Cerpen - Gegara Isteriku Terbunuh


Tepat tiga tahun yang lalu, di simpang lima. Isteriku, dalam keadaan hujan lebat dan sedikit terburu. Dia meninggal dunia saat mengendarai mobil, ia menghindari seekor anjing yang tiba-tiba muncul di tengah jalan. Gegara itu, mobil terpelanting dan seketika itu mobil berkelok menghantam tiang listrik yang cukup besar. Isteriku terhimpit di antara tiang dan ringsekan mobil.

Begitulah kata pengantar buku pertama setelah isteriku meninggal. Aku sempat menghilang selama tiga tahun guna menghibur diri sendiri. Aku begitu sangat mencintainya dan dia parahnya sedang mengandung putera kami yang pertama, umur kandungannya hampir empat bulan. Kami sangat mengharapkan kehadiran putera kami, mungkin juga seorang perempuan. Itu bukanlah masalah. Buku pertamaku itu adalah semacam pergulatan diri, berbagai pemikiran dan kegelisahan selama menahun aku hadapi. Tiga tahun bukanlah waktu yang mudah untuk dilalui. Dilalui oleh orang pesakitan, siapa yang akan menyangka.


Selama tiga tahun setelah kejadian itu, aku memang menghilang, membenamkan diri di sudut bumi yang akupun sedikit lupa itu dimana. Aku kuras semua tabungan yang seharusnya kami persiapkan untuk anak kami, hunian yang selama ini menemani kami aku jual. Semua kenangan tentang dirinya aku hanguskan, termasuk seekor burung beo dan beberapa pot kecil bunga anggrek. Untuk yang terakhir aku tak tega untuk menghanguskannya. Selain isteriku benar-benar mencintai keduanya itu, aku pun tak sampai hati membunuh makhluk hidup. Akhirnya, sebelum aku menghilang, beo dan beberapa pot anggrek kuletakkan di depan rumah mertuaku. Dan sejak saat itu aku menghilang tanpa pamit siapapun.

Aku menyewa sebuah hunian kecil di tepian pantai asing di sudut pulau. Lebih mirip dengan gubuk. Seminggu sekali akan datang sang pemilik membawa pesananku, terutama makanan selama seminggu kedepan sembari membawa seorang perempuan. Sang pemilik sepertinya mengerti betul apa yang terjadi dengan diriku. Ia selalu saja menyodorkan perempuan pekerja seksual yang ia sewa dengan murah. Aku selalu menolak dengan berbagai alasan. Penolakannku dengan cara yang teramat ramah hingga terkesan marah sudah aku lakukan. Tapi ia tetap saja kukuh dengan niat awalnya. Setelah penolakannku yang teramat sangat, ia melenggang pergi dengan meninggalkan pesananku dan tentunya perempuan itu.

Hingga pada saat aku melakukan perlawanan selama hampir tiga tahun, aku mencoba meluluh gegara semua ini.

Kau sudah mengurung diri selama hampir tiga tahun nak, dan aku selalu membawakan hal-hal yang kau pesan hingga yang tidak.”

Nah pak, yang tidak kupesan sebaiknya dibawa kembali saja, aku tidak butuh.”

Kau selalu menjawab seperti itu, penolakanmu yang sama, awalnya aku mengira itu hanya alibimu saja, karena kau jawa dan sungkan untuk bilang iya. Ternyata aku salah.”

Maafkan aku pak, aku benar-benar belum bisa melakukan itu.”

Ya, mau bagaimana lagi kalau kau tak minat. Pantas saja, perempuan yang kubawa suka ketawa-ketawa, ternyata mereka tak kau pakai dan aku kepalang membayarnya.”

Bapak masukkan saja itu pada tagihanku, tambahkan dengan biaya sewa ini semua.”

Haha... mungkin sudah saatnya kau bangun nak sekarang.”

Aku tidak faham dengan maksud bapak.”

Sebenarnya uang yang kau punya hanya cukup untuk menghidupimu tak lebih dari satu tahun nak, tapi aku merasa ingin membantumu.”

Kenapa bapak baru bilang sekarang, aku akan mengemas diriku dan suatu saat aku akan menggantinya, aku janji.”

Tak perlu kau lakukan itu nak, aku sungguh meniat ingin membantumu.”

Kenapa pak, bapak bukan siapa-siapaku.”

Apa harus mengenal untuk membantu sesama.”

Tentu saja tidak, maaf pak.”

Nak, sudahlah. Aku akan kembali, aku sarankan, nikmatilah sedikit kehidupanmu, aku yakin isterimu tidak menginginkan dirimu seperti ini jika ia benar-benar mencintaimu. Oh iya, satu lagi, aku sudah membaca beberapa bukumu. Sempat membuatku sedikit muda. ”

Tapi pak...” Ia mengusap punggungku tiga kali yang membuat aku tak meneruskan ucapanku, ia keluar sembari sedikit berteriak.

Aku tinggalkan sesuatu untukmu di teras luar, tolong jangan sia-siakan. Dia sepertinya sedikit kedinginan menunggu kita selesai berbicara,”

Aku bergegas beranjak dari tempat dudukku, melihat keluar. Dan ternyata bapak masih saja membawakan aku perempuan. Aku suruh dia masuk. Dia juga suka kopi setelah aku tanya, sejurus kemudian kami duduk berhadapan di meja kecil berbentuk bundar di antara kami ada dua gelas kopi panas. Aku masih sibuk dengan diriku sendiri. Seperti sebelum-sebelumnya, hanya deburan ombak yang terdengar. Pendahulunya, para perempuan ini sedikit merayu, memamerkan buah biji di dadanya, hingga menanggalkan semua pakaian yang dikenakan dan menari di atas meja. Aku tetap saja tak beranjak dan bergejolak sedikitpun. Tapi yang ini beda.

Setelah diam diantara kita mencekam, aku sibuk dengan diriku sendiri. Dia tiba-tiba berdiri. Aku sempat berfikir ia akan melakukan hal yang sama seperti pendahulunya. Ternyata aku salah. Ia menuju tumpukan buku yang sengaja aku bawa, ia mengambil buku yang cukup tipis. Aku sempat melirik, di luar dugaan. Ia mengambil buku “bukan pasar malam” karya sang maestro Pram. Ia tak membukanya, untuk kedua kalinya, aku salah menilainya.

Ini buku pertama yang aku baca dari Pram, setelah itu ku lahap habis tetralogi buru dan yang lainnya.”

Tebakanku benar-benar salah, aku pikir orang seperti ini tidak akan mengenal Pram. Setelah itu, aku letakkan bukuku dan kuletakkan kaca mata tebalku.

Ah, maafkan aku sebelumnya.”

Tak perlu minta maaf, aku tahu, mana ada perempuan yang hanya menjual selangkangannya suka membaca buku, apalagi karya Pram.”

Iya, maafkan aku. Tapi sebelum-sebelumnya tidak ada yang sepertimu.”

“Haha... iya bung benar, tapi tak selamanya benar, toh buktinya, aku.” Ia mengangkat buku itu dengan sedikit berpose menonjolkan bentuk pantatnya. Aku sedikit menelan ludah.

Aku tak meneruskan pembicaraan, aku ambil bukuku lagi. Tapi aku tak membacanya, ini hanya sebuah alibi. Biar aku terlihat tak tergoda olehnya, sembari membuka buku aku berfikir. Brengsek juga perempuan ini, keren sekali. Ia tahu Pram, pun isteriku saja malas membaca Pram, terlalu detail dan lambat katanya. Isteriku adalah perempuan yang paling kugakumi setelah ibuku, tapi perempuan ini, di satu titik telah melebihi isteriku. Buru-buru aku benamkan fikiranku. Ini tidak boleh terjadi. Dan sekali lagi, ia menembakku dengan senapan laras panjang, tepat mengenai diriku.

Sudahlah, tutup saja bukumu, tak perlu mengelak. Pinggulku memang teramat seksi, matamu tak bisa berbohong.”

Haha.. haha.. haha.. “ aku tertawa, biar tak terlihat bodoh.

Sejujurnya, aku paling malas disewa untuk melayani laki-laki pesakitan sepertimu.”

Aku bukan pesakitan.” aku sedikit menaikkan nadaku.

Silahkan membela, mana ada laki-laki hanya karena ditinggal isterinya mengurung diri selama bertahun-tahun. Apa itu bukan namanya pesakitan. Haha...”

Tahu apa kau tentang diriku.”

Wahai penulis muda, semua tulisanmu sudah aku cecap habis. Lima tahun dengan tiga buku dan setiap minggunya ada saja cerpen dan artikel yang dimuat. Namun setelah isterimu meninggal, kau menghilang begitu saja. Aku sedikit kecewa dan menyesal telah membaca buku-bukumu.”

Kau hanya pembaca, tak berhak menghakimi penulis. Aku diluar itu.”

Iya aku fahami itu, tapi aku menyayangkan pemikiranmu, bukan dirimu. Ngerti?”

Aku terdiam. Aku tak menanggapinya. Aku sulut rokokku dan kuminum habis kopi yang sedari tadi sudah dingin. Aku keluar menuju pantai. Ia menyusul dan duduk disampingku.

Aku hanya berniat membantumu, aku sendiri yang mengajukan diri untuk menemanimu. Aku bercerita semua tentangmu kepada bapak. Bukumu yang di bapak juga karena pemberianku. Karena bapak diluar sana bercerita tentangmu, ia selalu khawatir dan mengharapkanmu agar segera bangkit.”

Entahlah, aku terlalu mencintai isteriku.”

jangan kira kau fikir bapak tidak mencintai anaknya yang meniggal terlindas kereta api.”

Apa kau bilang?” aku tertegun.

Bahkan orang yang merawatmu selama ini tak kau perdulikan.”

Aku benar-benar tak mengerti.”

Banyak orang bilang, anak bapak mati karena kecelakaan. Tapi juga ada yang bilang dia bunuh diri, entah apa sebabnya. Belakangan ada yang membenarkan anak bapak bunuh diri setelah mengetahui ibunya adalah sepertiku, dan meskipun bapak sudah menikahinya, ibunya memilih meninggalkan bapak dan tetap menjadi sepertiku.”

Terpaan angin tak terasa dingin. Namun hatiku sepertinya terlampaui dingin, mati mungkin. Ia merangkulku. Sembari berbisik.

Aku benar-benar berniat membantumu. Apa yang bisa aku lakukan untukmu.”

Aku memandangnya, mata kami bertemu. Sejurus kemudian bibir kami melekat satu sama lain. Dia sedikit berteriak ketika kurubuhkan di atas pasir. Setelah merasa cukup berciuman, aku angkat dia ke dalam. Malam itu, diriku telah kembali, rasa-rasanya.

Tapi entahlah, paginya aku merasa ada satu dua hal yang tak bisa kuterjemah satu persatu. Diantara kegelisahan itu adalah munculnya kehampaan. Aku merasa benar-benar hampa saat itu, jika dua tahun sebelumnya aku kehilangan diriku, hanya kosong, tetapi yang sekarang adalah yang teramat. Hampa, benar-benar hampa. Sampai-sampai aku pun tak bisa menuliskannya di atas kertas. Hanya seseorang yang benar-benar merasa hampa mampu memahaminya. Aku sulut rokok, disampingku ada perempuan tergeletak tanpa busana hanya berbalut selimut yang kita bagi berdua. Perempuan yang benar-benar tidak aku kenal. Yang aku maksud tidak kenal disini adalah bukan sekedar tidak tahu namanya, tapi jika dia sudah seperti ini, tidak seperti yang aku kenal tadi malam. Benar-benar aku tak mengenalnya. Bahkan ketika dia terbangun, dan memeluk menciumku, aku tak merasakan apa-apa. Hampa setelahnya yang kurasakan. Aku mencoba menutupinya, tapi seperti di awal, dia selalu bisa menebakku. Sejurus kemudian dia beranjak dan mencari pakaian dalamnya yang mungkin terselip di bawah tempat tidur dan pergi. Tanpa kata perpisahan. Selain pinggulnya yang masih menarik.

Setelah dia pergi, aku melihat seonggok mesin kotak di kolong meja. Aku ambil dan nyalakan. Aku memulai satu dua kata hingga mengalir dan menjadikan satu buku itu, buku pertamaku yang dikata penerbit buku semacam motivasi. Tak apalah. Kerjaanku setelah itu memang hanya menulis dan menulis apa yang sudah aku lewati selama hampir tiga tahun ini.

Dan efeknya, aku tak risih lagi untuk bercinta dengan perempuan yang dibawakan bapak. Tapi apa mau dikata, yang selalu datang dan dibawa bapak adalah perempuan itu. Perempuan penyuka buku. Aku sudah melupakan hal-hal yang membuatku terkesan ketika berkeinginan untuk tidur dengannya. Aku kandangakan seleraku bukan untukknya, meskipun itu sulit. Selama tiga bulan, ia yang selalu dibawa bapak untuk menemaniku. Sampai pada saat dia bilang sesuatu hal yang menurutku tak disangka.

Mas, aku akan selalu menemanimu sampai bukumu selesai.”

Apa pedulimu dengan bukuku.”

Aku tahu kamu, aku merasa mengenalmu.”

Tak usah sok mengenalku.”

Sudahlah sayang, aku akan menemanimu.”

Saat itu, setelah tiga tahun kejadian itu. Aku baru merasakan lagi kata-kata “sayang” yang begitu menenangkan. Aku mengalah dengan anggukan. Sampai bukuku jadi, hanya dia yang selalu menemaniku, pun tidak dibawa oleh bapak ia datang dengan sendirinya. Aku memang merasa nyaman disampingnya. Tapi semakin lama setiap hari bersama, ia semakin mengenalku. Dan pada saat aku sudah siap dengan naskahku. Puncaknya terjadi.

selamat tinggal, mungkin ini terakhir kalinya kita bertemu,”

Kau tak berniat menemuiku lagi?”

Ah, entahlah. Ini hanya semacam tempat singgah saja.”

Baiklah, memang nasibku perempuan penjual selangkangan. Akan aku teruskan saja hobiku.”

Kau berniat menyelesaikan semua ini denganku?”

Aku tidak bilang begitu.”

Maafkan aku.”

Tak perlu minta maaf, yang aku inginkan, kamu harus belajar jujur.”

Aku tak menanggapi ucapannya terakhir, tapi sepanjang jalan aku memikirkan kalimatnya yang terakhir.

***
Naskah diterima penerbit, meskipun sedikit dengan ejekan dari editor. Katanya, aku banting stir dari penulis pergolakan pemikiran menjadi penulis semacam motivator. Aku merasa sedikit malu, sepertinya aku ketinggalan dunia banyak. Tapi tak apalah. Tak dinyana bukuku laris. Itu semua aku bertemu dengan teman lama yang berniat sekali untuk memasarkan bukuku secara pribadi. Penerbit tentunya setuju, karena tim marketing di penerbitan kepalang sibuk untuk memasarkan bukuku. Setahun berjalan. Buku laris, karena genre motivasi, adalah hal semacam workshop dan seminar terkait buku itu pun diadakan. Seminar motivasi tentunya. Pesertanya banyak, semua punya kesedihan dan seolah-olah aku bisa menyembuhkan mereka dengan bukuku. Ada seorang perempuan tua mengajukan pertanyaan.

Aku selalu teringat bagaimana suamiku meninggal. Dan itu selalu membuatku tak bisa tidur nyenyak.”

Janganlah kau ingat seseorang bagaimana caranya dia mati, tapi ingatlah bagaimana dia menjalani hidupnya dengan begitu hebat.”

Sejurus kemudian tepuk tangan peserta meriuh mengisi ruangan. Aku terkadang tak percaya bisa menjawab pertanyaan bak Mario Teduh. Aku seperti satu-satunya orang yang bisa mengatasi kesedihan yang paling dalam. Mungkin dengan menghilang selama tiga tahun seperti itu menjadi legitimasi diriku untuk masalah satu ini. Peserta yang mengikuti seminarku kebanyakan berumur lima puluh tahun keatas. Dan ketika sesi tanda tangan buku, tak disangka ternyata mertuaku menjadi salah satu peserta.”

Bagaimana kabarmu nak? Sekarang kau menjadi lebih terkenal. Boleh aku berbagi cerita?”

Berbagi?”

Ya, ada seseorang yang usianya hampir enam-puluh tahun, ia akan segera menghadapi masa pensiunnya dan menunggu kelahiran cucunya yang sangat dinanti. Tapi tepat tiga tahun, tiga belas hari yang lalu puterinya meninggal. Ia dan isterinya begitu terpukul mendengan puterinya meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil. Bahkan setiap malam, ia dan isterinya tak bisa tidur. Tapi yang lebih disesalkan lagi, suami dari puterinya itu malah menghilang. Seolah ia tak punya masalah besar untuk menghadapi musibah ini.”

Maafkan aku.”

Aku dan isteriku tak menyalahkanmu, ini semua sudah aku anggap sebuah kecelakaan. Tapi setidaknya kau jujur dengan dirimu sendiri, dengan pembacamu, dengan peserta seminarmu yang begitu mempercayaimu. Yang semakin membuatku sedih bukan hanya kehilangan puteriku, tapi aku juga kehilangan puteraku, kamu begitu saja menghilang selama itu, kamu seharusnya bisa melewatinya bersamaku. Sudah nak, jangan bohongi dirimu sendiri. Selama ini kami mencarimu.”

Dan, pada sesi terakhir seminar ini. Aku mengungkapkan segalanya, bahwa di kata pengantar akan aku revisi semuanya. Bahwa bukanlah isteriku mati murni kecelakaan. Tapi sesungguhnya akulah yang mengemudi saat itu. Akulah yang membunuh isteriku. Dan aku selama ini tak bisa mengakuinya. Aku membohongi semuanya.

Aku menemukan kebohonganku selama ini, benar yang dikata perempuan itu. Usai acara aku bergegas mencari perempuan itu. Dan kabar dari teman sepekerjaannya bahwa ia sudah berhenti setelah menemani berbulan-bulan penulis di tepian pantai. Ia sedang hamil sekarang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku, Pesta dan Cinta : mengenang kembali Soe Hok Gie

Syakal dan I'jam

Sejarah Fatayat NU "Cabang Jepara"