Cerpen - Sauh dan Vid


Kau cemburu Vid ? Atau ?” Sauh bertanya tanpa daya dan teronggok di sofa sudut kamarnya. Bukankah cemburu itu hal yang sangat manusiawi. Perasaan itu, seperti kata banyak orang, pengejawantahan dari rasa sayang. Tapi beda tipis dengan posesif dan egois.

Vid, Vidyavati seharusnya mengerti betul. Apa yang dimaksud dengan pertanyaan tadi. Ini bukan yang pertama kalinya. Berulang kali. Dan hanya Vidya yang bisa menjawabnya. Dan selalu saja Vid dengan berat menjawab dengan singkat “entahlah” seolah-olah kata itu, yang demikian singkat, memberikan makna yang banyak, seolah seperti satu kata dalam kitab suci yang bisa ditafsirkan bermacam. Entahlah. Ada semacam riuh yang tak terucap, diantara harapan, kebimbangan yang berkelindan dan tentunya kepastian.

Sorot mata Vidya yang sedikit redup dan sempit justru terkesan tajam, tegas. Vidya adalah perempuan yang tak pernah memainkan melodrama seperti ini. Ini pertama kalinya. Vidya dulunya hanyalah seorang perempuan yang sangat sulit “disentuh” lelaki manapun. Kata-katanya singkat dan tak sedikit lelaki yang mendekatinya mundur tanpa bertahap.“Entahlah.. Entahlah.. Entahlah..” Racauan yang keluar dari mulut tipis Vidya sekaligus mengantarkannya tenggalam di atas ranjang biasa mereka bercinta. Memadu kasih. Kamar yang cukup luas untuk menampung sebidang kasur, meja tulis di sudut kanan berdampingan dengan lemari dan belakang pintu masuk ada sofa butut, tempat Sauh duduk sekarang. Kamar itu sudah menahun menemani Sauh di kota rantau ini sebagai pekerja swasta sembari mencari lowongan beasiswa kuliah selanjutnya.


Lagi-lagi kamarnya menjadi panas, lebih panas tidak seperti biasanya. Panas yang berbeda, yang biasanya panas setelah gelora membuncah. Tapi sekarang panas karena setiap kata yang keluar merupa keputusan akhir tak bisa ditarik kembali. Meskipun di sudut yang lain tak hentinya kipas listrik menoleh ke kanan-kiri sebagai penonton bisu adegan Sauh-Vidya.

Mereka terdiam, menunggu di tempat masing-masing berjauhan. Sauh masih duduk di sofa butut belakang pintu. Sembari menarik nafas panjang untuk hisapan rokok yang dalam, lalu keluarlah asap yang banyak dari mulutnya. Berulang kali. Ruangan penuh asap.“sudah aku bilang, jika di dekatku jangan merokok” suara larangan itu keluar dari tumpukan bantal yang sengaja ditindihkan Vidya di atas kepalanya. Bantal yang tak lagi harum, yang awalnya berwarna putih susu bersih menjadi putih bermotif pulau. Vidya seolah lupa, entah sudah berapa lama ia tak menyuruh Sauh kekasihnya menggantinya.

Dan ia juga rasa-rasanya sudah enggan menyebut “kekasih”. Entahlah. Sejurus kemudian, Sauh melunaskan beberapa hisapan rokoknya meskipun masih panjang. Kemudian mematikan, melempar puntung ke tong sampah depan kamar. Tong sampah yang isinya tak penuh meski sekitarnya sampah berserakan. Seperti seorang pemain basket yang gagal memasukkan bola ke jaring. Seperti itulah gaya Sauh ketika membuang sampah.

Dalam tindihan bantal kepalanya, ia menerawang jauh. Mengingat-ingat kembali. Meyakinkan dirinya kembali tentang lelaki yang duduk tak jauh dari tempatnya. Mencoba mengais yang lalu. Dimulai sejak kapan ia mengenalnya, kemudian jalan-jalan ke toko buku berdua saja. Memastikan membangun hubungan dan berkomitmen hingga sepakat untuk merelakan menanggalkan pakaian masing-masing guna menuntaskan geloran dan menggenapkan cinta.

kau mau ketemu dengan perempuan yang mana lagi?”tiba-tiba kata-kata Vidya keluar dari keheningan sesaat dan memecah rajutan lalu yang ia rangkai sendiri. Sauh masih duduk, terhenyak tak sedikitpun menggeser ataupun mengangkat pantatnya. Bagi Sauh, meskipun ia ingin sekali keluar dari situasi ini, tetapi itu tidak mungkin. Ia merasa harus menyelamatkan hubungannya dengan Vidya. Selain Vidya merupakan perempuan yang belum pernah “disentuh” lelaki selain dirinya, Sauh merasa ada perasaan yang kuat untuk meyakinkan dirinya bahwa Vidya layak untuk dipertahankan.
Tak bisa dipungkiri, Sauh seringkali menyalurkan sifat banalitasnya ke banyak perempuan yang ia temui dan kenal. Sauh memang tipikal lelaki yang mudah disukai perempuan. Meskipun perawakannya tidak begitu rapi dan metroseksual,tapi ia pandai memikat perempuan. Meski hanya untuk teman tidur sesaat. Bergonta-ganti.

Dan dapat dikatakan Vidya adalah salah satu korban Sauh. Meskpiun awalnya demikian, tapi dikemudian hari rasa-rasanya ada yang berbeda, bagaimana Vidya yang begitu percaya dan rela menghabiskan waktu berlama-lama dengan Sauh. Yang tidak pernah habis bahan obrolan dengan sentuhan-sentuhan yang menggetarkan. Hal itulah yang membuat mereka komitmen, komitmen untuk serius merajut hubungan. Sikap banalitas Sauh tetap saja tak bisa dikandangkan. Vidya adalah perempuan yang tegas. Sejak menjalin hubungan hampir dua tahun baru sekali saja mereka bercinta, sisanya hanya sebatas cium dan peluk ketika akan pulang ke tempat masing-masing. Vidya tak mau lagi bercinta, ia ingin mengulanginya ketika mereka sudah menikah dan akan lebih bebas, kata Vidya seperti sedang berorasi. Karena kesemua itu, Sauh mencuri-curi waktu untuk bercinta dengan perempuan-perempuan yang juga hanya membutuhkan sekedar seks dan tak ada hubungan istimewa. Hanya seks. Hanya bercinta.

Perlahan Vidya pun mengetahui kelakuan kekasihnya tersebut, tapi didiamkan saja. Vidya malah menambah intensitas waktu bersamanya dengan Sauh. Vidya tahu betul, lelaki yang ia pilih sudah berulang kali tidur dengan perempuan lain baik sebelum atau sesudah mengenalnya. Namun sepandai-pandai menyimpan rasa, akhirnya meledak juga. Ketika Vidya sering kali memergoki perempuan keluar dari kamar Sauh. Dan seketika itu pula Sauh seperti lelaki tua lumpuh yang takut ditinggalkan perawatnya. Sejurus kemudian permintaan maaf dan rengekan Sauh tak bisa dielakkan oleh Vidya. Dan luluh. Seperti itu, berulang kali.
Hingga tiba hari ini. Pada suatu senja. Vidya hampir satu jam duduk tercenung menangis di depan kamar Sauh yang tertutup rapat. Terkunci. Ada sepasang sepatu berwarna merah muda tepat di depan pintu kamar. Vidya memang sengaja tidak berbuat apa-apa, tidak menggedor atau merusak acara percintaan yang sedang terjadi di dalam. Ia sudah lelah, menyerah. Ia hanya menunggu dan menunggu sembari meyakinkan diri untuk mengambil keputusan. Ya, mengambil keputusan. Kemudian pintu terbuka beriringan dengan suara cekikikan perempuan tersebut keluar sebagai pertanda acara mesum itu usai. Vidya juga tak beranjak dari duduknya, hanya tatap nanar darinya untuk Sauh. Seolah ingin menyampaikan pesan bahwa “aku sudah menunggu di sini lama, dan cukup sabar dengan semua ini”. Mana ada perempuan yang berkali-kali merelakan lelakinya tidur dengan perempuan lain. Mungkin ada sebagian, tapi tidak dengan Vidya. Kesabarannya sudah habis. Melihat Vidya di depan pintu, perempuan itu bertanya kepada Sauh “ini temanmu?”tak ada jawaban dari Sauh. Melihat muka Sauh pucat basi buru-buru perempuan itu pergi kelimpungan, seolah melihat tanda dari wajah Sauh “pergi kau jauh dari sini”. Seketika itu Vidya masuk ke kamar dan menenggelamkan diri di kasur. “Kau cemburu Vid ? Atau ?”dan hening. Pada titik ini, kata sudah kehilangan maknanya.
***
Vidya sadar, harapan di sisi lain adalah jurang kekecewaan. Harapan juga bak bajingan tengik yang setiap hari meminta uang keamanan pada pedagang kecil di emperan pasar. Meskipun mengancam tapi tetap membiarkan jualan asal membayar. Begitu juga dengan harapan, apabila tidak disiangi dengan keyakinan dan usaha, harapan akan berbalik menikam kita. Dan pada akhirnya yang-dikecewakan-harapan akan merutuki nasib seumur hidupnya.

Vidya tidak tahu. Apakah ini salah atau tidak. Apakah ini hal bodoh yang cukup menjadi alasan untuk bunuh diri atau tidak. Vidya tidak tahu. Tapi yang ia tahu pasti, Vidya salah memilih lelaki bejat untuk kehidupan panjangnya, tetapi Vidya juga tahu bahwa Sauh begitu mencintainya dan sangat ingin menikah dengannya. Tapi sifat banalnya, sifat animalnya, siapa yang bisa memaafkan perbuatan demikian.

Hari itu menjadi hari terakhir Vidya tidur di atas kasur dimana ia menyerahkan keperawanannya. Mungkin bukan hanya dia, mungkin sudah banyak perempuan yang merelakan gua garba yang masih suci dijajal Sauh. Entahlah. Setelah melewati waktu-waktu tanpa kata di kamar kos-kosan Sauh yang panas. Vidya keluar dengan langkah gontai tanpa berucap apapaun, tanpa ada kata perpisahan, tanpa ada kalimat pemutus hubungan. Hanya diam keluar saja. Mata Vidya benar layu dan tangisnya semakin parau. Sauh seakan sekata-seiya. Sauh mengerti betul, sudah tidak ada kesempatan lagi untuk mengamankan perempuan cantik berbibir tipis dan lebih sering terlihat judes itu melangkah keluar tepat di hadapannya.

Siapa yang mengira. Setelah kejadian tersebut, Sauh menempa diri. Mengasingkan kehidupan dari sentuhan perempuan. Ia sekuat tenaga mengandangkan nafsu biarahinya. Benar-benar sekuat tenaga. Sesekali ia melampiaskan dengan melihat film porno dan beronani sendiri. Betul-betul sendiri tanpa perempuan. Karena sejak saat itu Sauh mengikat hati dengan sebuah janji lelaki untuk menjadi yang terbaik. Tentunya terbaik untuk Vidya. Karena semua itu Sauh lakukan dengan harapan kelak dapat memperistri Vidya. Sedangkan Vidya. Menjadi perempuan yang menyimpan sebuah luka. Luka sebagai perempuan yang tak bisa menjaga kesucian gua garba. Tak ada yang tahu, ia simpan tutup rapat, ia tutup kehidupannya dari lelaki manapun dan kembali menjadi perempuan cuek dan sulit disentuh.

Tuhan adalah penentu segala yang terjadi di kehidupan. Beliau sangat mudah membuat seorang anak Adam bahagia luar biasa padahal beberapa waktu sebelumnya baru saja menangis haru. Tuhan juga dengan mudah menjatuhkan seorang yang sedang di atas awan ke permukaan kemudian hancur secara berkeping-keping. "Only God can take our failures and turn them into victories” sebuah quote dari Evinda Lepins yang menjelaskan segalanya itu mungkin.”
***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku, Pesta dan Cinta : mengenang kembali Soe Hok Gie

Syakal dan I'jam

Sejarah Fatayat NU "Cabang Jepara"