Perempuan Bunga Kopi | Cerpen
Dub sedang duduk di kursi yang nyaman, di sebuah kedai kopi yang tak begitu ramai dan juga tidak terlalui sepi di bilangan sepanjang Selokan Mataram Yogyakarta. Ia sedang khusyuk menghisap rokok dan menekuri satu buku Cinta Tak Pernah Tepat Waktu-nya Puthut Ea. Namun di mejanya ada beberapa buku bertumpuk tidak rapi di antaranya The Stranger-nya Albert Camus, Arus Balik-Pramoedya Ananta Toer dan Sejarah Tuhan-nya Karen Amstrong.
Maklum, lelaki yang rambutnya sedikit kriting dan perut yang tambun memang pembaca buku yang tekun. Ia juga pernah menjadi aktivis kelas wahid dan ketua organisasi literasi di kampusnya.
Semua tempat duduk di kedai kopi tersebut penuh, hanya kursi di meja Dub saja yang kosong. Ia sedang sendirian. Ia tak juga sedang menunggu Nyuk dan juga tak berharap ada teman yang datang menyusulnya.
Beberapa lembar buku dan secangkir kopi sudah dinikmatinya, tiba-tiba lagu yang sebelumnya adalahEfek Rumah Kaca, berganti dengan Payung Teduh. Mengalunlah lagu merdu dan sendu serta meneduhkan dari pengeras suara kedai tersebut. Mengisi celah ruangan, di kolong meja, di bawah kursi, di dalam kenangan dan menyatu dengan aroma khas kopi tradisional.
Saat sedang asyik-asyiknya menikmati seuasana, muncullah seorang perempuan. Ia memakai kacamata hitam yang pas sekali dengan wajahnya yang putih, memakai cardigan panjang berwana blues, dan ada syal panjang membungkus lehernya, kemungkinan itu rajut dari Sumba atau Flores. Celana pensil berwarna abu-abu membalut kakinya yang semampai. Rambutnya dibiarkan terurai, beberapa menjadi poni yang indah.
Seperti ada panggilan Tuhan, di saat itulah mata Dub teralihkan dari bukunya tertuju pada perempuan manis yang sedang berdiri di depan meja barista mencari kursi duduk itu. Namun, Dub tetaplah Dub yang kita kenal. Laki-laki yang selalu bingung dan canggung menghadapi makhluk Tuhan bernama perempuan. Ia selalu merasa sebagai lelaki yang tak pantas dilirik oleh perempuan manapun. Padahal,jika dicermati dengan sungguh-sungguh, paras Dub mirip dengan Tom Cruise versi kriting dan gemuk, dan pesonanya tak kalah dengan Nicholas Saputra ataupun Ariel Noah.
“Maaf, kursi ini kosong? Boleh bergabung?”
Dub mengangguk pelan dengan penuh kesantunan dan pesonanya. Ia jelas tak tahu harus berbuat apa selain mengangguk. Payung Teduh sudah sampai pada lagu keberapa Dub sendiri lupa, tapi yang jelasResah-nya Payung Teduh sedang mengalun merdu saat itu. Tiba-tiba setelah duduk, si perempuan tersenyum kecil.
“Ini lagu favoritku, kau tahu lagu ini?”
Dub menggeleng, karena ia merasa lebih baik menggeleng daripada mengangguk. Sangat tidak mungkinDub tidak mengenal Payung Teduh. Setiap kali air matanya mengucur, Payung Teduh-lah yang paling setia menemaninya.
”Gila ya, Payung Teduh bisa bikin lagu sebrengsek ini, liriknya mengandung magis, mereka mungkin lebih dari seorang musisi, mungkin filsuf kesedihan yang pandai bermusik”
Si perempuan dengan semangatnya menceritakan keelokan Payung Teduh. Rasa-rasanya Dub akan jatuh cinta, buku sudah ia tutup dengan canggungnya mencoba menjadi pendengar yang baik. Di tengah-tengah kekhusukannya mendengar, tiba-tiba dari wajah si perempuan terpendar cahaya. Perlahan cahaya tersebut mengitari rambut, bahu, juga dada yang gemas, lalu ke perut yang rata dan mengelilingi seluruh tubuh si perempuan. Mendadak si perempuan tampak seperti bidadari. Dub gemetar keras.
“Kamu itu sedang membaca apa?”
Pertanyaan si perempuan membuyarkan Dub yang hampir terbang ke surga. Kembali kakinya menginjak tanah dan nafasnya sedikit tersengal ketika akan menjawab.
“Ini buku ekonomi kah?”
“Menarikkah belajar ekonomi?”
Dub tak kunjung sempat menjawab, kecepatan pertanyaan si perempuan itu rasa-rasanya lebih cepat dari kecepatan cahaya. Di tengah kegugupan ini, tak ada seorang laki-laki pun yang akan tampak pintar.
“Ini novel bagus”
Dub menjawab sekenanya. Sejurus kemudian Dub menyulut rokoknya. Berharap gugupnya ikut terbakar.
‘Aku ingin berdua denganmu, di antara daun gugur.
Aku ingin berdua denganmu, tapi aku hanya melihat keresahanmu.‘
Sang perempuan ikut bernyanyi. Merdu, pikir Dub.
“Kamu kok sendirian?” tanya si perempuan.
“Iya sendirian, sengaja memang. Teman-teman lagi ada acara diskusi di kampus, aku gak begitu suka diskusi. Lha mbaknya kok sendiri juga?”
“Iya sengaja sendiri juga, ingin minum kopi sendiri”
Dub cuma bisa tersenyum.
“Jangan-jangan sedang ada masalah dengan pacarnya ya?” tanya Dub tiba-tiba mengagetkan si perempuan yang sedang mencicipi kopi pesanannya yang baru datang.
“Ha...ha.. kok tahu?”
“Ummmm. Pernah jadi pemimpin di sebuah organisasi?” kejar Dub
“Wah, kamu Peramal?” Si perempuan tertawa. Menampakkan deretan gigi yang putih, bersih, cemerlang.
“Soalnya saya pernah baca. Dari penelitian tahun 2014 terhadap seribu orang yang minum dan datang ke kedai kopi, bisa ditarik garis besar sifat dan karakter seseorang berdasar pilihan pakaiannya. Hehe...”
Dub bersyukur, bisa berkata demikian. Rasa gugupnya seolah-olah benar-benar hilang sembari asap rokoknya yang mengembang di udara. Kini ia mulai mengeluarkan jurus dan pengetahuannya untuk membuat si perempuan terpesona: filsafat dan sejarah.
Selang beberapa waktu, tak jarang si perempuan tertawa lepas. Dub berkali-kali membenarkan rambut dan posisi duduknya. Si perempuan benar-benar tampak antusias.
“Oh ya?” si Perempuan tampak antusias dengan cerita Dub. Namun siapa yang nyana itu adalah sebuah pertanda. Tanda perempuan akan segera pamit
“Kukira Kamu pendiam. Tapi kalau sudah mulai bicara, kau mempesona.”
Dub tersipu, pipi gemuknya memerah, dadanya berdesir dan polah kakinya belingsatan. Kopi pesanan si perempuan sudah tandas, punya Dub masih setengah.
“Aku harus pulang. Ada beberapa temanku ingin ke kos”
“Oke duluan saja”
“Tapi aku bisa ketemu kamu lagi?”
“Bisa kok. Atur aja waktunya.”
“Hmmm. Aku punya permintaan. Boleh pinjam bukumu?”
“Untuk?”
“Sekedar jaminan kalau kamu tak akan ingkar janji.”
Dub tersenyum lebar, merasa memenangi sesuatu. Ia menyerahkan sebuah buku karya Puthut Ea. Dengan segera buku yang sudah sedikit lusuh berpindah tangan.
“Kamu pernah dengar Silampukau atau Dialog Dini Hari?” tanya si perempuan.
Dub masih pura-pura dengan kebodohannya menyoal musik. Ia menggeleng.
“Mau dengerin gak?”
Dub segera mengangguk.
“Aku kasih rekomendasi ya. Dengerin lagu-lagunya. Cari di Youtube bisa kok. Nanti kasih pendapatmu soal itu. Biar kita ada bahan obrolan saat bertemu lagi,” ujar si Perempuan sembari menyerahkan secarik sobekan kertas bertuliskan nomer telepon selulernya. Dengan sebaris nama.
Sesaat setelah perempuan pergi, tubuh Dub ada yang menggoyang-goyang.
“Dub... Dub... Dub.... “
Ternyata tangan Nyuk yang menggerakkan tubuh Dub,
“Jadi ngopi tidak? Jangan tidur terus...!!”
Dub ingin misuh, tapi enggan. Ia justru kentut berharap kekecewaannya hilang seiring bau kentut yang berhembus ke segala arah.
Shidqi Ni'am
*pertama kali terbit di dubnyuk.com
Komentar