Kehidupan Yang Bukan Segalanya | Cerpen
Pertemuan saya dengan Asih terjadi
beberapa tahun yang lalu. Sebagai seorang perempuan ia cukup menarik
dengan segala apa yang ia miliki. Mulai dari rambut yang tergerai
biasa dengan jepit kecil di kapala bagian kanannya. Bajunya pun
seperti kebanyakan perempuan, tak begitu seksi namun serasa pas
dengan kelonggaran yang wajar. Dari gaya bicaranya pun sopan dan tak
terkesan menggurui. Meskipun ia sudah menamatkan pendidikan sebagai
sarjana ilmu sosial. Justru dari cara bicaranya, menyampaikan
gagasannya itulah ia menjadi menarik. Setidaknya buat sebagian
laki-laki yang sepekerjaan dengannya. Karena jika melihat dari segi
penampilan dan fisiknya saja, Asih tidak tergolong perempuan yang
bikin laki-laki melirik. Namun jika mengenalinya secara mendalam.
Hampir tidak ada alasan bagi saya untuk tidak menyukainya. Pun dengan
teman sejawat lainnya.
Kedekatan saya dengan Asih adalah
sebuah keberuntungan. Selain dalam satu divisi yang sama dalam
pekerjaan. Kita juga sering bercanda berkelakar di luar pekerjaan.
Itu yang membikin beberapa teman yang juga menaruh perasaan suka iri
kepada saya. Namun mereka tidak tahu, bahwa kedekatan ini juga bukan
sebuah kemenangan. Saya dan Asih terlanjur menjalin hubungan sebagai
seorang sahabat karib. Ya, karib. Ya, meskipun beberapa orang akan
bilang ini omong kosong. Namun nyatanya memang demikian. Seringkali
saya mengutarakan ketertarikan kepadanya. Ia justru akan berkelakar
sambil memainkan es teh dengan sedotan ke arah muka saya. Banyak hal
lain yang menjadikan saya tidak mungkin untuk menjalin hubungan yang
lebih dari sekedar sahabat. Dan pada titik terakhir inilah yang tidak
dilihat oleh teman sekantor kami.
Pada kenyataan yang lain adalah Asih
sudah memiliki kekasih. Dan kekasihnya juga sahabat saya semenjak
kuliah. Saya juga yang mengenalkan mereka. Waktu itu Asih memaksa
untuk ikut saya ngopi bertemu beberapa teman. Tak berdaya saya
menolaknya. Saya kenalkan dan singkat cerita Asih menjalin hubungan
dengan salah satu sahabat saya. Tentu tidak perlu saya ceritakan
bagaimana proses mereka menjalin asmara yang mana saya dalam posisi
serba tidak enak, yaitu penghubung keduanya.
Tapi jika dipikir lebih jauh, cocok
betul Asih dengan sahabat saya itu. Selain dia sedang berusaha
menyelesaikan tesis dan sebentar lagi novel pertamanya akan terbit.
Sahabat saya orangnya cukup pendiam. Pendiam dalam arti tak pernah
bergaul atau menjalin hubungan asmara dengan perempuan. Asih adalah
kisah asmara pertama kali. Seringkali sahabat saya juga bercerita
tentang kendala dia terhadap banyak permepuan sebelum bertemu Asih.
Sehingga saya bisa menyimpulkan bahwa karena keasyikan Asih lah
sahabat saya mudah menjalin asmara dengannya.
Siapa yang nyana. Bahwa karib saya
benar-benar cinta mati kepada Asih. Ia mengabarkan dan sekaligus
minta tolong kepada saya untuk menguruskan beberapa keperluan terkait
dia akan melamar, atau setidaknya bertunangan dengan Asih. Berbeda
dengan Asih yang mengabarkan kepada saya dengan tertawa ngakak, namun
jelas dari sorot matanya mengabarkan sebuah kebahagiaan.
Pertunangan sudah terlaksana dengan
lancar. Yang tak terduga adalah ketika bapak sahabat saya melamar
Asih melalu keluarganya. Beliau bilang “Kami akan bersyukur jika
lamaran kami diterima, jika ditolak juga tidak apa-apa, anak saya
sudah terbiasa ditinggal menikah.” Mendengar itu saya ingin
terrtawa ngakak. Namun situasinya tidak mendukung itu. Saya menduga
Asih yang menguping dari dalam rumah juga ingin mencari saya untuk
ngakak bersama. Namun semua berjalan lancar, lamaran diterima tanpa
ada yang ketawa ngakak sekalipun. Saya percaya betul niat sang bapak
untuk mencairkan suasana. Saya hargai sikap humoris bapak. Salut.
Namun lebih jauh, dari cerita Asih di
sela pekerjaan kami. Ia mengatakan menunda pernikahan paling cepat
satu tahun lagi. Atau setidaknya sahabat saya menyelesaikan tesisnya
dan wisuda. Saya mengira Asih menunda pernikahan untuk tidak digelar
sesegera mungkin adalah keinginannya untuk melajang dan
bersenang-senang terlebih dahulu. Namun semua itu salah. Di titik ini
saya belajar banyak hal dari Asih.
Di era sekarang banyak sekali
ustadz-ustadz instan yang mungkin belajarnya juga instan. Beberapa
dari mereka ada yang setiap dakwahnya adalah menolak pacaran. Saya
juga faham bahwa pacaran tidak melulu baik. Tapi dari sang ustadz
adalah menyegerakan sebuah pernikahan. Para perempuan didoktrin untuk
segera menjadi ibu dengan menikah. Menikah dan menikah. Berapapun
umurnya sekalipun masih di awal angka dua puluh. Hal ini yang juga
menjadi landasan beberapa teman saya yang berjilbab besar selalu
menautkan keinginannya untuk segera menikah meski belum punya
pasangan. Mereka percaya bahwa nanti akan laki-laki yang akan
langsung mengajak menikah. Bahagia bagi saya bahwa mereka begitu
mudah mengonsepkan sebuah pernikahan itu terjadi.
Belum lagi keluhan-keluhan perempuan
cengeng yang ingin segera menikah dan tak perlu lagi bekerja. Karena
mereka faham betul bahwa dalam sebuah pernikahan snag laki-laki
memanggul tanggung jawab sebagai pemberi nafkah baik lahir maupun
batin. Perempuan-permepuan seperti ini biasanya ketika bekerja dan
ketika lelah datang ia akan dengan mudah bilang ingin menikah saja
biar tak perlu bekerja. Padahal jika dipikir menjadi seorang ibu
bukanlah pekerjaan yang mudah, kepalang sulit malahan.
Dari keadaan seperti itulah, Asih tidak
termasuk keduanya. Ia sadar betul ketika sudah menikah, kewajibannya
bukan lagi kepada orang tua, melainkan kepada suami. Namun, ia masih
memiliki lima adik yang masih harus sekolah dan kedua orangtuanya
tidak lagi produktif betul untuk bekerja dan menghasilkan uang. Dari
situ Asih mengambil sikap untuk bekerja sekuat tenaga demi
adik-adiknya. Di sisi ini saya semakin kagum dengan Asih. Dan Asih
secara terang-terangan belum siap untuk menjadi seorang istri dan
ibu. Oleh sebab itulah ia meminta untuk menunda pernikahannya.
Karib saya tak pernah henti-hentinya
menceritakan segala keajaiban yang dimiliki Asih. Mulai dari
kebaikan, pengertian dan hal-hal lainnya. Saya mendengar itu
tersenyum saja. Merasa bahwa sahabat saya itu orang yang paling
beruntung mendapatkan Asih.
Dua bulan setelah itu saya pindah area
kerja dan kota. Sehingga jarang sekali bertemu Asih dan kekasihnya
yang juga sahabat saya itu. Terkadang berbalas pesan pun tak seasyik
ketika bertemu langsung., selain pekerjaan juga jarak yang
mempengaruhi.
Hampir satu tahun saya tidak mendengar
kabar mereka berdua. Lalu sebuah pesan masuk. Benar, dari Asih. Ia
mengabarkan dan sekaligus mengundang saya untuk mendatangi pesta
pernikahannya. Saya sontak saja berhambur kata selamat, do'a dan
juga beberapa cemooh yang biasa kita lakukan dulu. Saya melakukan itu
semua sebelum melihat dengan jelas foto undangan pernikahannya. Bahwa
nama mempelai putra bukanlah nama sahabat saya. Saya urung bertanya.
Saya berfikir sejenak. Namun dugaan-dugaan yang masih dalam otak saya
abaikan saja dan saya berjanji akan mengusahakan datang pada hari
pernikahannya.
Tepat hari sebelum Asih melangsungkan
pernikahan esoknya. Dan saya juga sedang melipat baju untuk mengejar
kereta nanti malam Asih mengirim pesan dan meminta ijin untuk
menelpon. Wah, ada apa ini, pikir saya. Beberapa saat kemudian suara
Asih terdengar dengan kata pertamanya adalah halo, dengan suara cukup
sendu. Inti dari pembicaraan itu adalah Asih menitipkan, sekali lagi
katanya, maaf kepada sahabat saya yang ia tinggal menikah itu.
Keluarga Asih memutuskan untuk mengahiri pertunangan dengan keluarga
sahabat saya. Ia menikah dengan pilihan orang tuanya. Ia tak berdaya
menolak. Ia sudah memperjuangkan kekasihnya itu. Namun entah mengapa
pendapat kedua orangtua Asih terdengar logis dan masuk akal
didengarnya.
Bahwa kenyataannya, keluarga Asih ragu
dengan pekerjaan serta penghasilan sahabat saya yang seorang penulis
tanpa pekerjaan tetap. Sedangkan adik Asih yang berjumlah lima butuh
juga sekolah yang tinggi. Dan laki-laki yang menikahi Asih adalah
segala hal yang berkebalikan dengan sahabat saya.
Dan satu kalimat penutup dari Asih yang
membuat saya urung untuk mendatangi pernikahannya adalah “Seharusnya
aku menikah denganmu.”
Komentar