Semacam Luka Yang Tak Tuntas : Sebungkus Pesan
Aku
salah satu orang yang paling malas mengingat sebuah goresan bernama
luka. Mungkin sebagian orang tanpa menyadari mengartikan bahwa “luka”
ada untuk diingat, dihujat dan menjadi sebuah kenangan yang mana
dengan sekuat tenaga ingin menghapusnya justru malah semakin membekas
dalam. Tidak demikian denganku, aku adalah lelaki yang tak pernah
memelihara luka lebih lama dari hitungan menit ataupun detik. Bagiku
luka adalah salah satu hal remeh yang diciptakan manusia itu sendiri
yang beranak dari perasaannya yang tak sesuai. Andaikan tak ada
perasaan, mungkin kita tidak akan dilahirkan untuk merasakan luka dan
memeliharanya.
Meskipun
aku tak percaya luka, tetapi banyak sekali peradaban di dunia ini
yang berawal dari luka. Mungkin Polandia akan tetap menjadi jajahan
Jerman dan tak kunjung mendapat kemerdekaan apabila tidak disulut
oleh luka yang diberikan dari seorang Hitler. Kita juga tak akan
melihat Muhammad Ali Jinnah membentuk negara sendiri apabila ia tak
diberi luka karena tidak adanya kesepahaman dengan Gandhi setelah
lama berjuang bersama, begitu juga antara Fidel Castro dan Che
Guevara. Tapi yang jelas luka tak hanya tercipta untuk dikenang dan
dihujat, tetapi luka juga mengajari kita untuk melawan dan memilih
jalan. Tapi tidak semua orang bisa demikian, mungkin memakai istilah
populer sekarang adalah “gak bisa Move On”. Itu
bukanlah suatu alasan untuk melawan luka, sebagian yang lainnya
menyikapi luka dengan cara memecundangi hidup itu sendiri dan
sesekali melupakan kesucian agama sekalipun. Bukankah
setahuku hanya manusia dan babi yang menggunakan seks sebagai sebuah
perayaan atas apapun. Tapi percayalah, aku tak bermaksud menyamakan
kita dengan babi. Mungkin sebagian ada, entahlah.
Baru
saja semalam, tepatnya dini hari aku mendapat pesan melalui what'sup
dari seorang karib. Benar-benar karib, entah aku lupa kapan kita
begitu menjadi intim dan sentimentil bersama menyikapi kehidupan ini.
Yang pasti ia adalah orang yang mempunyai pemaknaan lain dalam
menyikapi hidup ini. Bahkan
kita sepakat menyikapi hidup ini dengan “Selo” dalam
bahasa Jawa yang artinya Santai dengan penuh pemaknaan tentunya.
Isi pesannya ini:
“Tak
ada seks
yang
akan kau nikmati tanpa cinta. Wanita ini sedang tertidur
pulas disampingku Am.
Tanpa selembar kainpun menutupi tubuhnya. Sangat mudah Am
memanfaatkan luka wanita. Kau hanya perlu tampil bijaksana
didepannya,
ajak dia berbicara tentang luka dan sediakan alkohol untuk membuka
semua rahasia. Maka kalian akan menjadi sekelamin binatang purba.
Tapi bukan ini yang
sedang aku risaukan. Tapi sekali lagi tentang
tengiknya hidup Am.
Terlalu banyak wanita yang
datang padaku dengan luka yang
menganga. Dia akan bercerita tentang
betapa tengiknya dunia menghianati dia. Dia juga akan tiba-tiba
menangis haru, seakan yang
ada di depanya hanya sembilu. Tapi aku akan selalu ceritakan satu
wanita untuknya Am.
Adalah Simone de Beauvoir yang
pernah menolak ajakan menikah Jean Paul
Satre,
karena baginya menikah hanya akan menimbulkan tirani baru. Tapi
Simone
tidak menjawab itu dengan sembarangan, dia pernah menikah dan
pernikahan itu terjadi sangat singkat dan dia bersyukur karena mereka
berpisah karena Simone
yakin bahwa yang dia rasakan atas pasangannya adalah suka dan sama
sekali bukan cinta. Simone ini keukeuh mempertahankan pendapatnya
bahwa setiap individu haruslah membuat pilihan-pilihan dalam hidupnya
berdasarkan pemikirannya
dengan penuh kesadaran. Simone sangat menentang lembaga perkawinan
Am,
hingga dengan gagah berani menolak menuruti ajakan kekasihnya untuk
menikah. Bahkan dalam bukunya yang ia tulis untuk mengenang
kekasihnya itu, ia menulis “Kematian
tak akan sanggup membuat kita bersatu lagi dan kita telah mampu hidup
bersama dalam harmoni begitu lama”. Dan aku selalu bilang saat para
wanita itu terbangun. Kita hanya menikmati senggama untuk
memecundangi
dunia. Dan meludahi betapa bodohnya orang yg telah menyakiti kita.
Mungkin kita harus mulai lupa tentang
kejadian hina dimalam tadi. Karena malam tadi
kita sedang menertawakan norma. Meludahi bodohnya mentalitas agama.
Dan hidup sejenak dalam sebenar-benarnya
dunia maya. Esok setelah kita tak jumpa kita harus sama sama berkata
selamat datang kesakitan aku akan menikmatimu
dengan menjadi pegas. Setiap luka yang
diberikan oleh dunia akan aku pentalkan. Aku telah mengerti menjadi
tegar, menjadi liat. Aku siap.
Mungkin
benar Am
hidup hanya perihal menunda kekalahan. Tapi apa yg lebih indah dari
memperjuangkan keyakinan.”
Begitulah
pesan dari karibku, aku masih ingat betul karena yang mengantarkan
kepada perempuan itu adalah aku, setelah sebelumnya kita menikam
waktu dan berharap berhenti sejenak sehingga kita tak perlu
memikirkan hal-hal yang mengekang hidup di warung kopi kebiasaan
kami. Tapi itulah luka, itulah kesakitan dan pada akhirnya yang
tersisa dan tanpa melukai adalah kematian. Karena kematian yang
membuat kita tak bisa memilih apakah kita yang meninggalkan atau yang
ditinggalkan. Tak
mungkinkan aku menceritakan akhir kisah Titanic, siapakah yang pantas
di atas papan atau yang kedinginan di laut, apakah Rose ataupun Leo?.
Kalian tentu tahu kisah itu.
Tapi
aku pernah berfikir, luka tercerca karena kita mencipta satu hal lagi
yang kepalang
brengsek dan tengik dalam
hidup ini
yaitu “Harapan”. Sebagian dari kita meyakini hidup ini ada karena
sebuah harapan, tapi tidak denganku, aku menganggap harapan adalah
hal tengik yang menjadikan kita harus bekerja, berangkat
pagi dan pulang sore
dan
harus
bersusah payah guna
tercapainya
harapan masing-masing. Kalian boleh menyebut aku adalah manusia yang
tak memiliki harapan sekalipun. Itupun kalau kalian menyebut Kami
(aku dan karibku tadi)
yang memanfaatkan luka hanya sekedar untuk kesenangan bahkan seks
sekalipun. Tapi terserahlah, Aku masih ingat pesan yang disampaikan
melalui monolog panjang Brad Pitt dalam filmnya yang keren “Fight
Club” ia berpesan Bahwa kebebasan yang sesungguhnya adalah ketika
kita berani melepaskan harapan dari diri kita. Kurang lebih demikian,
Percaya saja padaku, bukankah kita manusia-manusia yang
dibesarkan melalui media massa, kebebasan meracau hanya
dengan 140
Karakter, lalu setiap hari menjawab pertanyaan bodoh
“Apa yang kau pikirkan” di sosial media yang kita percayai
tinimbang keluarga sekalipun. Dan lebih tengik lagi, Kita dibesarkan
oleh televisi
dan media lainnya untuk percaya bahwa kelak kita menjadi aktor
terkenal seperti Tom Cruise-Angelina Jolie atau menjadi jutawan
dengan mendiami rumah mewah yang ditawarkan Fenny Rose sekalipun.
Ahh, itu semua kita tahu bahwa
tidak mudah mendapati itu semua, tapi bodohnya kalian, kecuali
aku. Meyakini bahwa itulah tujuan hidupmu dan rela mengorbankan
kebahagiaanmu yang pada akhirnya membawamu menjadi asing pada diri
sendiri.
Sampai
sekarang aku masih bertanya-tanya, apakah luka dan harapan memang
sengaja kalian ciptakan untuk menyikapi hidup yang tak berarti ini?
Sila pilih ingin menjadi seperti apa kalian? Apakah rencana hidupmu
hanya sampai sebatas lulus kuliah, cari kerja lalu menikah dan punya
anak? Apakah sebatas itu? Ataukah memperbaik diri guna menjadi
binatang yang hidup dalam kotak plasma ajaib dan menghibur kami yang
tak bisa seperti itu? Ahh Sudahlah, aku terlalu meracau perihal ini.
Yang jelas Hidup adalah dimana kita berani mempermainkan luka dan
harapan lalu nikmatilah. Itu yang terpenting “nikmati”. Jangan
sampai kaya binatang yang tak bisa menikmati dirinya sendiri.
Mungkin
kita bisa memulai dengan memenangkan hal kecil apabila kita memang
tunduk pada harapan dan menyerah pada luka. Sekuat apapun aku
melawan, tetap saja tiap hari akan terdenga ocehan aneh dari twitter
dan facebook. Tetap saja wali menyanyikan lagu yang miskin makna dan
estetika terlebih lagi ada ustad yang miskin khazanah akan tetap
menyapa pendengarnya dengan “jamaah ooh jamaaah” lalu si botak
Mario Teduh tetap akan bilang diawal acaranya hingga kiamat “Wahai
sahabatku yang Kuper, eh Super”. Jangan terlalu percaya pada
harapan!!!
Komentar