku cukup pandailah mencari uang, tapi sekedar memenuhi kebutuhan, bukan ambisius memupuk kekayaan untuk tenang di hari tua,

Pekerjaan sehari-hari adalah berkelindan dengan orang. Tergabung di sebuah lembaga sosial cukuplah hasil dari itu untuk hidup sebulan, lebih dari cukup malah. Setelah nyaman bekerja mengkampanyekan tentang kesehatan dan sebagainya selama 5 bulan akhirnya aku memutuskan untuk keluar. Berhenti dari pekerjaan yang menopang hidupku di tanah rantau, jauh orangtua. Seperti yang sudah aku ceritakan sebelumnya, gajiku lebih dari cukup. Satu bulan gaji bisa untuk bertahan hidup selama dua bulan. Jadi secara matematis, aku bekerja selama 5 bulan cukup untuk 10 bulan. Dari pertimbangan matang tersebut, 5 bulan selanjutnya aku memilih menganggur. Menyengajakan diri untuk tidak punya kesibukan rutin. Lebih memilih waktu untuk membuangnya cuma-cuma. Dan terlebih lagi membebaskan diri dari perbudakan uang. Aku kasihan dengan diriku sendiri. Harus menghamba pada sebuah pekerjaan demi kehidupan berduit. Aku tak mau itu.


Setelah terlepas dari rutinitas yang membelenggu, akhirnya aku mendapatkan kebebasan. Mendapatkan waktuku sendiri. Jika tidak, tentu aku tak sempat menuliskan ini. Aku menulis ini setelah memasuki paruh waktuku dari menganggur tadi. Ini memasuki bulan ke-3 dari masa nganggurku. Haha. Aku juga tak habis fikir, mana ada orang di dunia ini selain diriku dengan bangganya mendeklarasikan diri sebagai seorang penganggur. Daripada bekerja menjadi budak, budak diri sendiri.

Terlepas dari rutinitas yang mengikat adalah kemerdekaan tersendiri bagiku. Aku tidak lagi menjadi korban kapitalis, dimana hidup hanya perihal kerja, kerja dan bekerja. Kaum kapitalis memang pintar, memeras keringat kami, rakyat kecil. Yang mana kerjanya hanya dibutuhkan tenaganya saja, tak jauh beda dengan robot. Aku selalu sedih, tak tega melihat para orang-orang yang bekerja pada sebuah pabrik di sudut kota yang kerap aku lewati. Hampir tak ada jeda selama 24 jam pabrik itu selalu beroperasi, kecuali hari minggu. Aku sampai faham betul sistem berlakunya jam kerja di pabrik tersebut. Ketika aku menuju kos, bertepatan dengan adzan subuh sepulang dari warung kopi, gerbang pabrik akan terbuka dan banjir manusia akan keluar dari sana. Ada yang jalan kaki, ada yang dijemput kekasih mungkin. Berarti semalam suntuk mereka bekerja, mengepaki produk dan itu setiap hari. Aku sengaja berhenti di tepian rada jauh, duduk di atas motor menyalakan rokok tinggal sebatang di saku mengamati kehidupan pabrik itu. Ahh.. kalau aku tidak menganggur, mana mungkin aku sempat melakukan kegiatan seperti ini. Setengah jam kemudian, setelah rokokku kandas sampai pangkal dan matahari sebentar lagi muncul, berduyung-duyung manusia kembali membanjiri pabrik tersebut. Mereka terlihat segar, rapi dan beberapa ada yang terlihat cantik. Sepertinya itu orang-orang yang beda dari sebelumnya. Ya, benar sekali pabrik itu buka 24 jam dengan mengoperasikan manusia sebagai mesin. Kerja tanpa henti demi sebuah? Cita-cita mungkin? Harapan mungkin? Atau mungkin hanya sekedar mengikuti pola kehidupan manusia kebanyakan. Lahir, kerja dan mati. Dan lagi-lagi aku tak mau seperti itu.

Berbicara tentang harapan, setiap manusia tidak bisa dijauhkan dari itu. Bahkan orangtua pun, yang tinggal menunggu ajal masih saja menyimpan harapan, membumbuinya pada setiap sujud dan doanya. Tapi sejak kapan sebuah pekerjaan dikaitkan dengan harapan. Kenapa setiap harapan harus diwujudkan ketika memiliki banyak duit yang berjubel di rekening. Sudah bisa ditebak, harapan-harapan kita tak jauh-jauh dari arahan, kontrol kaum yang punya kepentingan, mungkin itu hanya dugaanku saja. Mungkin kaum yang mengamini sifat konsumtif dan sebagainya. Tapi benar saja, harapan mereka, kita mungkin termasuk, tak jauh-jauh dari kehidupan mapan yang menuntut kita untuk mempunyai rumah mewah dan seisinya, jalan-jalan ke eropa dan sebagainya. Pun aturan dalam agama, untuk menjadi pemeluk yang sempurna harus berangkat ke negeri gurun pasir yang kepalang jauh hanya demi sebuah ritual, egoisitas spiritual namun melupakan bahwa teangganya sendiri susah hanya sekedar untuk makan. Kesemua alasan tersebutlah, aku tidak benar-benar tekun dalam mencari uang, tidak sama sekali berniat memupuk kekayaan. Asal cukup saja, asal terpenuhi saja. Aku berusaha sekuat tenaga, dengan sikap ini, mencoba mempertahankan sifat alamiah kemanusiaanku. Yang peduli sesama, tidak ambisius dan bermanfaat. Tapi sampai ocehanku ini tertulis, aku masih dalam tahap meraba-raba nilai kemanusiaanku yang tersisa, dengan cara menganggur.

Menganggur, predikat yang banyak ditakuti orang untuk disandang. Itu akan menjadi semacam penyakit, cemooh, dan keluh kesah di lingkungan, masyarakat dan terlebih orang tua. Mana ada yang suka dengan orang menganggur, sampah masyarakat dan sebagainya. Ya, memang begitulah. Terlebih lagi untuk orang yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi. “Sarjana kok nganggur, apalagi yang gak sekolah” begitulah seringnya celoteh yang keluar dari mulut masyarakat. Jadi semacam borok memang, menganggur itu. Tapi kenapa menganggur identik dengan memiliki pekerjaan secara rutin? Bukankah dapat dikatakan tidak menganggur dengan cukup memiliki uang yang cukup pula? Kenapa harus disepakati bahwa tidak menganggur itu yang bangun setiap hari kemudian berangkat kerja, pulang sore dan akhirnya kelelahan. Kenapa harus demikian? Mari kita sepakati saja, menganggur adalah tidak sebenarnya mengannggur. Sedikit membingungkan bukan? Beginilah isi otak orang menganggur yang tidak dipaksakan. Sering berfikir aneh-aneh dan mungkin terkesan tidak penting. Haha

Selanjutnya ini akan terkesan seperti semacam tutorial. Semacam tatacara seperti bagaimana membuat nasi goreng dengan menggunakan arang yang memiliki rasa berbeda. Entahlah, ini yang bisa dilakukan apabila kita tidak punya pekerjaan rutin nan menyiksa. Haha

Setiap pagi, tidak perlu merasa buru-buru ketika bangun tidur jam menunjukkan siang. Pagi hanya meninggalkan nyiyiran bagi orang yang bangun kesiangan. Tapi istilah bangun siang bukannya hanya untuk mereka yang pekerja? Jadi bagi penganggur sepertiku ini bangun siang adalah keniscayaan. Di kamar yang tak cukup luas ini kau bisa memikirkan segala hal, berbagai macam. Bukankah seorang filsuf penggagas renaisans terlahir dari bangun siang. Rene Descartes pun sampai punya hak khusus dari gurunya untuk datang terlambat. Karena seorang Rene ketika bangun tidak langsung beranjak mandi dan seterusnya. Tapi ia akan menghabiskan waktu lama untuk berfikrir. Berfikir dan berfikir atas segala hal. Berbeda jika kita punya sesuatu yang membelenggu, yang ada dalam fikiranmu adalah bagaimana sampai di tempat kerja tepat waktu, tidak terjebak macet, berharap pekerjaan lancar-lancar saja, tidak dimarahin bos dan sesuai target. Yang ada hanya seperti itu yang tersisa di dalam fikiranmu. Kau takkan punya tempat untuk memikirkan masalah sosial sekitar, urusan-urusan klasik di masyarakat hingga remuknya negara ini.

Bangun siang, berfikir, cek handphone, sesaat buka sosial media sembari menyeduh kopi dan menyulut sebatang rokok. Ini hanya untuk penganggur, bukan untuk pekerja. Jika lapar beli makan, jika tidak makan mengambil buku di tumpukan rak. Kita akan punya waktu yang berlebih untuk melahap semua isi buku. Hingga lelah. Hingga jengah. Hingga cerdas. Membaca sembari menyalakan musik bukanlah pilihan yang buruk, komputer yang teronggok di sudut kamar sudah dinyalakan. Selesai baca seiring berpuluh-puluh lagu terputar dari zamannya The Beatless, Led Zeppelin, Queen hingga The Script, Taylor Swift dan Efek Rumah Kaca, Payung Teduh lunas dilahap gendang telinga. Selanjutnya adalah, jika sedang dalam suasana dan otak encer tak ada masalah membuka microsof word, menulis semacam artikel, sajak, cerpen bahkan puisi. Lumayan juga dimuat di media massa bisa jadi tambahan uang rokok dan ngopi. Jika tak ada inspirasi, bolehlah menonton film hingga jemu. Mulai dari film yang berat berfikir hingga film picisan yang sebatas lewat. Dan kegiatan seperti itu tak terasa sudah menghabiskan waktu hingga petang. Selepas isya' kegiatan yang paling masuk akal adalah bertemu dengan manusia-manusia lain. Membaca manusia-manusia lain dengan beragam bacaan. Ada pekerja, ada yang bermuka muram, berwajah sendu bahkan juga sesama penganggur. Hidup di kota budaya seperti Jogja dipastikan malam tidak akan bosan. Pasalnya dari pentas seni, musikalisasi puisi, pentas teater sampai diskusi sastra pun ada hampir saban hari. Dan diakhiri ngopi bersama kawan-kawan yang dengan sengaja aku gilir, dari teman sejawat, teman organisasi, teman sepekerja dulu bahkan dengan teman yang tak sengaja kenal. Biasanya teman yang tak sengaja kenal ini bernama perempuan.

Kalau ngobrol di warung kopi selain dengan teman tak sengaja kenal bisa dipastikan sampai subuh baru bubar. Tapi dengan teman tak sengaja kenal paling lama 2 jam di warung kopi dan dilanjutkan sampai pagi di kamar kos. Seorang panganggur tetap saja butuh sentuhan lawan jenis. Sangat tidak jujur apabila menolak hal demikian. Dan benar saja, teman tak sengaja kenal ini memang tujuannya sama, hanya seks, hanya bercinta tanpa cinta. Jika ingin hubungi saja, jika tidak jalan masing-masing tanpa membebani. Betapa tidak, mana ada perempuan yang mau menjalin hubungan serius dengan seorang penganggur, mana ada perempuan yang merelakan dirinya hidup susah bersama laki-laki sembari membesarkan anaknya. Kebanyakan perempuan tidak ingin hidup susah dalam biduk rumah tangga, meskipun tidak semua perempuan. Pernah aku menyimpulkan, apabila aku bertemu dengan perempuan yang siap hidup miskin bersama, akan aku nikahi. Tapi sampai sekarang belum juga kutemukan.

Sebentar-sebentar, aku sudah bercerita panjang lebar sampai kehidupan seks juga telah rampung kuceritakan. Kita tetap tak saling kenal? Hai pembaca yang budiman, pembaca yang mungkin bukan seorang penganggur yang rajin bekerja, atau pembaca yang juga hidupnya memilih menganggur? Perkenalkan, aku adalah laki-laki yang suka bercerita, sering mengumbar pesan-pesan picisan pada setiap perempuan yang aku kenal, aku yang mewajibkan diri sendiri untuk bercinta dengan perempuan (berbeda) minimal satu minggu sekali, aku yang suka minum kopi, merokok, membaca buku, mengarnag cerita. Ya, untuk kesukaan yang terkahirku sedikit menganggu kejujuran dalam cerita ini. Benar sekali dugaan anda, aku adalah pengarang cerita. Suka mengarang. Pengarang tidak selalu berbohong, tapi pernah. Ha ha

Jika diatas judulnya aku tulis “Cerpen – Bagaimana menganggur?” akan banyak dari sekian pembaca yang memang penulis dan pengamat cerpen akan buru-buru mencemooh dan tidak akan membacanya sampai selesai. Maka jika pembaca membaca sampai sini, aku ucapkan banyak terima kasih. Karena aku juga bingung, ini apakah curhat tapi mengarang, ini cerpen tapi alur-konflik-plot-tokoh dan sebagainya tidak jelas, jadi silahkan hakimi sendiri tulisan ini selayaknya dikatakan apa. Oke, sampah, sipp. Aku setuju, ini sampah. Dan sekali lagi terima kasih sudah membaca sampah ini. Terpujilah engkau, pembaca yang budiman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku, Pesta dan Cinta : mengenang kembali Soe Hok Gie

Syakal dan I'jam

Sejarah Fatayat NU "Cabang Jepara"