Surat Untukmu; Dari Aku Yang Tak Pandai Berbicara Di Depanmu
Hai
kamu,
Ketika
seharian sudah menghabiskan waktu bersamamu, banyak sekali yang
hendak aku tulis. Tentang hal-hal yang urung terucap, perasaan yang
lamat-lamat semakin aneh dimengerti, dan perhatian serta kehangatanmu
yang menjadi-jadi. Lalu tiba-tiba semua diksi yang sudah aku rangkai
sepanjang jalan setelah mengantarmu pulang hingga kos itu bubar. Ya,
ia bubar begitu saja, berantakan dan carut marut. Hal itu dikarenakan
bahwa tulisan ini hendak ditujukan
pada namamu. Lantas
aku bersangka pada diri sendiri bahwa tulisan ini tidak mungkin akan
kamu baca. Setidaknya hal itu berhasil membuatku berkonsentrasi
hingga menyelesaikan tulisan ini.
Kadang
aku memang terlampau lemah, konyol dan bodoh. Aku memang mendadak
menjadi bodoh, lemah dan konyol ketika berhadapan denganmu. Ketika
kamu sepakat untuk menghabiskan waktu berdua denganku, tiba-tiba
otakku mengecil, daya kreatifitasku menurun drastis. Sehingga ketika
kamu bertanya “kita mau pergi kemana?” hanya gelengan
kepalaku yang menjawab atau “terserah kamu mau kemana” yang
meluncur dari bibir yang otaknya sedang kacau-kacaunya. Tapi bolehkan
kita menjadi lemah dan tak berdaya di hadapan orang yang kita cintai?
Kamu
tahu penyanyi Tulus? Awalnya aku mengira itu hanya nama jualan saja,
agar laku keras dan tentu saja tidak tulus. Namun setelah mengenalmu,
aku mengerti bahwa tulus memang memiliki makna yang dalam. Seperti
perasaanku padamu; tulus.
Setidaknya aku mengira ia tulus. Jika perasaanku tidak tulus,
mengapa ia begitu menyenangkan, nyata dan asyik dirasakan. Saat-saat
kita sedang berbicara berdua, saat kita berbalas pesan, ketika
bersama atau saat kita memangkas jarak perjalanan dengan
obrolan-obrolan di atas motor.
Aku
selalu menyangka itu perasaan pribadiku saja. Sedangkan kamu tidak.
Ya, mungkin aku memang terlalu naif, melankolis dan terlampau
sentimentil. Tapi apa salahnya berusaha percaya pada sebuah harapan?
Meskipun kita sama-sama tahu bahwa ia berkali-kali mengecewakan.
Namun kekecewaan yang lahir dari sebuah harapan adalah yang
menjadikanku masih bisa hidup sampai sekarang.
Aku
tak pandai mengungkapkan secara
langsung
perasaanku padamu.
Aku tak bisa menunjukkannya. Entah bagaimana caranya, jujur saja
sampai sekarang aku masih bingung dan belum menemukan caranya. Tapi
untunglah tuhan menciptakan sebuah media lain, yaitu menulis. Mungkin
dengan menulis ini aku bisa sedikit lihai menunjukkan perasaanku.
Tentu saja sebuah tulisan kadang terkesan gombal, dibuat-buat,
kata-katanya murahan. Namun, seperti yang sudah aku bilang,
perasaanku tulus. Semoga saja laku tulisan ini juga tulus.
Tulisan
ini bisa menjadi satu hal yang penting dalam hidupmu, atau mungkin
juga setelah dibaca kamu
boleh langsung melupakannya. Tapi untuk kali ini, selain tulus, aku
ingin jujur. Jujur dan belajar percaya pada harapan dan segala
kemungkinannya. Mungkin dalam beberapa waktu ke
depan yang tak
satupun orang bisa memprediksikan tanggal kematian, setidaknya aku
masih bisa menunjukkan perasaanku padamu.
Aku
menyukaimu, mungkin juga mencintaimu. Mungkin kamu bertanya-tanya
kenapa aku menggunakan kata “mungkin” ketika bilang mencintaimu.
Karena ini tentu bisa kamu anggap sesuatu yang tidak benar, kata-kata
yang tidak harus dipercayai.
Lagipula siapa yang bisa percaya dengan laki-laki sepertiku ini. Yang
masih saja malas untuk bekerja sedangkan ia sadar bahwa biaya
pernikahan dan setelahnya bukanlah barang yang murah. Laki-laki yang
masih saja merangkai kata-kata melankolis dan sering genit dengan
perempuan di media-media sosial, yang kerap sok akrab dan memiliki
banyak teman
perempuan. Laki-laki macamku ini memang berhak untuk diragukan, tidak
dipercaya dan tak perlu diperhatikan. Aku menyadari itu.
Aku
masih bertanya-tanya dalam diamku sendiri, apakah kamu sedang bersama
orang lain atau tidak? Entah di hatimu atau dunia lain yang tidak aku
ketahui. Atau justru kamu memang sedang menunggu lelakimu kembali,
menyembuhkan luka dan mengabulkan pengharapanmu dulu. Jika memang
demikian, aku bisa apa? Tapi
bukankah semua orang
boleh berharap dan memiliki keyakinan.?
Beberapa
hari yang lalu aku melihat seorang laki-laki yang tidak aku kenal.
Sepertinya ia juga menitipkan harapan padamu. Laki-laki yang bersusah
payah mendaki gunung hanya untuk menuliskan namamu, laki-laki yang
rela mengantar coklat kesukaanmu ke kantor dimana kamu bekerja. Aku
mungkin tak sekeras kepala itu. Tapi satu yang pasti, sepertiku,
barangkali ia juga jatuh cinta kepada apapun apa adanya dirimu.
Lagipula siapa yang tidak mencintaimu? Keriangan yang menyenangkan,
senyum yang menenangkan, mata terang meneduhkan dan semangat hidup
yang memancar.
***
Ini
mungkin terdengar menggelikan dan juga menyebalkan. Tapi setidaknya,
bahwa aku mencintaimu dengan segala kebodohan dan kefanaan pada
diriku. Oleh sebab itu, aku tak ingin membebanimu akan perasaanku
kepadamu. Aku tak pernah sekalipun menuntutmu mengakui keberadaanku,
mempedulikan perasaanku dan membalas apa-apa yang sudah aku berikan
kepadamu. Karenamu aku belajar, bahwa manusia terbaik adalah yang
mampu mengendalikan segala keinginannya.
Tidak
ada yang lebih mulia dari mengutamakan kebahagiaanmu. Mungkin ini
terdengar rumit dan utopis untuk diwujudkan. Tapi bagaimanapun itu,
aku benar-benar mengagumimu. Mengagumi kesederhanaanmu, sifat
penerimamu pada keadaan yang ada, senyummu yang kadang dipaksakan,
kejujuranmu akan banyak hal dan kegilaanmu pada berbagai macam
makanan. Kamu yang mandiri dan juga tak jarang manja, kamu yang masih
saja suka membaca komik, coklat panas, susah bangun pagi dan mengeluh
ketika kantuk datang di sela-sela waktu kerjamu yang biadab itu.
Hal-hal demikianlah yang menyebabkan aku ingin menaklukkan dunia
untukmu. Namun tentu saja kamu tidak setuju, karena bagimu, hidup
terlampau mudah justru tidak menyenangkan.
Namun
aku lagi-lagi tersadar. Bahwa di luar sana, masih banyak laki-laki
yang begitu mencintaimu dengan tulus, jauh lebih baik daripada aku.
Seseorang yang terlampau setia yang mengagumimu secara total. Ia yang
tak mungkin bisa hidup tanpamu, seseorang yang tak pernah mengeluh
dan malas bekerja, ia adalah segala kesempurnaan hidup untukmu. Jika
memang sudah demikain, aku
tidaklah penting bagimu dan memang tidak pernah. Yang terpenting
adalah kamu bahagia. Titik.
Maka
ketika hari ini aku memiliki kesempatan menghabiskan waktu bersamamu,
melihat senyummu lagi, menonton
bioskop berdua dan dengan beringasnya makan balungan kambing
kesukaanmu serta diakhiri dengan memilih buku favorit. Hal itu
membuatku sadar. Bahwa aku mungkin sangat egois untuk memilikimu
sendiri. Mungkin juga aku cemburu atau lebih tepatnya takut
kehilangan, ditinggalkan
dan kemudian dilupakan. Mungkin ketakutan-ketakutan itu tidak pernah
sebegitu penting bagimu. Tak pernah.
Atau
mungkin aku memang tak pernah secuilpun ada hak bersama kamu. Karena
kamu berhak mendapatkan yang berkali-kali lipat lebih baik daripada
aku. Tapi terima kasih, terima kasih sudah meluangkan waktu untukku
dan terima kasih telah ada.
pertama kali terbit di http://dubnyuk.blogspot.com/2015/07/surat-untukmu-dari-aku-yang-tak-pandai.html
Komentar