Warung Keparat Mahal: Perasaan Yang Sama.
Pagi
ini, kebetulan aku sarapan. Sebenarnya tidak sarapan juga, lebih
tepatnya sarapan menjelang siang. Tapi bukan itu intinya yang akan
aku ceritakan. Bukan juga kepalang mahalnya makanan yang kudapi saat
itu. Bukan. Ya, meskipun dalam sempat mengumpat. Gila juga memang,
makanan seperti itu mahal sekali. Mentang-mentang tempatnya nyaman
untuk mengobrol sampai mati. Jadi seenaknya saja melabeli harga
setinggi langit. Anehnya juga, warung cukup ramai. Teramat ramai
malah.
Nah,
jadi bahas masalah warung. Aku bertemu dengan karibku di sana. Teman
lama tentunya, kita slaing mengenal kurag lebih sepuluh tahun. Aku
kira itu waktu yang cukup untuk mengenalnya dengan baik. Dan terlebih
juga, aku pernah singgah dan melewati beberapa kota lain bersamanya.
Aku tak menyangka bertemu dia di warung keparat mahal itu. Toh, aku
juga sedang dalam perjalanan. Dan bertemu dengan teman lama di sebuah
kota perjalanan adalah sesuatu yang cukup menyenangkan. Setidaknya
kita tidak sendiri. Ada seseorang yang benar-benar kita kenal. Tapi
bukankah inti dari perjalanan adalah mencari. Dari mencari
peruntungan, alibi pengalaman dan tentu saja orang-orang baru. Untuk
alasan terakhir, pertemuanku dengan teman lama sedikit tidak
menguntungkan. Bisa disebut, temanku tidak bertambah. Ah, bukanlah
masalah besar.
Saat
memasukkan secendok nasi pertama ke mulut, aku kurang bisa menikmati.
Gila saja, nasi dengan lauk seperti ini sangat mahal. Dan temanku itu
sepertinya tahu apa yang aku rasakan. Ya, benar saja. Dia merasakan
hal yang sama. Tapi kita sepakat juga, sudah terlanjur dibayar,
merugikan diri sendiri jikalau tak menikmatinya. Meskipun kepalang
brengsek mahalnya. Kami makan dengan keheningan masing-masing.
Sembari melihat perempuan-perempuan lewat. Sudah aku katakan di awal.
Warung ini sangat strategis. Berada di pertigaan teramai di daerah
ini. Tepat di pojok. Lalu lalang perempuan dan juga lelaki (meskipun
tak diharapkan). Aku melihat temanku itu, matanya mengikuti perempuan
cantik sampai hilang di ujung jalan. Sontak, aku pegang pundaknya dan
berbisik pelang “seng sabar brother”. Sepersekian detik tawa kami
meledak memecahkan keheningan yang sedari tadi menguasai suasana.
Makan
kami selesai. Sejurus kemudian rokok kretek dan asap yang menemani
kami. Tempat makan kami sangat terbuka, seperti di gazebo. Jadi
jangan khawatir asap kami mengganggu orang lain. Kami merokok dengan
sopan. Jikalau bisa, asap rokok ingin kami telan agar kami bisa
merokok dengan leluasa. Tapi itu tidak mungkin juga. Ah, masalah
rokok memang masih terlalu rumit, terutama di negara ini. Saling
tumpang tindih dan tanpa solusi. Pada akhirnya, saling membenci dan
menyalahkan.
“Aku
masih percaya, ia akan datang.” Tiba-tiba ia berkata demikian. Aku
hentikan sesaat dari menikmati rokokku. Aku tolehkan kepalaku tepat
ke arahnya. Beberapa saat. “maksudmu? Aku tak faham.” perasaanku
tak enak saat itu. Brengsek, aku merasa seolah-olah tahu arah
pembicaraan ini. Aku malas sekali membahas hal seperti ini. Di saat
situasi ini, bagiku tidak tepat memperbincangkan seperti ini. Aku dan
dia sedang di kota orang lain. Masih banyak yang harus diselesaikan
dan dipikirkan. Kenapa dia tiba-tiba ia ingin membahas hal ini. Hal
yang terkadang membuatku paling malas. Adalah perasaan kepada lawan
jenis. Di titik ini perempuan menjadi objeknya.
“Lalu?”
Sahutku malas, aku berharap dia menangkap kemalasan hatiku. Tapi aku
salah. Ia melanjutkan. “Kenapa aku bilang, ia akan “datang”
bukan “kembali”, karena aku yakin, bahwa aku belum pernah
benar-benar memilikinya, dan suatu saat ia pasti akan datang.
Menemuiku dan memilikinya.” Aduh, rasa-rasanya aku ingin berpindah
tempat duduk bersanding dengan perempuan yang tepat di meja sebelah
kami. Dan seolah-olah tak mengenal kawanku yang sedang berhalusinasi
dan berimaji siang-siang ini. Dia lagi-lagi terbawa perasaannya,
ketakutan di alam bawah sadarnya kembali muncul. Ini kedua kalinya
terjadi, pertama kira-kira dua-tiga tahun lalu. Ketika kita sama-sama
dalam sebuah perjalanan, terjebak hujan dan tidur di emperan depan
Kraton Mangkunegaran Solo. Beralas baju yang kami pakai. Kala itu
hujan benar-benar lebat dan dia mulai mendongeng tentang perasaannya,
hingga aku tertidur. Dan sekarang, setelah lama bertemu, dia
akan mendongengnya.
Baiklah,
kali ini aku akan mendengarkan. Karena dia sudah memesan jus alpukat
untukku dan membeli sebungkus rokok. Ini bukan apa-apa. Itu aku
anggap uang sewa untuk kesediaan diriku mendengarkannya. Aku tak bisa
menolak. Ini hari minggu, aku tak punya alasan pekerjaan untuk
menolaknya. Toh dia akan bilang, “alah.. nulis bisa nanti malam.”
aku tak punya pilihan, seketika itu aku serutup minuman yang berwarna
hijau itu dan kunyalakan rokok yang memang kesukaanku.
Brengseknya
lagi, ia seolah-olah tahu bagaimana perasaanku, agar terbawa oleh
suasana yang ia buat. Ia menyalakan lagu yang sangat tengik
menurutku, Payung Teduh “resah”. Dan sepertinya dia jua tahu apa
yang sedang aku rasakan. Mungkin juga ia tahu. Tapi aku tahu, ia tahu
apa yang baru saja terjadi dengan perasaanku. Anjing.
Dia
masih saja menunggu dan mencintai gadis itu. Gadis itu adalah teman
kami. Aku cukup mengenalnya. Dapat dikatakan istimewa memang. Manis
adalah wajahnya. Sintal adalah tubuhnya. Baik tentu saja, teramat
baik malah, ia selalu saja mempunyai senyum manis. Menurutku, dan
menurut kawanku itu adalah senyum yang meneduhkan. Teduh. Aku bisa
maklumi itu. Sejak perjumpaan pertama kami secara langsung dengan
Payung Teduh di UGM, kami sering menggunakan kata “teduh” untuk
hal-hal yang dimana kata tak bisa mewakili keindahan dan
ketenangannya. Dia sangatlah indah, kata temanku. Ibunya adalah
penjual nasi padang meskipun dia bukan berasal dari Padang.
Ayahnyalah asli orang Padang. Meskipun sekarang bapaknya sudah berada
di tempat yang lebih baik tinimbang dunia ini. Jika berbicara tentang
keindahan perempuan yang rajin beribadah, dia salah satu yang
terbaik. Temanku tiba-tiba pernah memintanya untuk menikah dengannya.
Dan jawaban perempuan itu adalah “jikalau ayah ada disampingku
sekarang, beliaulah yang akan menjawab.” sontak saja jawaban itu
semakin membuat hati kawanku bertambah kuat untuk menunggunya. Benar
saja, itu adalah perempuan terakhir yang didekati dengan serius dan
benar-benar ditunggu kedatangannya. Begitu cerocos panjangnya. Dan
pada akhirnya, perempuan itu jatuh dipelukan temannya sendiri. Aku
melihat mata kerelaan terpancar darinya. Dengan entengnya dia bilang,
“biarlah dia berjalan-jalan dulu, nanti dia juga bakal pulang, akan
datang, ke rumahku, ke hatiku.” sembari dia menunjuk hatinya dengan
jemari.
Selang
hampir tiga tahun, kawanku tak juga bisa mencari pengganti di
hatinya. Gadis Penjual Nasi Padang itulah yang selalu menemaninya
dalam setiap perjalanan, meskipun hanya bayangnya. Aku masih saja
mendengarkannya. Tak terasa kita hampir menghabiskan satu bungkus
rokok yang baru saja dibeli. Ia beranjak, dan mengambil sepiring
gorengan. Tak ada yang mengambil. Kami masih kenyang. Aku baru tahu,
temanku perlahan di satu sisi itu yang membuatnya kuat untuk
menunggu, tapi aku melihat keresahan dan kepedihan di hatinya. Adakah
tuhan menciptakan hati yang hanya bisa menyimpan satu nama? Mungkin
ada, yaitu hati temanku itu dan juga mungkin aku.
Ia
merasa gilirannya sudah habis. Brengsek. Ini bagianku. Aku masih diam
saja. Aku sudah katakan di awal, ia sepertinya tahu perasaanku.
Dugaanku kali ini tak meleset. “aku dengar-denga baru saja usai.”
Ah, kalimat pembuka macam apa itu. Tak ada basa-basinya, meskipun
terkadang aku tak begitu suka basa-basi. Rasa-rasanya aku ingin
mengelak, tapi sepertinya percuma saja. Perempuanku sebelumnya adalah
teman baiknya juga. Tentu saja, ia sudah tahu apa yang terjadi di
antara kita dari perempuanku.
Oke,
aku mulai. Dia adalah perempuanku. Segala hal yang bernama keindahan
adalah dirinya. Yang bernama kesempurnaan adalah kita. Tapi dia
sekarang, adalah hal yang bernama kesudahan. Hubungan kita sebenarnya
tidak pernah benar-benar baik. Sejak awal memang kita mengambil
langkah yang kurang tepat, mungkin.. Aku yang terlalu terpukau
dengannya, dan dia yang sebegitu yakin padaku. Toh pada akhirnya,
segala hal yang berlebihan di dunia ini akan berujung kekecewaan.
Begitu yang aku pahami. Tapi apa salahnya berharap.
“Lalu
masalahnya apa?” tanyanya dengan tenang. Sepertinya ada, jelasku,
bahwa tuhan tak selalu memuluskan jalan hambanya. Mungkin ada juga,
bahwa tuhan menciptakan makhluk yang selalu gagal. Atau mungkin juga,
bahwa tuhan membiarkan makhluknya menjalani sesukanya. Karena di
titik yang terakhir tuhan hanya sebagai zat penenang yang selalu
mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Kami
terdiam di waktu yang cukup panjang. Mata kami menoleh kesekeliling.
Ada perempuan cantik kami lihat bersama-sama. Tapi kita sama-sama
tahu, pikiran kita tidak tertuju betapa seksinya pantat perempuan
yang baru saja lewat atau betapa montok payudaranya, bukan itu.
Kami
sadari, bahwa kami terjebak di rasa yang sama. Rasa dimana hati hanya
bisa menyimpan satu nama. Satu perempuan, belum bisa atau mungkin tak
pernah untuk yang lain.
Komentar