Sejarah dan Masa Kini
“Sejarah
membuat manusia lebih berbudaya dan bijaksana. Dan bukan sebaliknya
untuk memupuk prasangka dan kecurigaan, atau memproduksi dendam dan
sikap negatif bagi generasi selanjutnya. Dengan memandangnya sebagai
humaniora, maka “proses sejarah” merupakan sesuatu yang membawa
keberkahan bagi diri kita.” (K. H Abdurrahman Wahid/ Gus Dur)
Lantas,
apa itu sejarah? Beragam definisi diberikan oleh para sejarawan.
Salah satunya adalah memandang sejarah sebagai kajian mengenai
kejadian-kejadian yang telah lewat atau telah lalu dari waktu
sekarang yang sifatnya infintive, tidak terbatas. Meminjam istilah
Sejarawan Kuntowijoyo, Tujuan sejarah adalah mempelajari hal-hal yang
unik, tunggal, dan ideografis. Karena sejarah itu diakronis,
memanjang dalam waktu dan mementingkan proses.
Sejarah
bukanlah sekedar suatu peristiwa yang telah terjadi, melainkan cerita
tentang apa yang sebenarnya telah terjadi. Karena kajian sejarah
adalah sebuah intepretasi-intepretasi atas kejadian-kejadian masa
lampau yang diceritakan dan dinarasikan kembali pada waktu kini.
Kejadian-kejadian tersebut merupakan sebuah serangkaian utuh dari
masa yang sangat panjang dan tak jarang pelik guna mencapai
kedewasaan dan kematangan di masa kini dan mendatang.
Dan
mempelajari sejarah adalah sebuah upaya yang harus dijaga terus
menerus di setiap generasi mendatang. Karena hal itu berdampak pada
peradaban manusia yang lebih berbudaya, berperikemanusiaan, lebih
arif, bijaksana dan lebih manusiawi. Bukannya justru memupuk
prasangka dan kecurigaan, memproduksi dendam seperti akhir-akhir ini.
Benturan antar agama, ras, suku dan kepentingan lain saling menuai
konflik dari minimnya kajian data dan sejarah yang beredar di media
sosial yang kebanyakan adalah hoax dan menebar kebencian.
Di
era media sosial, internet sangat serba cepat. Sehingga informasi
dengan mudahnya dilahap. Pada situasi seperti inilah sejarah bisa
berkontribusi nyata sebagai salah satu jalan keluar dari hiruk
pikuknya kepentingan-kepentingan yang justru memperburuk situasi
keindonesiaan saat ini. Meskipun ini bukanlah hal mudah yang bisa
dilakukan oleh setiap orang. Namun setidaknya kita semua harus
memiliki kesadaran sejarah. Semisal aura anti-anti seperti
anti-tionghoa, anti-syiah dll tidak akan terjadi apabila kita
memiliki kesadaran sejarah bahwa suku tionghoa juga berjuang bersama
pribumi melawan penjajah, dan bagaimana awal mula syiah terbentuk
serta bentangan sejarahnya hingga sampai pada saat ini.
Sehingga
penting juga memahami atau setidaknya mengetahui kekuatan-kekuatan
penggerak sejarah agar kita tak luput dan gagal faham memahami
serangkaian panjang sebuah peristiwa penting. Jangan sampai gegar
sejarah. Kekuatan penggerak sejarah masih sangat bisa dilihat di masa
informasi yang cukup sengkarut ini. Seperti yang dikemukakan oleh
Carl G. Gustavson dalam A Preface of
History mengidentifikasikan
ada enam kekuatan sejarah. Yaitu ekonomi, agama, institusi (terutama
politik), ideologi dan militer.
Semisal
ekonomi sebagai kekuatan sejarah, belakangan ini banyak sekali aksi
demo buruh mulai dari menuntut kenaikan gaji dan tuntutan-tuntutan
yang lain. Hal ini sebagai salah satu bukti bahwa sistem ekonomi kita
tidak memimah kepada orang kecil. Pada zaman kolonial Belanda
seringkali terjadi pemogokan-pemogokan yang digerakkan oleh kaum
buruh, seperti pemogokan yang dipelopori oleh Soerjopranoto. Selain
itu kita juga bisa mengambil semangat berdirinya gerakan koperasi
dalam membangun sebuah usaha bisnis. Seperti yang terjadi di zaman
Belanda ketika ekonomi dimonopoli oleh mereka dan rakyat bergerak
untuk melawannya. Seharusnya ini bisa menjadi spirit perlawanan kita
untuk melawan sistem ekonomi kita yang sangat kapitalistik dan
dikuasai oleh para pemodal saja. Lantas apa bedanya dengan zaman
kolonial dulu? Disini sejarah bisa mencuri perhatian sebagai nilai
tawar atas kondisi negara kita.
Komentar