Catatan Kepulangan #1

“Satu hal pasti yang tak perlu dirisaukan adalah datangnya kematian” Ahura Mazda. 
 
Saat itu memasuki usia tua perkuliahan. Interval semesetre akhir menuju skripsi. Saya sengaja mengambil mata kuliah hiburan, agar semata ketika bimbingan skripsi tidak sekedar bertemu dosen pembimbing, tapi masih bertemu taman-teman kuliah. Siapa yang nyana, mata kuliah sosiologi. Salah satu mata kuliah yang menurut saya menarik tapi juga membosankan. Saat itu selepas dzuhur, kurang lebih jam 1. Dalam kelas gawai saya berdering. Saya tengok, itu nomor bapak. Jarang sekali bapak saya telpon. Karena yang sering telpon menggunakan nomor ibuk, kemudian di sela-sela obrolan gawai ibuk akan diberikan bapak. Begitu biasanya. Tapi kali itu bapak sendiri yang telpon. Saya sudah berfikir macam-macam. Saya undur diri terima telpon itu.
 
Benar, bapak lupa mengucap salam. Belio sesunggukan. Beberapa saat di awal yang terdengar adalah tangisan belio. Itu adalah kali kedua saya mendengar bapak menangis. Saya hanya mengucap salam, kemudian tidak berani bertanya ada apa, karena perasaan sudah tidak enak. Saya terkesan menunggu dan khawatir akan berita buruk. Setelah bapak sudah dapat mengendalikan diri, belio bilang “Mbah Rayi sedo”(meninggal dunia). Saya hanya menganga, air mata tanpa permisi turun berlinang, saya tak mampu membendungnya. Saya mengusapnya berkali-kali tapi tetap saja bandel. Karena saat itu saya masih di kampus. Setelah bapak mengabarkan berita tersedih yang pernah saya dengar. Saya terburu-buru, tidak sempat bertanya balik. Bapak sepertinya mengerti betul saya akan tergesa. Belio kembali menyahut “mantuke ati-ati wae, rasah kesusu, iki mbah wes meh dimakamke” (Pulangnya hati-hati, jangan terburu-buru, Mbah sebentar lagi akan dikuburkan). Sontak saya bertanya, kenapa cepat sekali dimakamkan. Bapak bilang Mbah sudah tidak ada sejak sebelum subuh. Seluruh rumah kalap, kacau dan bersedih. Lupa mengabarkan yang ada di jauh. Saya semakin kacau, buru-buru langsung pulang.
 
Sepanjang perjalanan yang terbayang hanya kenangan bersama Mbah Rayi, menangis tiada henti dan sesekali marah serta sesal kenapa ini terasa terlalu cepat. Terlalu terburu-buru. Entahlah. Dan seketika sampai di rumah, saya bertemu bapak. Berpelukan sesaat sembari sesunggukan. Kemudian ketika bertemu ibuk, air mataku kembali tumpah, luber tak bisa di tahan. Saat itulah saya berpelukan dengan ibuk cukup lama sekali. Mungkin setengah jam, lama sekali. Lama karena kita memang jarang berpelukan, tidak pernah malah semenjak saya besar.
 
Mbah Rayi, beliolah yang menemani masa kecil saya. Ketika ibuk masih di sekolah, bapak masih kerja wira-wiri ketika pagi sampai siang. Di waktu itulah, sepulang sekolah saya bersama Mbah Rayi. Mbah tekun dan enak sekali ketika bikin kue dan penganan lainnya. Saya tester pertama, bukan pertama ding, paling banyak. Saat itu saya cucu belio solo, artinya satu-satunya. Belum ada adik yang lain. Karena ibuk adalah putri pertama. Sepulang sekolah, baju ganti sudah dipersiapkan ibuk. Mbah akan berhenti sebentar membikin kue, menyodorkan kue kesukaan saya, bolu kukus dan saya melahapnya. Banyak sekali. Biasanya juga donat, macam-macamlah. Kemudian saya akan menonton tivi, biasanya india yang polisinya selalu datang terakhir. Sembari nonton tivi sambil nunggu ada teman yang ngajak bermain. Jika tidak ada, saya sampai siang akan bersama Mbah Rayi di dapur ikut sok-sokan bikin adonan. Sampai ibuk datang dan menyuruh tidur siang, karena akan ada sekolah agama sore. Dan ketika saya berangkat ke Jogja, Mbah Rayi adalah pintu pamitan wajib. Saya akan menunggu belio, misal masih sibuk di masjid saya akan tetap menunggu. Jika perlu saya mengundur kembali ke Jogja. Tak pernah saya kembali ke Jogja tanpa mengecup tangan belio dan kecupan belio di kening, pipi sembari melantunkan do'a-do'a terbaik untuk saya.
 
Dan sekarang ketika belio sudah di tempat yang lebih baik. Selalu ada desir, gerimis turun perlahan di hati ketika saya pulang ke rumah ada sesuatu yang hilang, ada yang sudah tiada. Bayangannya masih kentara jelas, lekat dan kuat namun jasadnya sudah tiada. Biasanya, setiba di rumah, saya mencari bapak dan ibuk. Selepas itu, saya langsung menuju rumah Mbah yang letaknya memang cuma sebelahan. Mencari Mbah Rayi, mengecup tangannya dan sejurus kemudian tangan belio membelai rambut saya sembari bertanya-tanya hal-hal sederhana seperti kesehatan dan kuliah saya. Dan saya akan betah lama-lama di rumah mbah. Menemani belio, karena sejak saya kuliah di Jogja. Kesehatan belio mulai menurun, sudah tidak bikin kue dan penganan lainnya. Hal itu kadang yang selalu saya banggakan dengan cucu mbah yang lain, adek-adek saya maksudnya. Karena mereka tidak menikmati ketika Mbah Rayi rajin-rajinnya bikin kue.
 
Tapi tidak ada yang tidak merasa kehilangan. Dari raut muka, dari cerita-cerita dan laku setelahnya. Semua merindukan belio. Mbah kami tercinta. Ibuk untuk semuanya. Saat itu Mbah Rayi mempunyai tujuh anak, ibuk saya yang pertama. Dan sampai belio menutup mata selamanya dan tak lagi mampu mengusap do'a-do'a di kepalaku, belio memiliki 14 cucu. Ramai sekali ketika ada kumpul keluarga, semisal ketika lebaran. Dan saya seperti jendral, cucu tertua dan seharusnya menjadi panutan. Seharusnya. Tapi saya selalu yakin dan percaya, Mbah Rayi sudah mengusap do'a-do'a kepada kita semua sekelurga. Pada setiap basuhan tangannya yang lembut ketika sedang menggendong kami, anak-anak dan cucu-cucunya. Dan hal itu tidak pernah terganti. Saya selalu berdo'a terus menerus.
 
Dan semoga kelak, istri saya juga mencintai ibuk saya sebagaimana bapak saya mencintai Mbah Rayi sebagai menantu yang baik. Anak saya juga selalu mencintai mbahnya yaitu ibuk saya sebagaimana saya begitu mencintai mbah saya. Dan rasa-rasanya, ketike belio kembali ke samping Tuhan, bersama itulah kenangan, didikan ketika kecil, ucap terimakasih serta kasih sayang berlimpah menjadi sebuah peninggalan yang tiada terkira dari belio.
 
Dan ketika pulang, menginjak tanah kelahiran, selalu ada desir beserta gerimis. Tentang kepulangan terbaik yang tak pernah pergi lagi. Selamat jalan Mbah Rayi, dari cucu kesayangan yang masih juga bandel dan kurang ajar. Lamat-lamat dalam do'a,
 
Allahummagfirlaha.. warhamha...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku, Pesta dan Cinta : mengenang kembali Soe Hok Gie

Syakal dan I'jam

Sejarah Fatayat NU "Cabang Jepara"