Bela Islam, Luka Iman dan Kebebalan Bersama.
Nalar saya terusik
setelah mendapat pesan berantai di grup whatsapp terkiat perjuangan
seseorang yang jauh-jauh dari Los Angeles ke Jakarta hanya untuk
mengikuti aksi, yang katanya, bela Islam itu. Seorang teknisi
software google rela menempuh jarak 18 jam lamanya hanya untuk
mengikuti aksi yang dihelat di Masjid Istiqlal. Suamiku mujahid
hebaaat, begitu status facebook yang diunggah sang isteri. Wah, mudah
sekali menjadi seorang mujahid, pikir saya terusik. Dalam postingan
tersebut, mungkin sebagian dari kita sering mendapat pesan seeprti
ini, diimbuhi dengan kalimah thoyyibah dan tak lupa bumbu-bumbu suci
serta tak boleh ketinggalan adalah dicantumkannya ayat suci
Al-Qur'an.
Bagi sebagian orang
yang membaca ini, sangat mungkin mengira saya adalah seorang perusak,
muslim yang menyedihkan atau bahkan mengira saya non-muslim dan
mungkin juga sudah dilabeli kafir. Lucu memang, tapi saya tak akan
menyalahkan salah satu tanda terlambatnya otak berevolusi ini. Dan
setelah membaca paragraf pertama, sangat mungkin sekali jumlah
pertemanan saya di facebook akan berkurang. Sangat tidak masalah.
Silahkan direport, dispam dan diblokir. Saya tidak peduli. Saya hanya
peduli bahwa penganut agama Islam semakin kesini semakin sempit
pemikirannya dan semakin mudah diarahkan.
Tren aksi-aksi bela
Islam sepanjang pengamatan saya muncul dan dipicu setelah sangkaan
penodaan agama yang dilakukan oleh Ahok. Ya, QS Al-Maidah 51 menjadi
ayat paling populer belakangan ini. Dalih utama terjunnya umat Islam
yang cukup banyak ke ibu kota beberapa kali hanyalah tuntutan sepele.
Benar-benar sepele bagi saya. Dan cenderung ada bejibun kemungkinan
yang menyetir umat Islam yang begitu banyak rela ke ibu kota.
Tuntutan memenjarakan Ahok saya kira hanyalah kedok. Toh, di tubuh
umat Islam sendiri tidak semua sepakat bahwa apa yang dikatakan Ahok
adalah bentuk penistaan agama.
Sangat disayangkan.
Ribuan orang Islam rela ke ibu kota hanya dengan tuntutan yang
sepele. Yang sarat politis dan hanya dimanfaatkan oleh orang-orang
yang berkepentingan. Hanya karena Ahok mencatut QS Al-Maidah:51 umat
Islam marah. Namun mereka diam ketika hutan di Sumatera, Kalimantan
dan lain-lainnya diratakan ditanami sawit serta menggusur suku-suku
pedalaman yang berpuluh-puluh tahun tinggal disana. Oooh, mereka kan
kafir, jadi ya tidak masalah. Lalu bagaimana dengan petani yang
dibayar murah sawahnya hanya untuk dibangun jalan yang entah kapan
jadinya. Mereka semua muslim. Oooh, mereka kaum abangan, mungkin itu
cara Tuhan mengingatkan agar bertambahnya iman mereka. Lantas ketika
mushala petani Kendeng terkait berdirinya pabrik semen di Rembang
yang dibantu oleh gubernurnya itu dirobohkan oleh orang-orang yang
tak bertanggung jawab. Oooh, itu cuma gardu biasa. Belum lagi
kemiskinan yang diciptakan kaum kapitalis? Bajingan memang ya. Dan
parahnya lagi, mereka tidak merasa terluka imannya ketika sesama
muslim terindas oleh penguasa.
Saya akan angkat topi,
mengagumi dan kemungkinan besar akan bergabung jika tuntutan peserta
aksi massa tersebut adalah tentang penggusuran-penggusuran Ahok,
korupsi kroni-kroni wakil rakyat atau ketimpangan sosial dan
kemiskinan yang menganga terutama di ibu kota.
Padahal, jika yang
menjadi sumbu ledak aksi massa ini adalah terkait mendustakan firman
dalam Al-Qur'an. Lantas bagaimana dengan QS Al-A'raf:56 tentang
berbuat kerusakan di muka bumi dan QS Al-Baqarah:188 terkait memakan
harta orang lain dengan cara yang dzalim. Dari kedua ayat tersebut
kita melihat dengan mata telanjang nyata betul berulang kali,
berkali-kali dan terus menerus terjadi di negeri ini. Terkait
fenomena yang lekat dengan kedua ayat tersebut membuktikan bahwa aksi
bela Islam adalah kesia-siaan yang nyata.
Aksi bela Islam adalah
kenyataan yang terjadi. Ribuan umat Islam turut serta gabung adalah
data yang valid. Dan lagi-lagi sentimen golongan tidak bisa diabaikan
begitu saja. Bagaimana tidak, Ahok sudah seorang Tionghoa dan
Nasrani. Indonesia memiliki sejarah yang cukup kelam menyoal
anti-China dan anti-Kristen. Politik identitas memang masih menjadi
cara manjur untuk memuluskan sebuah tujuan dalam politik kekuasaan.
Terlebih gelanggang pilgub Jakarta selalu ditiup apinya agar tetap
memanas. Namun jurus tersebut tidak melulu jitu. Tidak semua orang
Islam di Jakarta menolak memilih Ahok, nyatanya Ahok masih meraup
empatpuluh sekian persen. Ini membuktikan bahwa cara menjalani dan
memahami Islam banyak cara.
Namun melihat semua
ini, mulai dari sentimen golongan, aksi massa dan sumbu yang mudah
disulut. Gerakan Islam di Indonesia dikhawatirkan terjebak di lubang
lumpur yang sama. Bahwa ini adalah bentuk kegamangan-kegamangan dalam
menghadapi arus kencang neoliberalisme. Terkaparnya rakyat dalam
kungkungan kapitalisme. Hal ini menyebabkan sasaran tembak massa aksi
bela Islam ini hanya mengena di permukaan saja. Yaitu Ahok dengan
mulutnya yang memang kadang lepas dan secara tidak sengaja ia dari
etnis Tionghoa dan beragama Kristen. Padahal umat Islam di negeri ini
juga menjadi bagian besar yang terkapar atas ketimpangan ekonomi dan
kemiskinan yang semakin hari diperparah oleh cara pandang dan prilaku
individualistik semata serta merajalelanya sistem kapitalis. Tersebut
menujukkan betapa dangkalnya pemahaman para penyeru dan peserta
gerakan aksi bela Islam tersebut yang abai atau memang tidak jeli
terhadap akar-akar persoalan di negeri ini.
Dan satu-satunya yang
membuat mereka bergerak hanyala ketika identitas agama mereka
terusik. Dan satu-satunya yang membuat mereka bergerak hanyala ketika
identitas agama mereka terusik. Dan satu-satunya yang membuat mereka
bergerak hanyala ketika identitas agama mereka terusik. Dan ketika
saudaranya di daerah-daerah tertindas. Iman mereka tidak terluka.
Iman mereka tidak terluka. Iman mereka tidak terluka.
Dan pada akhirnya, ini
adalah sebuah permainan. Ya, permainan. Dan kita-kita yang tersulut
atas dasar penistaan dan lain-lainnya ini adalah boneka saja. Para
pimpinan massa gerakan Islam ini, atau aktor di balik semua ini
sedang menikmati kenyamanan elusan tangan-tangan oligarki yang mana
sedang dan akan selalu berjuang menjaga kepentingan-kepentingan kelas
mereka serta organisasi-organisasi keagamaan yang tak becus membina
kader atau memang sengaja diarahkan adalah salah satu faktor
dangkalnya pemahaman umat Islam tentang aksi bela Islam yang hakiki.
Ribuan massa yang turut serta tidak sadar sedang dimanfaatkan oleh
segelintir orang yang sedang memperebutkan posisi tertentu di dalam
politik dan pemerintahan.
Pada titik tersebut,
kekuatan oligarki tersebut sangat jauh urusannya dengan persoalan
dosa-pahala, kerumitan identitas golongan atau keagamaan selain hanya
untuk memajukan kepentingan mereka sendiri. Terlebih, mereka itu
selalu diberi keuntungan dengan dana yang melimpah sehingga mudah
saja menyulut 'darah juang' massa untuk turun aksi serta dibumbui
isu-isu rasisme di atas tumpukan persoalan-persoalan sesungguhnya
seperti kemiskinan yang diciptakan neoliberalisasi kapital yang
semakin menggurita.
Soalnya, bukan menyoal
apakah aksi massa bela Islam tersebut benar atau salah, tapi sasaran
tembak yang jelas dan tidak mudah digerakkan oleh persoalan-persoalan
yang jauh dari akar. Karena semua ini gerakan ini adalah terkait
kapan harus dimainkan, diciptakan boneka-boneka sebagai sasaran dan
dipelihara tokoh-tokoh untuk memainkan peran.
Siapapun itu, yang
jelas Aksi Bela Islam adalah kesia-siaan yang nyata. Kecuali
berdasarkan kesadaran akan akar persoalan sesungguhnya.
Komentar