Anti Klimaks Spanyol semacam sepakbola
Sejak benar-benar
menyukai sepak bola dan mengikuti perkembangannya baik di dunia atau
lingkup nasional, baru inilah yang dapat ternikmati. Dalam kata lain,
sejak awal perjuangan hingga klimaks dan ini menuju anti klimaks
ketika catatan ini dituliskan. Sejarah sudah mengajarkan kepada umat
manusia bahwa kemenangan, kedigdayaan serta kekuasaan tidak pernah
ada yang bertahan lama, eh maskutku bertahan sangat lama. Pasti
siklus muncul-jaya-hancur akan selalu berputar.
Dan ini menjadi hal
pertama yang dapat kusaksikan dalam hidup, Ya. Siklus sejarah yang
kuikuti selama hidup, mungkin sejarah lain yang kunikmati selain
sejarah dalam kehidupan pribadiku. Terkadang hal itu semacam klise
atau sebuah sarkasme pedas yang seolah-olah hal itu mendahului
takdir. Beberapa orang sudah menyimpulkan bak seorang dukun “suatu
saat pasti kalah”, tapi jika dicermati mungkin seseorang berkata
demikian karena pengalamanlah yang menuntut berpendapat demikian, dan
hal ini terjadi pada sebuah team sepakbola yang sangat Fantastis
setelah berhasil menjadi Juara Piala Eropa 2 kali bertutur-turut dan
dilengkapi dengan Piala Dunia tahun 2010. kataku, Luar biasa. Jika
lingkup lebih kecil. Tahun-tahun tersebut juga Spanyol begitu digdaya
pada level klub dengan armada yang bernama Barcelona FC. Pada
tahun-tahun 2010 hingga sekarang siapa yang tidak tahu kehebatan
Bocah Buntet Lionel Messi dan sudah berapa kali ia menjebol gawang
lawan sampai-sampai bosan melihatnyapun pada akhirnya harus meringis
tak berdaya ketika pasukan Catalunya menyerah pada raksasa Jerman,
Bayern Munchen dengan angka 7 tanpa bisa membalas sedikitpun.
Perjalanan Spanyol
memang tidak instan dalam merintis kejayaan mereka. Tercatat dalam
kehidupan penulis, tahun 2006 penulis mengenal pesebakbola muda dan
tampan dari Atletico bernama Fernando Torres. Hingga pada akhirnya ia
diboyong Rafael Benitez ke Anfield. Pecinta sepakbola mana yang tidak
tahu aksi brilian Torres bersama Liverpool kala itu, bahkan bek
setangguh John Terry yang saat itu sangat sulit ditembus dihadapan
Torres bak seorang Ayah bermain dengan anakknya yang dengan mudah
dilewati tanpa harus bersusah payah. Torres, Ya pemain tampan inipun
tak luput dari silus sejarah yang seolah-olah skenario wajib yang
disiapkan Tuhan untuk dilalui oleh setiap manusia di bumi ini.
Setelah merintis sebagai pemain muda dan menjelma menjadi kapten tim,
Torres membuat kepincut Rafa dan memboyongnya. Keputusan itu sangat
tepat, Liverpool menjadi sebuah kerajaan yang hebat dengan
pangerannya Torres dan dilengkapi empunya Steven Gerrard. Dan masa
keemasan itu segera mengalami antiklimaks ketika raja minyak Rusia
Roman Abramovic menginginkan pelayanan pangeran tampan tersebut, dan
sontak saja, seakan babak anti klimaks sudah dikumandangkan oleh
Tuhan untuk Torres. Gawang lawan tak khayalnya seperti sebuah malam
pekat yang mana seorang anak kecil takkan berani melewatinya meskipun
ditemani ibunya. Ini terbukti ketika gawang manchester united tak ada
penjaganyapun Torres tak mampu menceploskannya yang seharusnya dengan
mata tertutuppun bagi seorang Torres bukan masalah yang berarti, Tapi
begitulah kenyataannya.
Berbicara Spanyol.
Perjuangan yang panjang dengan kepala kompi pangeran madrid Raul
Gonzales seakan-akan dalam pentas dunia sepakbola mereka sebagai
pelengkap ditengah-tengah kehebatan sepanjang sejarah yang dimiliki
Brazil, Jerman ataupun Italia sekalipun. Hingga tiba saatnya Spanyol
bertransformasi dengan mengorbankan Pangeran Madrid yang dengan setia
mengawal sebuah tim dengan kegagalan, justru masa keemasan ia tidak
begitu bisa menikmati dan mungkin hanya tersenyum tipis dibangku
penonton. Yapp.. Juara Piala Eropa dibawah asuhan Luis Aragones dan
dilanjut dengan Piala Dunia dan Piala Eropa tahun berikutnya
dinahkodai pria berkepala botak mantan pelatih Real Madrid yaitu
Vicente Del Bosque. Spanyol yang kembali menghidupkan gaya permainan
klasik tiki-taka yang dikembangkan oleh klubnya yaitu Barcelona.
Bahkan semua penikmat bola dibuat benci dengan kemenangan Barca dan
menginginkan kalah. Hal itu wajar saja karena sangat hampir tidak
mungkin mengalahkan spanyol ataupun Barcelona. Dan genderang babak
baru tak bisa dipungkiri, antiklimakspun bagaikan bab dalam buku yang
tak bisa dilewati pembacanya, meskipun tak suka harus tetap dibaca.
Kita semua tahu bagaimana Inter Milan, Chelsea kemudian Bayern
Munchen yang sukses menghambat laju Barcelona yang kemudian menjadi
Jawara Eropa dimasanya masing-masing. Malah team terakhir mengalahkan
dengan angka yang tak kepalang tangguh 7 gol tanpa balas, saat itu
seolah-olah tiki-taka tak ubahnya seorang lelaki berbadan kekar tapi
impoten.
Jika membandingkan
Spanyol dengan Barcelona memang masih beda jauh pada saat ini. Tapi
hari ini, 1 July 2013 Spanyol baru saja menundukkan diri pada
permainan Jogo bonito milik goyang samba Brazil. Bedanya Barcelona
sudah gagal 3 kali dalam pentas champion eropa secara beruntun,
Spanyol baru pertama kali mengalami kekalahan pada era keemasannya
tersebut. Kita lihat bersama, apakah ini sebagai bab anti klimaks
bagi spanyol atau hanya batu kerikil kecil ditengah-tengah
kedigdayaannya, tapi untuk pernyataanku yang terakhir, aku boleh
meragu melihat performa Spanyol yang dapat dikatakan sudah dimengerti
semua resep dan bumbu dalam dapur mereka. Pembuktiannya adalah di
Piala Dunia 2014 Brazil. Apakah sang matador mampu mengembalikan
kejayaannya atau pasrah ikuti episode Tuhan yang bernama Anti
Klimaks. #1 july 2014, selepas Final Konfederasi Brazil vs Spanyol
3-0, Fred 2, 47, dan Neymar 44.
Komentar