Mei Yang (tidak) Baik-Baik Saja
Menyikapi
hari pertama di bulan mei, apakah layak untuk dirayakan atau harus
direnungi dengan sebuah perlawanan. Setidaknya, kita sadar kehidupan
ini mengajarkan bahwa kita harus saling tindas menindas dalam
kehidupan. Maka lahirlah buruh, budak dan sebagainya. Sejarah kita
pun jauh-jauh sebelumnya kental benar dengan perbudakan. Tapi tentu
saja ini bukan tulisan serius yang akan membahas sejarah perbudakan
atau perjuangan kaum buruh. Ini lebih penting dari semua itu, yaitu
kesedihan.
1
Mei tak ubahnya adalah awal dari kesialan-kesialan yang
terakumulasikan dalam kehidupan-kehidupan yang sudah kulalui. Ini
tanggal merah dan long weekend. Niat hati bangun tidur sepagi
mungkin, jama'ah subuh, kemudian jogging, sarapan dengan gebetan.
Namun rencana tinggallah rencana, seperti biasa, subuh dan dhuha
sulit kali dibedakan, jogging hanyalah sebuah lelucon di tengah
semakin besarnya lingkar perut yang tak terbendung, sedangkan sarapan
dengan gebetan? sebentar, gebetan siapa? lagi-lagi itu hanyalah ilusi
belaka bahwa pagi buta sudah dibawakan bubur ayam ke kos sembari
mengucapkan "selamat pagi sayang" adalah imajinasi
gagal penjaga mini market kesasar.
Baiklah,
bekal terbaik mengarungi long weekend adalah uwang. Ya, uwang.
Lagi lagi duit, begitu kata Nicky Astria. Duh, siapa lagi itu, selera
musik menunjukkan kedewasaan seseorang. Halaah. Melihat nasib
dompet yang kesepian karena hanya bon laundry yang sudah lebih satu
bulan tak kunjung diambil. Tibalah saatnya untuk bangkit dari kasur,
setelah ditindih Selena Gomez, tapi untung ingat Tuhan sehingga gagal
Selena Gomez menindihku meskipun hanya fantasi. Berangkatlah menuju
mesin ATM, mutar-mutar dulu cari yang tidak ada penjaga parkirnya, ya
namanya juga nyari uwang, meskipun hanya menaruh motor tak kurang
dari lima menit, tetap saja bayar seribu rupiah. Baiklah, lupakan
tukang parkir, cari rezeki kok dirasani. Saya masuk ke ATM yang tidak
bermain solo, mereka group, bertiga jejer dari yang bisa
diambil 100 dan 50, tentu saya tidak muluk-muluk, antri di bagian
yang 50. Maklum harus sadar diri.
Saat
itu ATM cukup ramai. Di antrian ATM yang 100, ada ibuk-ibuk dengan
anaknya yang sudah cukup gede, mungkin kelas satu sekolah dasar.
Ibuknya sedang serius memencet tombol-tombol mengambil uang atas
jerih payah suaminya, sedangkan saya disampingnya pas, sedang tidak
memencet tombol apapun, toh passwordku gampang, yaitu 123456. Ini
password ATMku, s.e.r.i.u.s. Saya tidak juga memencet tombol menunjuk
berapa rupiah yang akan saya ambil, tapi saya merenung, takjub dan
hampir murtad tidak percaya lagi kepada Tuhan, tapi untung saya
pernah ngaji, jadi niatan murtad saya urungkan.
Saya
berdiri cukup lama, khusyuk dan tuma'ninah malah. Saya tertegun
melihat saldo saya yang sungguh diluar dugaan. Saya tidak bisa
membayangkan dengan uwang sebesar itu, akan harus kemana, makan apa,
dengan uang sebanyak itu. Saya masih membayangkan dan mengatur
rencana agar uwang itu tidak mubadzir dan benar-benar bermanfaat.
Jangan boros, begitu pesan ibuk di rumah. Cium tangan ibuk
dulu. emuaah. Saya masih merenung lama, merencanakan
hal-hal luar biasa yang akan saya lalui di long weekend ini dengan
uang sebanyak itu. Sampai pada akhirnya, kekhusyukan diri ini yang
melebihi khusyuknya sholat dihancurkan oleh bocah yang sedari tadi
mengamati saya yang hampir mengucurkan air mata.
"Ma,
emang uang 30 ribu bisa diambil di atm?" Si bocah dengan
tidak sopannya bilang begitu ke ibuknya sembari jari telunjuknya
mengarah kepadaku.
Bangsat!
pikirku. Sejurus kemudian saya berniat langsung menghilang, tapi
mengingat pesan guru bahwa ilmu itu jangan ditunjukkan kepada orang
banyak, jangan suka pamer. Dan karena ulah saya itu, banyak sekali
yang mengantri. Saya langsung balik badan, merogoh uang receh dua
biji, kasihkan ke tukang parkir. Dan segera menghilang. Tapi aduh,
tukang parkir memegang pundakku. Anjir, ini pasti karena
uwangku hanya seribu dan bapaknya minta tambah, sudah tidak ada uwang
lagi dibawa. Saya bingung, saya mau mengucap maaf tapi tukang parkir
buru-buru memotong ucapanku dengan mengembalikan uwang receh yang
tadi sudah saya berikan.
"Mas,
gak perlu mas, uwang ini mas simpan saja!" Ternyata tukang
parkir tahu tragedi memalukan bahwa uang 30 ribu tidak bisa diambil
di ATM. Lengakp sudah awal mei ini.
Sepanajng
jalan dari ATM kembali ke kos diwarnai oleh linangan air mata. Aduh
lebay kedengarannya. Diwarnai linangan pisuhan, jancoook....
asu.... tae... begitu fasihnya sampai-sampai orang-orang di pos
ronda depan kos mengira saya sedang waras-warasnya.
Jika
melihat keadaan demikian, rencana makan pagi bareng gebetan,
jalan-jalan ke tempat wisata yang eksotik buru dihapuskan. Daripada
dipelihara lama-lama nanti tambah sakit hati. Baiklah, ini adalah
waktu produktif di tengah-tengah menahan badai lapar di perut yang
sudah menyerang sedari kemarin, kemarinnya lagi malah. Yaitu,
menyalakan komputer dan mengetik. Siapa tahu bisa dimuat dan buat
makan barang sehari dua hari. Baru dinyalakan dua menit tiba-tiba
leptop mati dengan sendirinya. Colokkan ces tapi tak kunjung menyala
juga. Setelah ditelusuri oleh agen FBI gabungan, ternyata listrik
mati. Saya misuh sekencang-kencangnya.
"Jancook...
listrike mati.. kos koyo tae!!!!" Saya sedikit berteriak,
entah dari mana ibuk kos njedul, muncul tanpa tanda. dan bersabda,
sabdanya sungguh menyejukkan.
"Mas
kan juga belum bayar kos tiga bulan" Bu Kos dengan imutnya
berkata demikian, tangannya berkacak pinggang, daster yang dikenakan
juga sudah seminggu tak kunjung ganti, mungkin. Toh mana tahu itu
ganti atau tidak, jika saya cari tahu, bisa-bisa saya main sepak bola
api dengan Pak Kos.
Dan sejurus kemudian, karena sudah lelah misuh, henpon juga tidak ada pulsa, perut lapar, listrik mati. Long weekend yang mengesankan.
Dan sejurus kemudian, karena sudah lelah misuh, henpon juga tidak ada pulsa, perut lapar, listrik mati. Long weekend yang mengesankan.
Tidak
ada waktu yang terbuang sia-sia jika kita menikmatinya, sekalipun
kita menikmati membuang-buang waktu. #Al-Quote
Komentar