Merayakan dengan Tidur


Saya sekedar mencari alasan untuk tidak percaya pada kejujuran yang tak terlihat, nilai-nilai ciptaan asumsi khalayak, bentuk-bentuk ideal, tentang rasionalitas dan kebenaran. Saya adalah orang yang sedang meringkuk dalam cengkeraman kegelisahan yang buas, dan kerasukan semangat keraguan yang menderu-deru, percayalah bahwa saya bukanlah sekedar pledoi-pledoi untuk atasi realita yang ada, saya hanya...

1 Syawwal, apapun tahunnya, menjadi tidak begitu penting dalam ingatan saya. Ya, Idul Fitri, Hari besar dimana pada hari itu puasa menjadi haram dilakukan, entah alasannya apa yang jelas itu perihal dogma dan saya malas membahas dan mempertanyakan hal itu. Kenapa kita tidak mulai dengan hal yang dekat dan sebenarnya kita menjalaninya.


Hari Raya Idul Fitri telah mengalami penyempitan pemaknaan. Hari itu seolah-olah menjadi tabir yang selama ini tertutup rapat, justru terbuka selebar-lebarnya. Sifat dasar manusia menjadi begitu mencolok, dibanggakan namun tidak disadari. Narsistik dan konsumeristik, menjadi sesuatu yang membanggakan. Mungkin saya tidak akan mempermasalahkan sifat keduanya apabila itu berjalan sendiri bebas nilai, tapi mana mungkin ada sesuatu hal, termasuk sifat yang bebas nilai. Bukankah masyarakat kita diciptakan menjadi latah dengan norma-norma, etika, hukum, moral dan agama sekalipu tak mau ketinggalan mensoal masalah ini dengan aturan-aturan sedemikian rupa dalam kungkuman kitab besar yaitu akhlak.

Hari itu tak ubahnya menjadi fashion show dadakan dan jurinya adalah semua yang merayakan hal itu. Sepanjang pengalaman saya, belum pernah orang menghadiri sholat Ied di masjid desa memakai baju lusuh atau kata lain tidak baru. Hampir semuanya terkesan bagus, mewah dan mungkin baru, karena cuma untuk hari itu baju tersebut disediakan. Semasa kecil, baju baru saat idul fitri menjadi momok yang menakutkan bagi kebanyakan bocah, bak mendapat mimpi buruk ketika tahu kalau orang tua kita kebetulan tidak sanggup atau memang sengaja tidak membelikan untuk kita. Bagi anak kecil menutup diri adalah hal yang mungkin dengan merasa diasingkan dari perdaban serta perayaan hari itu karena untuk berjalan saja tidak percaya diri. Ini tentang konstruk masyarakat, pandangan kebanyakan, hari raya identik dengan baju baru dan hal-hal baru.

Pamer, menjadi hal yang tak terbantahkan pada hari itu. Mungkin pada menggembor-gemborkan “kembali ke yang suci, fitri” itu hanya omong kosong. Dimulai dari makanan yang tersaji di meja ruang tamu, dari situ sudah terlihat tebal keuangan keluarga tersebut dengan suguhan yang tersaji. Masuk rumah orang kaya akan terasa beda dan sedikit semangat daripada ke rumah orang yang di mejanya ada satu kaleng biskuit dari merk terkenal menjadi suatu kebanggaan tersendiri meski cuma satu. Bagaimana tidak, seperti yang dikatakan seorang teman yang ditulis di twitternya “mudik. Menjadi ajang pamer untuk keluarga yang di rumah, selamat pamer” begitu tukasnya. Yang dari luar kota, apalagi yang merantau di kota-kota metropolis akan berlomba-lomba membawa apa yang bisa mereka bawa dan dibagikan kepada tetangga dengan senyum sarat makna, meskipun itu hasil dari THR an yang tidak seberapa. Padahal saya yakin bin percaya, keluarga di rumah sudah cukup senang jika keluarganya berkumpul tapi akan lebih senang lagi jika terlihat sukses, sama saja.

Hari itu hari kemenangan? Yang benar saja. Kemenangan untuk siapa? Kita? Kemenangan dari apa? Terlepas dari dahaga dan lapar? Sungguh kasihan sekali apabila kita berbahagia berbagi senyum karena sudah tidak menahan segala ihwal dalam kode-kode puasa. Tetapi perlu ada kejujuran disini, sejatinya toh kita juga malas untuk berlapar-lapar dan tidak boleh ini itu. Sungguh ironis sekali memang, tapi dogma agama yang satu ini sedikit ampuh tinimbang dogma-dogma yang lain dalam hal mempengaruhi masyarakat. Banyak kafilah pembuat onar yang berteriak-teriak seolah-olah dia yang berada dalam garis terdepan perihal kebenaran dalam agama ini. Membersihkan tempat-tempat dimana paha dan dada perempuan menjadi pandangan yang menenangkan. Tapi sayangnya kegiatan “menyapu” cuma dilaksanakan saat menjelang bulan puasa ini, beragama kok latah.
Lalu, hari kemenangan? Kemenangan apa lagi? Lepasnya syetan dari belenggu neraka? Betul demikian? Aneh sekali rasanya kita merayakan kemenangan yang kita sendiri rugi akan adanya hal itu. Dalam imajinasi saya, syetan sedang menertawakan kebodohan kita, seharusnya yang merayakan kemenangan bukan manusia tapi syetan. Tapi memamng begitu adanya, manusia selalu dikalahkan mensoal perebutan syurga dan neraka. Melekata sifat yang tak bisa dihilangkan yaitu salah dan lupa menjadikan kita lemah untuk menjadi manusia yang pantas masuk syurga atau tidak. Lagi-lagi kita miskin makna dalam merayakan hal ini.

Sebagai manusia, bijak sedikitlah biar dianggap manusia berperadaban dan memiliki kecerdasan intelektual tinggi. Ahh itu cuma pandangan masyarakat saja, tak perlu diambil pusing. Perayaan ini tentunya ada hal positif. Kita menjadi berduyun-duyun untuk mengucap maaf kepada sesama. Saya bingung dalam memaknai hal ini, bukan tentang memaafkannya tapi tradisi ini. Pertanyaannya, kenapa meminta maaf dilakukan hanya pada hari itu? Konflik menderu berkepanjangan hubungan manusia dalam sejarah akan luluh pada hari itu, antara anak dan mertua, sesama besan bahkan permusuhan dalam sekap pertemananpun akan mencair saling rela meminta maaf. Tidak bisakah tradisi maaf-memaafkan kita lakukan di hari-hari biasa, toh Tuhan sebagai maha pemaaf tak pernah menentukan hari, setiap hari jika ada hambanya meminta pasti akan diberi. Kapanpun itu. Sedangkan kita? Rela meminta maaf saat perayaan hari itu.

Kita tak perlu berucap maaf, cukup saling mengerti”itu setidaknya menjadi alasan pribadi saya, kenapa saya tidak melakukan tradisi itu di hari itu, karena seharusnya hal itu kita lakukan sehari-hari. Pada lebaran kali ini sudah seperti biasanya, pulang hanya ingin membuat hati orang tua tentram dan tidak mencari-cari anaknya yang satu ini disaat semua keluarga berkumpul makan opor ayam dengan ketupat di rumah. Sesi ceremonial keluarga saja yang saya ikuti, selebihnya? Saya rayakan hari itu dengan tidur.

Kemudian, di sela-sela pesan yang masuk ke hape selain permintaan maaf dan cukup menggelitik menyadarkan dari tidur.
awass.. Dia sms kamu untuk minta maaf bukan minta balikan”
hahaaaaa, mungkin bagi yang masih stuck di mantan akan mangkel marah-marah sendiri. Itu sudah saya buktikan dengan menyebar sms itu ke teman-teman bukannya pesan minta maaf.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku, Pesta dan Cinta : mengenang kembali Soe Hok Gie

Syakal dan I'jam

Sejarah Fatayat NU "Cabang Jepara"