Aku dan Perempuan Itu (Part.1)
Jatuh
cinta itu biasa saja, begitu yang tertera di lirik ciptaan Efek Rumah
Kaca. Berbicara tentang cinta, kita sewaktu-waktu akan dibumbung rasa
percaya diri seolah-olah kitalah yang faham benar apa itu cinta dan
jatuh cinta. Namun berbeda ketika berbagai persepsi mengaburkan arti
cinta yang diyakini, kita akan buru-buru menjadi seorang bocah yang
tak mengerti apa-apa sembari menangis berteriak-teriak seperti bocah
kehilangan induknya di tengah-tengah pasar malam.
Aku
bertemu dengan seorang perempuan yang begitu sulit bersepakat
mengartikan cinta dan jatuh cinta itu apa? Apa sebatas suka? Terbebal
lagi justru mencari padanan kata dan mengartikannya semisal
“cinta-sayang-kasih”. Pertanyaannya bebal menjamur di rongga
telinga dan langsung merasuk dalam sistem otak yang memaksa untuk
berfikir keras mencari jawaban tersebut. Memang, perempuan tak ada
yang bisa menghentikan ketika cercaan kata-kata keluar dari mulutnya
dan saat matanya yang indah merembes air dari kelopak mata yang indah
itu. Yang aku bisa saat itu hanya mengaburkan pembicaraan dan mencoba
menghindar, Love is Cinta, begitu jawabnya. Melihat sorot matanya
setelah mendengar jawaban tersebut, aku melihat ada sebuah kekecewaan
yang
akan segera terserumbat di peluh harapnya. Sebagai laki-laki,
tidaklah mungkin membiarkan seorang perempuan bertabur nanah
pengharapan.
Perempuan
itu, adalah perempuanku. Entah berawal dari mana perkenalan bermuara.
Ia seorang yang pesimistis tapi keras kepala, begitu pragmatis tetapi
labil akan omongan anjing tetangga. Terhitung ini adalah tahun ketiga
sejak awal mula bertemu di sebuah pameran buku murah depan kampus.
Ceritanya tak seperti dalam sebuah novel percintaan, yang tanpa
sengaja mempunyai selera buku yang sama atau secara dituntun takdir
memegang buku yang sama. Tentu saja tidak begitu, aku adalah
penyelenggara pameran tersebut dan ia adalah tamu. Pameran buku itu
hanya sebagai ajang bertemu ketika ia membayar buku “Shopie's
world”. Jarang
mahasiswi sekarang bersedia membaca buku filsafat, paling-paling juga
yang hobi baca bakalan melahap novel-novel melankolis atau percintaan
dengan label agama. Tapi ia tidak.
Seperti
kataku, pameran buku adalah tempat bertemu saja, aku menjadi kasir
dan ia pembeli. Kejadian-kejadian seperti inilah manusia akan
mengagung-agungkan takdir sebagai alur. Ini tak melulu mensoal
takdir, ini adalah kebetulan. Dan aku percaya di dunia ini tidak ada
yang kebetulan, semua disengaja tetapi terkadang kita tak sengaja
melakukan hal yang di sengaja tersebut. Ceritanya tidak begini jika
aku mahasiswa yang rajin dan selesai tepat waktu, banyak nilai yang
runtuh karena termakan idealisme kehidupan, sehingga mau atau tidak
mengulang materi adalah jalan keluar untuk berdamai dengan tuntutan
orang tua.
Satu
kelas Filsafat bersama perempuan pembeli buku itu, materi ini tidak
begitu penting di jurusan ini yang notabene jurusan sastra bukan
filsafat. Perbincangan pertama aku dan perempuan itu bukanlah di
taman atau di caffe sembari makan jaga image,
tetapi
di dalam kelas dan mempersoalkan arti dari Filsafat itu sendiri.
Secara bahasa memang filsafat berarti Philia
artinya cinta dan Shopia
artinya artinya
bijaksana. Entah dari dua kata tersebut kenapa kita menjadi
mendebatkan arti cinta dan hal-hal yang belum terselesaikan akan hal
itu.
Perdebatan
tak selesai begitu saja, tanpa sengaja ia menemukan akun media sosial
milik lelaki yang tak kunjung lulus ini di grup jurusan. “hay mas”
begitu sapanya mengawali. Berlagak dingin dan tenang adalah sifat
laki-laki ketika merasa ada merpati yang sedang dalam pantuannya
mendekat. “iya ada apa”jawab singkat dan dingin saja. Bukankah
perempuan akan semakin merasa gemas dan geregetan ketika ada lelaki
jual mahal, ini prinsip yang aku serap dari seorang teman penakluk
perempuan, begitu julukannya, mungkin.
Perbincangan
mensoal cinta antara aku dan perempuan itu terlewat batas dan saling
gontok-gontokan. Seperti ketika salah satu ormas Islam yang suka
menyapu tempat-tempat cuma ketika Ramadhan mau datang. Tapi kami tak
sampai baku hantam, hanya saja aneh sudah terasa ketika hampir ada
lima ratus chatt kita belum berkenalan tukar nama dan hanya tahu dari
nama absurd sosial media masing-masing.
Hal
itu menjadi bukan suatu masalah bagi kami berdua. Bukankah nama hanya
sebagai tanda saja bukan pengingat, yang
menjadi pengingat bagi kita seharusnya sikap dan perilaku, ketika
kita menjadi baik orang akan mengingat kita dan nama menjadi tanda
saja.
Hujaman
chatting dan sapaan melalui pesan singkat cukup mengusik kehidupanku
yang selama ini tak begitu suka berurusan dengan makhluk berkelamin
beda ini, perempuan. Perempuan itu, begitu aku mengingatnya, namanya
memang elok untuk disapa dan diingat, tapi apa peduliku dengan
namanya, cukup mengenalnya dan saling sapa lembar senyum saja ketika
bertemu di lorong kampus. Lempar senyum itulah yang selalu kita
lakukan saat jumpa, namun obrolan dan bersua masalah apapun terutama
esensi cinta tak pernah terjadi di dunia nyata saling tatap dan duduk
bersama. Entahlah, begitu memang adanya aku dan perempuan itu mungkin
tak cukup memilik nyali sekedar berjalan bersama memutari taman kota,
sebagian dari kami hal itu hanyalah omong kosong.
Perempuan
itu sampai juga pada telinga seorang teman pledoi cinta dan
melankolik. Ceritaku bercecar tak kunjung selesai menjelaskan padanya
tentang perempuan itu. Sang pledoi pun mengangguk tanda memahami apa
yang sedang terjadi dalam benakku. Malam itu, di warung kopi utara
jembatan yang dingin, ia menyarankanku. Jangan terburu, aku tak bisa
memberi saran selanjutnya karena pagutan kisah ini masih sebatas
rima-rima yang belum sampai tengah.
Lalu,
sang pledoi itu meraih handphonenya dan menyalakan lirik lagu yang
benar-benar tak asing di telingaku. Ya, Jatuh cinta itu biasa saja
-efek rumah kaca-. Lagu inilah yang menjadi alasan perempuan itu
tentang ketidaksepakatannya perihal cinta.
Malam
itu aku memilih berdamai dengan semuanya, dan membiarkan cercaan nada
menyampur dengan alunan lagu memasuki ranah sentimentil dalam rasa.
Saling
mencari di dalam gelap
Kedua
mata kita gelap
Lalu
hati kita gelap
Hati
kita gelap
Komentar