Cinta ala Erick Fromm

***
Perlu sekiranya diketahui, bahwa Erick adalah murid dari Sigmund Freud. Namun tak sedikit yang tidak sependapat dan juga mengkritik guru. Meski belakangan banyak yang mengkritik Freud. Salah satunya adalah kecenderungan psikoanalisis Freud yang cenderung selalu kembali dan bermuara pada selangkangan, ya, seks. Erick juga memiliki pemikiran psikologi sosialnya sendiri. Seperti contoh ketika laki-laki sendiri dipastikan tidak akan berani menggoda atau catcalling kepada seorang perempuan. Namun jika bergerombol pasti akan saling bersahut-sahutan menggoda diantara sesama laki-laki. Pun dengan kematian. Jika seseorang ditemukan mati di belakang rumah, sudah bisa dipastikan satu desa akan ramai memperbincangkan. Namun berbeda ketika situasi perang, mayat tergeletak diman-mana tak ada yang menghiraukan.

Kembali kepada pemikiran tentang cinta-nya Erick Fromm. Saya awali dengan sebuah pertanyaan penting dan sulit, apakah itu cinta? Silahkan bayangkan jawabannya sembari pelan-pelan memahami cinta ala Erick Fromm. Lalu pertanyaan yang tak kalah penting adalah, lebih enak dan nyaman dicintai atau mencintai? Ini jawabannya cukup sulit. Karena kita tentu menginginkan keduanya, mencintai dan dicintai dengan sungguh-sungguh. Karena persoalan manusia-manusia modern adalah kesendirian dan kesepian. Hal itu yang mengawali kenapa Erick Fromm mencoba memahami cinta. Selain itu juga dipicu dari tetangganya yang patah hati kemudian menyendiri lalu bunuh diri.

Cinta, bagi Erick, adalah sebuah seni. Yang mana harus dipelajari. Meski seni membutuhkan bakat, namun juga membutuhkan belajar. Bukankah semua manusia mempunyai bakat cinta dan mencintai. Sehingga titik tekan Erick adalah bagaimana cara kita mencintai, bukan pada apa yang kita cintai. Karena banyak dari kita mencari dulu seseorang atau apa yang pantas untuk dicintai. Jika laki-laki akan mencari perempuan yang cantik, sholehah dan baik menurut dia, lalu dia akan memutuskan untuk mencintai. Erick mengajarkan bahwa urusan pertama dan utama dalam cinta adalah bagaimana caramu mencintai. Berprilakulah seperti pecinta. Apa saja akan bisa kita cintai dengan baik. Karena jika fokus pada apa yang kita cintai, bukan caranya, cenderung akan menjadi egois dan pemilih. Padahal egois dan pemilih bukanlah sifat dari cinta. Jadi fokus yang pertama adalah cara mencintai dengan benar.

Seperti halnya menulis. Pertama-tama jangan pikirkan dulu materi apa yang akan menjadi bahan tulisan. Tapi pelajarilah tatacara menulis, EYD nya dengan benar. Jika sudah tahu bagaimana cara menulis dengan baik. Materi apapun akan tertulis dengan baik. Apa atau siapapun, akan kita cintai dengan baik asal sudah memahami caranya dengan baik.

Jadi, cinta itu standing in, bukan falling for. Bukannya jatuh cinta tapi mendirikan cinta. Seperti dalam Islam terkait sholat, bukan laksankan namun dirikanlah sholat.

Cinta, sebagaimana seni, harus dipelajari dan dipraktekkan sesering mungkin. Pecinta sejati tahu apa yang akan dilakukan setelah cintanya diterima orang yang ia cintai. Jangan sampai setelah cintanya diterima, malah masuk dalam golongan Petani (Pemuda Takut Nikah).
***

Cinta adalah watak. Sebuah karakter. Menjadi karakter yang mencintai adalah sebuah kemewahan. Dan sudah seharusnya semua manusia memiliki karakter pecinta. Karakter juga menentukan jalan hidup atau takdir kita. Bermual dari habit/kebiasaan akan melahirkan sebuah karakter yang mana berguna untuk menjalani kehidupan ini yang berarti menentukan takdir. Jika kita karakternya adalah seorang pemarah, tentu dalam menyikapi kehidupan ini serba dengan amarah. Bayangkan jika dalam diri kita karakternya adalah pecinta. Tentu semua aspek kehidupan ini akan lebih indah untuk dijalani.

Seperti seorang pelukis. Janganlah sibuk mencari panorama yang indah untuk dilukis. Namun latihlah skill melukis dan jika sudah mahir tentu pemandangan apapun akan indah dilukis. Karena sejatinya pecinta adalah tidak hanya mencintai sesuatu yang dianggapnya 'indah', namun juga di luar itu. Seperti tidak hanya mencintai lawan jenis yang menarik kita. Namun bagaimana kita bisa mencintai hal-hal yang dianggap 'tidak indah'. Semisal kemiskinan, ketimpangan sosial dan apa-apa yang jauh dari kehidupan kita.

Karena jika kita mencintai sesuatu saja, atau seseorang saja, itu bukanlah cinta. Namun egois yang diperluas.
****

Semenjak manusia dilahirkan, sejak Adam diciptakan, kita memiliki persoalan eksistensial. Bahwa manusia tidak basa, atau tidak mau, hidup sendiri. Oleh mengapa Adam meminta Tuhan untuk menciptakan Hawa agar supaya menemaninya. Selain itu, mengetahui bahwa kehidupan tidaklah mudah. Banyak keinginan kita yang tidak tercapai. Mimpi-mimpi yang banyak kandas. Dan juga keterpisahan satu sama lain. Kita tidak pernah minta untuk dilahirkan, kemudian menjalani kehidupan dengan segala kesenangan, kebersamaan dan lika-likunya, lalu di akhir cerita dipaksa dihilangkan semuanya dengan cara yang disebut kematian. Kebersamaan kita tercerabut. Kita sedih. Dan ini, lagi-lagi, membuktikan bahwa kesendirian itu menyakitkan.

Dalam menyikapi kenyataan hidup tersebut, ada dua tipikal cara manusia menghadapinya. Pertama, memposisikan dirinya menjadi budak. Menempelkan diri pada sesuatu yang ia cintai. Tidak ingin ditinggalka. Ia rela direndahkan asal tidak untuk ditinggalkan. Bersedia menurukan harkat, tindaslah diri ini asal jangan diabaikan. Karena manusia butuh tersambung. Selalu tersambung dengan apa-apa yang ia cintai.

Kedua, dengan cinta. Berdiri sejajar saling mendukung, saling membantu dan menemani. Karena disadari bahwa orang lain juga butuh kita. Maka apa yang harus dilakukan adalah kerja sama. Harus saling menegaskan kebersamaan. Maka solusinya adalah dirikanlah cinta. Kita terjajah oleh kolonial kurang lebih tiga setengah abad. Apakah cara terbaik adalah membalas menindas dan menjajah mereka? Tentu saja tidak. Karena obat imprialisme adalah berdiri sejajar dan kerja sama. Bukan justru melawan balik. Dan justru yang ada adalah penghancuran-penghancuran diri. Karena konteks hari ini adalah apa yang dalam pikiran kita yaitu balas dendam.

Cinta yang utuh, cinta yang matang itu yang bagaimana? Bukanlah cinta yang menyerah. Namun tetap bisa berfikir logis. Bukan cinta buta atau aku mencintaimu tai kucing terasa coklat. Cinta yang tidak sampai membuat identitas dirinya hilang dan mengorbankan dirinya untuk cinta.

Ada empat unsur dalam bagaimana mencintai dan dicintai menurut Erick. Care, perhatian memang sudah seharusnya. Jika kita tidak peduli pada yang kita cinta, berarti itu bukan cinta. Karena sudah seharusnya kita perhatian akan jatuh bangunnya dia yang kita cinta. Responsibility, bertanggung jawab. Termasuk ketika dia melakukan hal yang keliru, ada keharusan untuk mengingatkan. Bukan berarti mendominasi atau mendikte, namun ikut terlibat kemajuan dirinya. Tidak hanya memposisikan diri ikut bersimpati, berbelasungkawa ketika sesuatu menimpa dirinya, namun bersedia menemani dan berkembang menjadi pribadi yang baik bersama. Respect, menghargai akan kehidupan masing-masing. Kehidupan masing-masing. Cinta tidak harus selalu bersama kemana-mana, karena setiap manusia memiliki urusan-urusan sendiri. Maka saling menghargai. Knowledge, pemahaman yang bagus masing-masing. Harus ada saling kesepemahaman. Mutual understanding.

Karena sejatinya cinta adalah selalu terasa dekat namun tidak saling subordinasi. Kita menjadi satu namun tetap dua. Karena hakikat sesungguhnya adalah saling menguatkan keduanya. Seperti tiang penyangga, saling menopang setiap sisi rumah, setiap perbedaan akan tetap ditopang dengan baik. Karena yang tidak kuat akan perbedaan, semuanya ingin selalu sama dengan dirinya, dipastikan tidak kuat akan perbedaaan akan tidak lama berdiri.

"Infantile love follows the principle: I love because I am loved.
Matur love follows the principle: I love because I love."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku, Pesta dan Cinta : mengenang kembali Soe Hok Gie

Syakal dan I'jam

Sejarah Fatayat NU "Cabang Jepara"