Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2014

Hi Desember...

Aku menatap nanar musuhku, suaraku penuh tenaga dan menggelegar, memukul-mukul udara gemetar. Gumpalan amarahku tumpah. Penderitaan dan rasa terhina tak bisa lagi ditakar. Jalan satu-satunya adalah melawan. “ Adalah aku...” Sontak wajahku berubah kelam dan berlipat. Garis-garis wajahku menajam menjadi pahit yang digenangi sungkawa. Tiba-tiba suasana menjadi hening, mendadak semua menjadi cair, menguap diudara. Aku menggigil, tulangku linu dan rasa sakit berkelindan menjadi satu. Aku masih saja tertatih-tatih mengemasi kecemasanku, sebelum lembayung senja menyergapnya. “Aku ingin hentikan waktu, akan kucegat, tapi sepertinya sia-sia...” Suaraku menembak udara. Lagi-lagi aku benar-benar terkulai balai. Garis-garis sinar matahari menerobos lubang angin rumah dan menjelma menjadi tombak tajam yang siap merajam tubuhku. Aku menggeliat, lalu kecemasan kembali menyergap. Kenangan pahit telah jebol dan berkeping-keping seiring rajaman waktu menajam. Aku bangk...

Ketika Kamu

“ hidup adalah perihal menunda kekalahan” begitu yang selalu kamu katakan kepadaku, kamu bilang itu dari penyair yang belakangan dianggap antek-antek CIA. Tapi kamu masih tak pernah lelah menyelesaikan karya GM, Catatan Pinggir. Dan kekalahan itu adalah kematian, bagiku ada yang lebih menakutkan sebelum kematian. Yaitu menghadapi rasa takut dan menyikapi kehilangan. Kita tidak pernah sepakat untuk hal itu. Aku takut kehilanganmu itu kenyataannya. Kamu sepakat dengan dirimu sendiri bahwa hidup itu seperti roda gerobak batagor yang berputar. Tapi aku selalu percaya bahwa hidup itu seperti kita sedang membaca buku yang sangat tebal. Sebal, marah, benci, senang, cemburu, dendam, jatuh cinta dan hal-hal melankolis lainnya yang hanya terdapat dapat sebaris kalimat brilian brengseknya. Dalam banyak hal, membaca buku mengajarkan kita untuk menyikapi hal-hal yang belum tentu terjadi. Seperti halnya kematian. Tapi kamu tahu, aku selalu sebal dan tak tertarik sama sekali pa...

Ketika Rindu

Aku benci dihadapkan dengan situasi dan kondisi batin seperti ini. Menyimpan amarah dan perasaan, linglung apa yang harus dilakukan. Karena lari dan memalingkan muka dari apa yang sedang kita hadapi adalah sebuah pengkhianatan besar. Ini yang aku yakini. Kamu merupa hal-hal yang mengerti diriku. Segala yang terasa dekat denganku. Yang menyerupai sebuah keindahan yang tiada tara. Namun, aku adalah manusia-manusia yang lelah karena saban hari mengahbiskan waktu hanya untuk makan nasi telur di warung dan minum kopi tanpa memperhatikan kesehatan. Begitu selalu celotehmu, tak pernah suka aku minum kopi. Tapi kamu tak pernah benar-benar melarang, kamu memang terlampaui mengerti dan aku terlampaui egois. Kamu kini adalah bak nasib dan hidup yang hanya bisa dinikmati dengan memandang dari kejauhan. Segala keindahan yang melekat pada dirimu pertanda sesuatu yang mustahil untuk dijamah kembali. Kita sudah jauh dan takkan pernah bersama lagi. Setiap mengingatmu, aku selalu meyakinkan dir...

Ketika Mengingatmu

Kehangatan memang masih terasa, meski tak setenang dulu. Rasa tentu saja masih ada. Berapa tahun berlalu bukanlah sebuah persoalan. Tidak membekukan esensi, sekalipun menyusutkan bara kehangatan. Apalagi bergejolak, tentu saja tidak, tapi tetap saja, hangat. Bukankah kehangatan dan sebuah perdamaian diri yang semua orang cari? Kamu bisa menolak seseorang datang ke rumahmu, dengan menutup pintu rapat dan pura-pura tidur. Kamu bisa menggagalkan upaya maling yang ingin mengambil leptopmu dengan kunci gembok bejubel. Kamu bisa menghalangi apapun. Kecuali satu, kenangan dan perasaan. Entah mengapa, kita diciptakan begitu lemah ketika dihadapkan dengan sebuah perasaan dan kenangan. Bulan november ini adalah keparat-keparatnya hujan turun. Seiring rinai hujan tanpa ampun menghajar daratan bumi, seberingas itulah kenangan akan merasuk pada ronggga kulitmu yang mulai mengerut karena dingin. Entahlah, hujan seperti membawa sebuah cerita panjang, berepisode-episode melebi...

Ketika Kebohongan

Senja ini kututup dengan sebuah kebohongan. Tidak mudah memang, terlalu berat malah. Bagi sebagian orang berbohong mungkin hal yang teramat mudah. Tapi tidak untuk diriku, ini begitu menyakitkan. Berbohong kepada seseorang yang terlampau baik adalah sebuah pengkhianatan agung. Itu seperti bunga meludahi pemiliknya ketika setiap pagi dan sore menyingsing menyiraminya dengan penuh kasih sayang. Ya, aku berbohong kepada bunga, seorang perempuan. Alah tai, aku terlalu mengobral melankoli. Cadas seorang teman. Baginya, berbohong adalah sama halnya dengan keputusan akan mengambil gorengan atau tidak ketika makan di angkringan. Jawabannya mudah sekali, mana mungkin makan nasi angkringan tanpa seekor gorengan. Nasi angkringan tanpa gorengan bak cinta klasik Romeo Juliet. Takkan terpisah. Sudah berjuta kali ia berbohong, begitu ceritanya. Ketika kamu jarang berbohong, dan kamu melakukannya akan memang terasa berat. Tapi perlahan berbohong adalah sebuah tedeng untuk membuat h...

.

Terkadang, untuk memunculkan keberanian, kita menunggu satu dua orang gagal terlebih dahulu. Mungkin keadaannya akan berbalik apabila orang terdahulu kita menuai kesuksesan. Hidup kita hanyalah dipenuhi ketakutan-ketakutan yang tak seharusnya disimpan dan dipelihara. Suatu hari, kita sudah menabuh genderang untuk melawan dan berperang dengan ketakutan, tapi beberapa saat kemudian kita kembali memeluk, menimang dan merangkul satu hal yang bernama ketakutan. Aku mungkin seorang penakut. Sedikit melankolis jika dibilang aku takut kehilanganmu. Tapi toh nyatanya kamu memang meninggalkanku dan aku masih saja memeluk bayangmu serta melambai-lambai pada hal yang sudah dibelakang. Aku sudah menasbihkan diri untuk tidak melihat kamu, kamu adalah masa-masa yang seharusnya aku tanggalkan di tembok-tembok kota yang mulai usang karena kepul angkot perlahan membusuk. Tapi itu seharusnya yang kulakukan dari dulu. Aku salah, aku kalut. Kini kamu justru di depanku, jauh di dep...