Mengantarmu dari Luar

"if I hold on to you, it hurts.
if I let you go, it hurts even more.
ah, I fall in love too easy"
Jogja diguyur hujan lebat siang itu, sore nanti aku kepalang janji mengantar seorang perempuan untuk pulang. Ya, Lempuyangan adalah ibu tiri yang siap mengantar dan menjemput anak dari mana saja, siapa saja tanpa perlu banyak bawel dan omelan, rasanya seperti ketika kita bangun siang dan tak ada yang mengingatkan. Begitulah Lempuyangan, segala peradaban rindu dan perasaan menjadi aroma saban hari bagi para paria melankolis yang dilahirkan oleh suasana Yogyakarta.

Keretanya berangkat pukul 5, sedangkan aku sudah menyanggupi untuk menemaninya sedari jam 2. ini bukan tentang cinta yang membutuhkan pengorbanan waktu dan mengurangi jatah tidur siang. Tapi ini adalah menyoal janji, kesepakatan dan kepastian. Sudah berapa janji yang sudah kita siasati untuk diingkari? Beberapa kesepakatanpun kadang kita berusaha berkelit sekuat tenaga untuk menggagalkannya. Namun tidak untuk janji kepada perempuan yang satu ini. Ah, kenapa bisa begitu? Kapan-kapan saja aku akan menuliskan keindahannya. Sebentar, tapi justru dia adalah ksesempurnaan kata-kata yang tak pernah bisa dituliskan oleh siapapun.

Rencana hanyalah bak debu di atas batu, tersapu air hilang sudah. Begitu juga dengan sore itu, alih-alih jam 2, Jogja hujan lebat dan aku pulas sekali tidurnya. Jam 3 bukanlah waktu yang buruk. Hujan istirahat sesaat. Basuh muka, ganti celana dan berangkat. Setengah perjalanan hujan lebat tak terbendung, mungkin sudah selesai istirahatnya tadi. Aku mengira hujan itu adalah keresahan orang-orang yang sebelumnya mengeluhkan Jogja begitu panas. Aku berhenti di depan mini market, beli rokok dan menghirup kuat-kuat untuk melawan dingin. Pesan masuk, dari dia, seperti yang sudah kukira.

hujannya deres banget?”

aku sudah di Nologaten, ngiyup di depan mini market”

Iya, hujan deres banget”

Iya, memang hujan deras sekali saat itu, tapi jika menunggu reda sepertinya masih akan berlangsung lama. Melihat jam di tangan sudah hampir jam 4, ia juga belum sempat beli tiket. Aku buka jok motor, ambil jas hujan dan meluncur menerjang hujan. Kadang ketika kita melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak begitu masuk akal, dimana saat-saat seperti itu lebih tepatnya untuk meringkuk di kamar, atau duduk di warung kopi ditemani kepulan rokok, obrolan hangat dan sedikit kenangan. Tapi hidup tak segampang itu, dalihku. Depan hotel ambarukmo banjir, air tergenang, tidak mengalir. Terpaksa menjinjing kaki tinggi-tinggi, beberapa motor matic macet kemasukan air mesinnya. Jika lamat-lamat diamati, sepertinya ada yang salah dengan saluran air di hotel tersebut, mungkin drinasenya tidak berjalan lancar, atau mungkin ada sogok-menyogok dengan amdal sendiri. Ah, peduli apa aku ini, tugasku sekarang adalah mengantar seorang perempuan. Tidak ada yang lebih mulia dari itu.

Hujan sedang tak mendukungku untuk bermesraan di bawah rinainya. Sampai di kos si perempuan, secara ajaib hujan reda. Gerimis pun enggan turun. Aku hanya tersenyum kecut kepada langit, karena aku percaya bahwa kehidupan dinikmati bukan dari waktu ke waktu, melainkan dari momen ke momen. Dan ini adalah salah satu momen terbaik, mengantar pulang. Karena mengantar dan pulang bermakna dalam. Ia adalah sebuah kerinduan yang tak tertemukan kata-katanya.

Aku masih sedikit menahan dingin, ia memintaku masuk menghangatkan badan sembari ia beberes dan siap-siap. Sembari siap-siap, ocehannya tentang titipan ibunya yang urung terbeli dengan menyalahkan hujan. Aku mendengarkan saja, tidak mudah menjadi pendengar yang baik. Tapi entah kenapa ketika ia yang berbicara, bercerita kepadaku, tak ada yang lebih menarik didengarkan selain katupan bibirnya dengan deras meluncurkan kata-kata.

pakai yang ini apa ini?”

Lamunanku menikmati dirinya bercerita terhenti ketika ia menyodorkan pertanyaan khas perempuan. Ia membutuhkan bantuan jawabanku untuk memilih apakah jilbab berwarna ungu atau biru yang akan dipakai. Aku dengan lancarnya, meski sedikit berfikir, menyarankan untuk mengenakan yang biru. Ia ikut saranku, dan yang ungu ia masukkan saja ke dalam tas. Entahlah, aku lupa sejak kapan awalnya menyukai warna biru. Jawaban sederhanya adalah, aku suka langit dan laut. Dan semua sepertinya berwarna biru. Ah, entahlah.

Beli brownies dulu ya dekat amplas”

Baiklah, berangkat beli brownies dan menuju ke Lempuyangan. Sebenarnya, ke Lempuyangan perlu mempersiapkan perasaan dan diri sebaik mungkin. Agar tak kembali kalut dan getir menjalar ketika kenangan-kenangan masa lalu datang.

Tak seorangpun yang bisa selamat dari cengkraman kenangan. Sekalipun seseorang dengan pemikiran cemerlang yang diam-diam mengidamkan Karl Marx sekalipun. Karena Lempuyangan adalah kepulangan itu sendiri. Ia dengan biadabnya mempermainkan perasaan-perasaan orang-orang yang akan memulau perjalanan. Manusia-manusia yang mungkin muntah dengan kereta kelas tinggi atau memang dompet yang cekak akan memilih Lempuyangan sebagai sebuah perpisahan.

Melihat Lempuyangan, mengingatkan kembali pada hal-hal sentimentil yang sedang gencar merambat di dinding perasaan. Setelah menemani si perempuan berdiri antre beli tiket, aku mengambil jalur melarikan diri dari keramaian, aku tinggalkan si perempuan karena sudah bertemu adiknya.

Aku pergi menjauh ke sudut Lempuyangan yang tidak banyak orang. Mencari tempat yang bisa melihat kerumunan manusia-manusia yang akan memulai sebuah perjalanan. Mengambil duduk senyaman mungkin sembari melawan perasaan-perasaan yang kacau. Bahwa tidak bisa dipungkiri, Lempuyang dengan berhasilnya menyimpan cerita-cerita yang pemilik cerita itu sendiri berjuang sekuat tenaga untuk melupakannya. Tiba-tiba Lempuyangan menyodorkan begitu saja, cerita melankolis sudah menguasai alam pikir dan perasaanku. Aku melawannya, aku pesan kopi dan sulut rokok sebatang.

Bagiku, memulai perjalanan bukanlah hal yang mudah. Bahkan Nabi Muhammad pun berfikir ulang dan menunggu kepastian-kepastian untuk melakukan hijrah. Sama halnya ketika memulai sebuah perjalanan. Karena perjalanan adalah sebuah puncak dari proses kemanusiaan kita. Dari perjalanan itu sendiri kita belajar banyak, banyak sekali malah. Namun tidak ada yang lebih membingungkan dari mempersiapkan perjalanan itu sendiri.

Mempersiapkan sebuah perjalanan adalah hal-hal yang gampang-gampang susah. Selain mempersiapkan isi dompet guna menyiasati segala kemungkinan yang akan terjadi diperjalanan. Memilih buku untuk menemani perjalanan itu sendiri membutuhkan sebuah perenungan yang sedikit menyita waktu. Menurutku ini sangat krusial, karena jika salah memilih buku bisa kacau, perjalananmu akan terganggu. Mebawa buku melankolis akan mengakibatkan perjalananmu penuh kesedihan dan hal-hal berat mengenai perpisahan. Tapi apa yang lebih syahdu dari menikmati perasaan sendiri. Seperti halnya cinta namun enggan untuk mengucap.

Perjalanan mengajarkan sebuah perpisahan dan pertemuan adalah sebuah keniscayaan. Sedang dekat denganmu adalah nasib terbaik. Dari kejauhan aku melihat ornag-orang melakukan salam perpisahan, dan setelah perjalanan usai mereka mungkin akan dipertemukan kembali. Atau jangan-jangan itu adalah pertemuan terakhir. Ah, tidak semua kisah seperti itu dialami oleh semua orang.

Ah, kopi sudah kandas dan rokok sudah sampai ujung. Ponsel bergetar.

kamu dimana? Kamu pulang dulu saja gak papa. Ini lama banget, lagian kamu juga aku cuekin”

Ah, ide bagus. Yang pertama sama sekali aku tidak merasa diabaikan, yang kedua terima kasih atas sarannya, pulang dan kembali ke kos adalah ide terbaik. Sebelum hal-hal yang tidak diinginkan terjadi semisal air mata keluar dengan sendirinya atau mengumpat sekeras-kerasnya kepada langit. Aku antar browniesmu dulu yang secara tidak sadar masih kupegang sedari tadi.

Aku mengantarmu dari luar, melaui do'a-do'a. Suatu kelak yang kupastikan sendiri, tidak ada yang akan mengantar ataupun menjemput dari perjalanan masing-masing. Karena kita akan melakukan itu bersama-sama, kita akan pulang bukan ke rumah masing-masing tapi ke rumah bersama. Kita akan saling menemani setiap perjalanan kehidupan hingga suatu pagi akan terwujud dengan manjamu kamu akan malas bangun karena kelelahan sepanjang malam di perjalanan. Dan aku dengan sigapnya membangunkanmu dan membuatkanmu teh hangat dan nasi goreng telur ceplok. Namun sesekali aku yang akan merengek untuk dibuatkan kopi pagi.

Kata ibuk, jangan lupa berdo'a dan kalau sudah sampai nanti kabari”

Aku pulang dengan perasaan bopeng, menyiangi harapan-harapan aku dan kamu untuk menjadi ketika sepanjang perjalanan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku, Pesta dan Cinta : mengenang kembali Soe Hok Gie

Syakal dan I'jam

Sejarah Fatayat NU "Cabang Jepara"