Cerpen - Malam Merindu

Kembali aku buka memori. Tentang aku dan kamu. Dimana kita bertemu dan disatu padankan dalam sebuah janji. Yang kita ukir bersama penuh sakral melalu ikatan jari kelingking. Pertanda keseriusan dan tak ada kata main-main. Di atas tebing yang teramat tinggi. Yang mana di bawah ada sungai berair biru langit. Entah arusnya deras atau tidak, kita hanya menebak, karena dari ketinggian tak terlihat.

Pada hari itu, aku tak jemu di dekatkan dengan dirimu. Mendengar suara-suara terkecil darimu. Senyum dan sesekali sebalmu malah membuatmu terlihat semakin cantik. Benar-benar cantik. Dalam balutan kerudung putih nan tipis membalut rapi membungkai manis indah dan wajah manismu. Balutan penghangat tubuhmu itu berwarna pink. Apapun yang kau kenakan hari itu, teringat betul dalam memoriku. Kau sangat manis sayang.

Mendengarkan ceritamu. Sesekali membuatmu sebal. Kemudian bercerita lagi di mulai dari hal paling temeh sekalipun sampai hal terpenting: janji kita. Janjimu sayang. Karena hatimu tak perlu merupa ragu pada diriku. Sejak hari itu, sejak di ketinggian tebing dan angan kita sayang. Aku sudah mematri hatiku. Teruntukmu. Hanya untukmu. Itulah mengapa hal terpenting ini adalah janjimu. Karena semua bergantung padamu. Aku yang selalu menunggumu.


Kapan kita bisa menghabiskan waktu sedemikian banyak seperti hari itu sayang? Menahun telah berlalu. Aku yang masih menjaga janjimu. Begitu juga denganmu, aku yang berharap. Selama itulah aku selalu meneguhkan hatiku padamu. Meskipun kau tak selalu menanyakan hatiku. Tak selalu ada di saat-saat dimana seharusnya kau ada di sampingku. Begitu juga denganku, yang tak ada di tempat semestinya ketika kau membutuhkanku. Aku selalu ingin menjadi yang kau butuhkan.

Menahun menyimpan rasa dalam hati. Bahkan tak seorangpun tahu hati kita masing-masing. Tapi seolah mereka tahu, apa yang terjadi di antara kita. Meski kau tak pernah bilang ke siapapun, begitu juga aku. Tapi aku akan selalu meneguhkan hatiku sebuah nama. Hanya kamu, ketika ada yang menggoyah keteguhan dalam hati ini. Aku sangat berharap kau juga begitu. Dengan dirimu yang merupa sebuah kedirian sejati.

Jika ada yang tanya, kapan terakhir kita bertemu dan menghabiskan waktu bersama. Mungkin kita akan berusaha mengingat dengan keras waktu itu. Karena kita menjelma menjadi jarak yang tak perlu diukur, meskipun jauh. Entah kau yang sibuk atau aku yang terlalu asyik dengan duniaku. Tapi yang paling pasti, kau selalu ada di hati. Dan hanya satu yang lebih tinggi di hatiku daripada kamu: ibuku. Kau juga sepakat untuk itu. Ibu adalah segalanya.

Sejak aku selesai kuliah. Sontak saja kita sudah dipisahkan jarak dan waktu. Kau yang masih berusaha menyelesaikan hal temeh di kampus dikarena kau salah perhitungan. Sedangkan aku masih sibuk mencari diriku, mewujudkan cita-cita idealismeku sembari mengumpul rupiah demi rupiah. Aku tak pernah berfikir untuk terlalu kaya. Cukup saja, aku kira kau sepakat dengan yang terakhir itu.

Mengumpul rupiah demi rupiah untuk kesenangan dan tuntutan kehidupan urban adalah satu dari beberapa yang aku benci sayang. Tapi aku sadar, mana mungkin aku akan melamarmu. Bertemu kedua orangtuamu yang tak kalah sayangnya denganku. Meminta dengan amat sangat terhormat. Meminangmu. Jika aku tak punya beberapa setumpuk rupiah. Maka, sabarlah sayang. Jagalah hatimu untukku. Serupa persis yang kau minta padaku dulu. Kau yang menjaga hati. Aku yang sedang berusaha.

Dan malam ini. Ketika aku menuliskan semua ini. Aku sangat merindumu sayang. Kau tahu, di kota ini begitu gersang tanpamu. Terkadang, tanpa kau sadari, kau mampu membuat hariku genap dan utuh. Dengan semangat dan lain-lainnya. Mungkin kau tak menyangka. Dirimu yang merupa di dalam foto telephon genggamku. Menjelma menjadi tampilan depan sanggup membuatku, yang sebenarnya hanya melirik waktu, kembali utuh. Bersemangat. Tapi berbeda dengan malam ini. Aku benar-benar tak bisa tidur. Kemudian aku melihat kembali saat-saat pertama kita di ketinggian hingga mematri jari kelingking kita.

Kau adalah segala hal yang bernama keelokan. Sedangkan kau dan aku adalah pengejewantahan dari sebuah kesempurnaan. Aku yang sedang di kotamu sayang.

Yang hanya tahu, hanyalah dirimu kapan malam ini, kapan aku menuliskan ini. Tertanda sebuah pesan singkatku yang tak kau balas. Mungkin kau sudah tidur. Pesanku merupa “Ah iya, aku rindu kamu”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku, Pesta dan Cinta : mengenang kembali Soe Hok Gie

Syakal dan I'jam

Sejarah Fatayat NU "Cabang Jepara"