Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2014

Bukan Menjadi Kita

Barangkali ada, satu dua hal atau mungkin banyak, dimana tuhan pun malas untuk memperjuangkannya apalagi mengabulkannya. Diantaranya adalah ketika ada dua manusia yang tak mungkin ditakdirkan bersama. Kamu tahu itu siapa. Itu kamu dan aku. Kamu dengan segala hal yang menjelma keindahan dan aku dengan apapun macamnya yang terkesan remeh dan tak jelas. Karena itu, kita yang mungkin berjalan dan menghabiskan waktu bersama menghabiskan sisa-sisa umur kita. Kita berdua mengerti betul tentang itu. Tapi apa yang sebenarnya kita takutkan. Aku yang cenderung memaksa tuhan untuk menyatukan kita dan kamu dengan segala prilaku realistismu, bahwa kita tak mungkin bersatu, merupakan dua hal yang berbeda dengan ketakutan. Entah di antara kita siapa yang paling takut.

Cerpen - Kenapa Harus Menikah?

“ Ini terkesan tidak adil. Kau menikah dengan cinta.” kataku menyambut kedatangannya. Ia tertawa. Terbahak malah. Sembari mengeluarkan sepucuk surat dari saku jaketnya yang kelihatan kebesaran untuk tubuhn yang sedikit kurus. Surat itu masih di tangannya, tapi aku sudah bisa melihat, dari sampulnya. Adalah undangan pernikahan. Aku tersenyum kecut dalam hati. Dia duduk di sampingku. Jauh-jauh ia menyempatkan mengunjungiku. Di tanah rantauku. Tanah rantau yang sebenarnya akupun bingung. Aku tak tahu apa yang harus kucapai di sini. Ia mulai melepaskan dirinya dari bak raksasa yang memeluknya, jaketnya ia sandarkan di punggung kursi tempat kami duduk. Aku sebenarnya sempat tak percaya ketika satu minggu yang lalu ia menelponku. Memaksaku meminta alamat lengkap keberadaanku. Aku paling tak bisa jika dipaksa. Aku berikan saja. “aku ingin berbagi kabar gembira kawan” begitu suaranya yang keluar dari handphoneku. “ tidak bisa kau tulis saja lewat surel atau pos...

Catatan Perjalanan #2

Kita sama-sama tahu, sama-sama penyuka hujan. Tapi terkadang kau sebal, karena hujan membuat jemuranmu tak kunjung kering. Bukankah hujan adalah cara langit menuliskan puisi untuk bumi. Begitu juga denganku, berapa lembar puisi waguku yang kau terima sayang. Kau masih ingat ketika ulang tahunmu tahun lalu. Itu yang terpanjang yang kutulis untukmu. Kau bilang ingin menangis membaca itu. Jangan menangis sayang. Aku tak ingin membuatmu setitikpun menetaskan air mata. Air mata jangan terlalu murah, kita sudah sepakati itu. Berbicara tentang hujan, kotamu baru saja di guyur hujan. Deras sekali. Pantas saja, selepas maghrib udara begitu panas. Aku kira gegara siang tadi yang kepalang panas. Ternyata tidak. Adalah sebagai tanda segera hujan. Aku tak sempat meliongok langit. Aku sedang malas mendongak memang. Deras sekali. Cukup lama. Hujan berhasil mengurungku. Aku tak bisa kemana-mana. Toh aku juga bingung akan kemana. Syukurlah hujan. Panas tak lagi berkuasa a...

Catatan Perjalanan #1

Panas sekali sayang... Kau tahu arti panas sesungguhnya sayang? Adalah ketika kau malah berjalan menghabiskan hari dengan lelaki lain sedangkan aku tercenung sendiri, membayangkan dirimu disampingku. Ah, hari ini benar-benar panas. Kau tentu setuju denganku. Apalagi kulitmu sedikit sensitif, panas sedikit saja sudah memeras, keluhmu. Tapi sayangnya aku di sini sendiri. Tak ada dirimu. Panas yang kurasakan di kota ini sangatlah menyengat. Lengkap sudah penderitaanku. Kota ini adalah kota kelahiranmu sayang. Namun, sayang sekali kau justru tak sedang menghuni kota ini. Kota yang super panas. Cenderung sepi. Pengguna jalannya terkesan beringas, terutama perlakuan pengendara motor kepada pejalan kaki. Tak jarang aku hampir saja diseruduk pengguna motor yang tak sedikitpun meberikan rasa iba bagi penyebrang jalan. Aku tak begitu ambil pusing. Tapi perlakuan yang sama juga untuk bapak-bapak tua yang akan menyebrang. Hampir saja aku berantam dengan pengendara sepeda...