Kehidupan Yang Biasa Saja


 Ia adalah seorang mahasiswa yang aktif di berbagai organisasi sampai-sampai menjadi tulang punggung organisasi yang ia ikuti. Cerdas, berdedikasi tinggi serta kreatif dalam berkegiatan menjadikan ia sebagai mahasiswa yang lengkap. Disebut mahasiswa yang lengkap karena meskipun seorang aktifis pergerakan, IPK selalu mencapai titel cumlaude. Maka dari itu juga dalam menyelesaikan tugas akhir, menjadi sarjana tidaklah begitu mengalami kesulitan berarti.

Meskipun ia mencaci mahasiswa yang lulus cepat kemudian menjadi sarjana prematur yang tidak mengerti apa-apa, ia sendiri akhirnya termakan oleh caciannnya sendiri. Benar saja, ia lulus cepat dan masalahnya adalah ingin melanjutkan s2 tetapi proposal pengajuan beasiswa selalu ditolak. Orang tuapun tidak begitu mendukung terutama finansial, karena sekarang kuliah s2 bukanlah barang murah. Sebenarnya ia merasa kuliah bukan ajang menambah embel panjang nama, bukan juga menambah kecerdasan. Kuliah hanya dijadikan tempat nyaman yang jauh dari tanggungjawab bekerja dan sebagainya, hanya belajar, belajar dan belajar.

Sadar bekerja adalah fase kehidupan yang harus dijalani. Akhirnya ia harus mengakrabi keisengan tuhan dengan bersusah payah mencari uang, sadar hidup dalam sebuah organisasi tidaklah bagus apalagi bagi sarjana. Selain itu, kegiatan dalam organisasi tidak begitu menghasilkan keuntungan banyak. Sebuah pekerjaan, namun muncul masalah dalam hal ini. Apakah karena ia begitu cerdas, bisa berbagai ketrampilan menjadikannya bingung apa spesialisasinya. Banyak yang ia geluti dan sukai, justru hal itu menyebabkan ia tidak benar-benar pandai dalam satu bidang, semua serba setengah-setengah, serba tak tuntas, hanya sekedar mengerti saja tidak sampai menjadi ahli.

Meski demikian ia tetap memilah-milah pekerjaan, pernah mencoba menjadi penulis artikel pesanan, tidak sanggup memenuhi pesanan karena dirinya sendiri. Ia merasa menjadi penulis pesanan hanya memperkosa idealismenya. Pernah ingin menjadi editor ataupun penulis sastra, tapi sayangnya berlatihnya kurang tekun. Jadi penulis serius selain buletin kampus atau organisasi, baru skripsi. Yang lainnya hanya tercecer di blog pribadi. Kemudian ia menemukan kerjaan yang sekiranya tidak perlu ketrampilan khusus yaitu sebagai marketing perusahaan-perusahaan kecil di Yogya, memang sedang marak, mulai dari staf promosi bisnis kursus bahasa, warung makan hingga LSM.

Ya, marketinglah merupakan pekerjaan yang banyak ditawarkan dan ditemukan olehnya. Terpaksa ia ambil daripada menganggur dan kelarapan di negeri orang. Selain itu jika ditanya orangtua sudah tau mau menjawab apa ketika ditanya perihal pekerjaan. Pekerjaan sebagai marketing tidaklah sulit, tetapi tidak juga mudah. Setengah sulit dan mudah. Mudah karena tak perlu ketrampilan khusus asal punya jiwa sosial tinggi, tetapi sulit karena harus meyakinkan orang dan marketing seolah-olah menjadi punggung perusahaan, karena dari marketing itulah perusahaan hidup.

Beberapa waktu bekerja sebagai marketing, muncul persoalan. Ia merasa teralienasi. Asing dengan diri sendiri, asing dengan apa yang ia lakukan. Ia merasa seperti robot. Ia mencari uang tapi bukan untuk dirinya tapi untuk orang lain. Keputusan harus diambil, apakah ia harus menyiksa dirinya sendiri terus menerus. Tetapi ia juga punya tanggungjawab, ia sadar bekerja adalah hal mutlak untuk tetap hidup meski dapat membuatnya seperti kehilangan kewarasan. Belum lagi pacarnya, yang sudah bertanya akan menikahinya kapan.

Ingin rasanya ia tak perlu bekerja, dan setelah ia sadari, ia ingin menjadi seorang penulis. Tetapi menjadi penulis hebat seperti idolanya Pramudya ataupun Hemingway perlu waktu yang panjang. Kuantitas menghasilkan kualitas. Pikirannya kembali melayang, jika ia konsen menulis, bagaimana ia bisa makan. Sedangkan membuat tulisan agar menembus surat kabar tidaklah mudah dan uangnya pun tidak bisa diandalkan. Dengan menulis, butuh waktu berapa lama untuk menikahi gadis pujaannya itu. Hingga pada kesimpulan, bekerja dan menyiksa diri dulu, kemudian mapan, setelah itu baru bisa menyalurkan kesenangannya. Menjadi penulis di masa sekarang bukanlah pekerjaan yang realistis dan menjanjikan.
“mungkin aku akan bekerja dulu, mencari uang. Kemudian mapan, setelah itu barulah menyalurkan kesenangan-kesenangan. Menjadi penulis maupun aktifis bagi kehidupan sekarang bukanlah pekerjaan yang realistis”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku, Pesta dan Cinta : mengenang kembali Soe Hok Gie

Syakal dan I'jam

Sejarah Fatayat NU "Cabang Jepara"