Memandang Etnis Tionghoa
Bagiamana kita memandang
Tionghoa setelah desain baru rupiah dan foto hoax tentang jutaan
orang China ke Indonesia?
Ada kekhawatiran yang jelas
terpancak pada orang-orang yang getol membagikan foto-foto yang
selalu menimbulkan hasrat bahwa kita harus berhati-hati dengan orang
Tionghoa. Apalagi disangkutpautkan dengan Ahok yang didukung oleh
Sembilan Naga menjadi mudah saja untuk dibagikan melalu media sosial.
Pandangan awam sepakat bahwa
orang Tionghoa ini cukup perhitungan, jika tidak ingin mengatakan
pelit. Dan kebanyakan dari mereka adalah orang-orang kaya yang
menguasai perekonomian bangsa kita. Namun pendapat ini tidak bisa
dianggap kalau seluruh etnis ini memiliki kuasa dalam bidang ekonomi.
Mungkin pribumi saja yang terlalu malas untuk berdagang dengan gigih
seperti orang Tionghoa praktekkan langsung di area Pecinan pusat
perdagangan yang digerakkan etnis ini.
Tetapi, apa sebenarnya yang
menjadi akar sentimen rasial kita terhadap etnis Tionghoa di
Indonesia? Salah satunya seperti yang sudah saya jelaskan di paragraf
sebelum ini. Ditambah lagi bahwa negara China yang notabene dikaitkan
dengan asal usul etnis Tionghoa ini adalah negara komunisma. Ini juga
salah satu phobia bangsa ini, takut dengan komunisme. Sekalipun
ditanya kenapa dengan jawaban yang cenderung sembarang. Dengan
alasan-alasan tersebut seolah-olah etnis satu ini layak untuk
ditindas oleh pribumi.
Padahal sejarah bangsa ini
mencatat bahwa etnis Tionghoa berkali-kali mengalami penindasan demi
penindasan. Ketika di jaman Belanda sekitar 1700-an, etnis ini sudah
ada di Jakarta dan apakah mereka makmur kaya raya? Tentu saja tidak.
Mereka justru dipajak tinggi oleh Belanda karena termasuk warga kelas
dua dan ditambah dibenci pribumi karena dianggap membantu orang
asing. Belum lagi pada 1740 tercatat ada sekitar 10.000 orang
dibantai hingga disebut-sebut Sungai Angke memerah. Sedangkan di era
modern ada sekitar 30.000 orang Tionghoa di Kalbar tahun 1967
dibantai oleh Gerakan Rakyat Sarawak.
Dan masih teringat jelas
ketika kekerasan 1998. Etnis ini menjadi sasaran kekerasan,
pemerkosaan, penjarahan, dan diskriminasi hebat. Ini adalah buntut
panjang atas kesenjangan ekonomi yang dilihat oleh pribumi dan
kebencian atas prasangka-prasangka yang diam-diam dirawat dalam
kepala. Laki-laki dibunuh, perempuan diperkosa dan toko-toko mereka
dijarah. Dan kasus ini tidak pernah selesai sekalipun di era Jokowi.
Jika ditelusuri lebih jeli
lagi. Apa yang mendasari kebencian kita terhadap etnis Tionghoa?
Adalah media. Ya, media adalah alat paling efektif menyebarkan
ideologi dan pandangan kelompok. Media abal-abal tak terhitung lagi
yang sedianya dibagikan ratusan kali menggaungkan kebencian pada
etnis ini. Terutama akhir-akhir ini yang beredar desain uang baru
disamakan dengan mata uang China yaitu yuan. Padahal, Turki pun yang
dielu-elukan pemimpinnya yaitu Erdogan menerima kucuran dana dari
China.
Prasangka yang diciptakan
media ini mampu menciptakan kesan bahwa seseorang dinyatakan bersalah
dan layak ditindas hanya terkait dengan identitasnya. Apalagi jika
media memberitakan etnis Tionghoa disandingkan dengan pribumi sebagai
korban penindasan, meski, tidak langsung.
Apalagi ketika pilpres 2014
yang paling kena prasangka media adalah Jokowi. Mulai dari
anti-Islam, keturunan China dll. Sekalipun media-media tersebut
menggunakan nama yang cukup bagus untuk dipertimbangkan. Yaitu Islam,
seperti VOA Islam, Nahimungkar dan Suara Islam. Dan yang terkini
adalah semakin panas ketika pilgub untuk ibu kota yang sibuk dan
mudah sekali disulut konflik elit yang mempermainkan rakyat biasa.
Yang tak pernah luput adalah
sentimen rasialis kita selalu saja bisa dibenarkan lewat agama dan
ayat-ayat kitab suci yang diterjemahkan dan diterapkan setendensius
mungkin.
Harus dengan apalagi kita
mengajarkan bahwa etnis Tionghoa adalah bagian dari keberagaman
Indonesia.
Komentar